Selasa, 21 Desember 2021

CERPEN - SEPINTAS TUK KEMBALI

SEPINTAS ‘TUK KEMBALI
Penulis: M3 (@_emthree)

Malam itu, senyum tidak dapat terurai sama sekali. Kamu tertawa di bawah lampu jalan di antara gelapnya langit. Mata lebih sering memicing menahan agar tidak tertidur sepanjang perjalanan. Kemudian kamu tersungkur, tetapi bangkit lagi. Tubuh terhuyung akibat kepala yang kian pening.

Di dekat lampu jalan yang sedikit menerangi langkah, kamu pun tersungkur kembali. Kini kamu mengejek dan menangisi diri. Kesal sedari tadi kakimu belum juga memijak rumah. Jalanan lengang dan kamu sendiri. Tiada alat hubung yang membantumu memanggil teman. Perut mulai bergejolak. Dirundung mual. 

Tiba-tiba beberapa gagak berada di atasmu. Sangat berisik dan kamu dibuat marah karenanya. Hatimu begitu membara. Saking kesalnya kamu sampai sanggup berdiri dengan cepat. Beberapa rutukan pun terlontar tanpa arah dengan telunjuk mengarah pada burung hitam tersebut. Hening pecah oleh kejamnya ungkapan yang keluar dari wanodya cantik sepertimu. Belum puas kata-kata buruk diutarakan, engkau mencoba melempari burung-burung itu dengan kerikil. Para gagak langsung menyambar kepalamu. Membuatmu makin menggila.

“Hei! Burung bodoh! Diamlah. Kurang ajar sekali kau mengganggu kesunyianku! Diam, diam, pergi sana! Kepalaku makin pening. Berisik sekali bang***! Bede**h sia*an,” rutukmu menepis para gagak yang berusaha menghinggapi kepalamu.

Akhirnya kamu putuskan untuk terus menyusuri jalan sepi yang minim penerangan. Sayangnya, berulang kali kamu tersungkur, bangkit, terjatuh lagi, sembari ditemani keberisikan burung-burung. Sampai di ujung jalan penuh kerikil yang begitu tajam, dirimu terjungkang sangat kesakitan.

“Bagus! Bagus! Pakai gaun selutut, lengannya pendek, bahannya tidak tebal, sekarang jatuh. Bodoh!” keluhmu memukul kepala sekaligus menahan sakit sebab tubuh bagian belakang menghantam kerikil-kerikil kasar.

Pandanganmu jadi tertuju pada lampu putih yang tidak begitu terang. Memberikan efek buram. Beberapa detik tanpa pikiran lain, batinmu berembus membisikkan sesuatu yang kelu. Tidak terdengar jelas, walau dalam kalbu. Yang ada ialah jejak tak bertuan, muncul tiba-tiba, dan rasanya menyesakkan.

Jiwamu seolah terkoyak karena keadaan. Sendiri dalam sepi. Teringat oleh apa yang tadi kamu lakukan sebelum berjalan pulang. Ternyata sisi kananmu dihantam oleh maksiat sisi kiri. Kepalan tanganmu mulai memukul-mukul kepala dan dada. Seakan tubuhmu berhak mendapat kesakitan dari dirimu sendiri.

Kamu bangkit, lalu w sitting. Kedua tanganmu menopang tubuh di depan. Kerikil-kerikil jadi basah oleh rintik yang jatuh dari kelopak mata. Ingin sekali kamu berteriak melepas apa yang menyumbat hati. Burung gagak bagai usai menemanimu bersama kebising. Kini mereka mulai pergi darimu. Membiarkan, lagi-lagi kesendirian yang sunyi memelukmu lebih erat, dalam, dan lama.

Akan tetapi, tiba-tiba sepintas cahaya temaram mendekati perlahan. Ternyata sinar itu berasal dari seorang perempuan. Mata mulai memicing untuk memfokuskan pandangan. Di sebelahnya ada sosok gadis gelap. Kamu mengernyit sambil menahan perih dengan posisi yang belum berubah.

"Kau siapa?" tanyamu parau pada perempuan bercahaya redup yang jongkok di depanmu.

"Aku? Aku adalah engkau. Kau lihat dia yang sedang berdiri? Itu juga engkau. Tataplah ia lekat-lekat. Bukankah warnanya abu gelap? Padahal dulu ia sama sepertiku. Terlahir bercahaya," jelas perempuan itu.

"Apa kau bercanda? Apa maksudmu? Cepat katakan siapa kalian? Katakan sebenarnya. Tidak usah berbohong!" paksamu memekik dan melotot.

"Cobalah tatap dengan cermat. Dapati struktur wajahnya. Lalu nilailah apakah ia mirip denganmu dan denganku? Katakan!" pintanya masih bernada lembut.

"Tidak mungkin aku punya doppelganger," ujarmu gemetar, mendongak, tidak percaya sembari membulatkan mata.

"Kau kebanyakan baca informasi barat. Sudahi itu sebagai sebuah kepercayaan. Ternyata salah satu alasan kami seperti ini karena hal tersebut," respon perempuan itu menepuk dahinya dan berwajah sendu.

"Cepat jelaskan mau apa kalian ke mari? Apa kalian mau menyakitiku?" tanyamu dengan suara serak, pupil melebar, dan gemetar terus kentara.

"Aku serius. Tidak main-main. Tujuanku ke sini...," jelasnya terjeda karena berdiri kembali, lalu mengulurkan tangan ke arahmu melanjutkan, "... untuk memperingatimu tentang sesuatu. Berdirilah!"

"Apa?" tanyamu lagi menerima ulurannya dan berdiri seraya napas kembang kempis karena gelisah menjalar ke seluruh arteri.

"Kau masih bisa membuatku terang. Apakah kau mau di setiap jalan hanya remang-remang yang terlihat? Ya, aku tahu kini perasaanmu remuk redam. Jalan menuju cahaya seakan jauh membentang tidak jelas. Namun, tolonglah dirimu sendiri di masa depan. Tolong aku supaya kita dapat saling membantu," tutur perempuan tersebut memohon agar engkau melakukan apa yang akan diminta.

"Sebenarnya apa poin yang kau ingin dariku?" kali ini dahimu mengernyit. 

"Aku adalah amal baikmu yang telah kau lucuti pakaian istikamahnya. Sedangkan dia adalah amal burukmu yang selalu kau hias dengan noda gelap kemaksiatan." Tunjuk perempuan itu ke gadis gelap di sampingnya. 

Sepintas, lututmu gemetar dan lemas. Hatimu sesak tiada tara. Napas tersengal perlahan. Tiba-tiba engkau jatuh tersungkur kembali. Dadamu dipenuhi kelu. Tangis mendera lagi, tetapi kali ini lebih deras. Bagaikan tumpukan film yang berjejal di folder laptop, peristiwa masa lalu terputar kembali.

Bayangan kesalahan, kealpaan, pengingkaran, menyakiti, dan berbagai keburukan lainnya bermunculan. Kamu tidak bisa mengelak. Bagaimana lagi kamu menyangkal? Pelakunya adalah dirimu sendiri. Menzalimi orang lain dan dirimu sendiri.

Gadis dan perempuan itu terdiam beberapa saat. Namun, sang gadis gelap  berjongkok seraya mendorong jidatmu menggunakan telunjuknya dengan keras. Ia menatapmu penuh kekesalan. Meskipun wajahnya datar, tetapi netranya tak bisa membohongimu.

"Maafkan aku, wahai diriku," ucapmu sesenggukan menunduk karena menyesal.

"Kau pikir maafmu berguna? Dasa bodoh! Bede**h sia*an! Kelakuanmu itulah yang mewakili permintaan maafmu secara tulus atau tidak," sahutnya memiringkan kepala dan tersenyum meremehkan.

Gadis itu berdiri lagi. Dengan kasar, ia mengangkat dagumu dengan jari kakinya. Kemudian, si wajah gelap itu memerintah, "Sekarang sadarlah! Buat diriku setidaknya gelap atau pudar? Menyingkirlah dari aktivitas melukiskan kegelapan. Ikuti apa yang ia butuhkan guna menambah cahayanya.”

“Aku begitu muak mendapatimu menyesal tanpa berbuat sesuatu. Percuma kau minta maaf dan menyadari kesalahan kalau tidak ada pergerakan atau perubahan. Adanya omonganmu hanya dusta belaka. Meratapi tanpa langkah berarti. Hei, Bodoh! Kau pikir aku ini akan jinak? Jangan salah. Makin kau teruskan maksiatmu, makin gelap diriku, dan makin menggila diriku sebab menginginkan lebih. Maksiat yang kau pupuk malah jadi mengalami pembaruan. Aku sih puas saja," tambahnya mendorong dagumu.

“Hm, ya, tidak masalah bila itu maumu membuat dirimu makin terjatuh ke dasar kegelapan. Toh memang diriku ini adalah refleksi hawa nafsumu. Kala kau senang menikmati hal yang dilarang, aku bahagia. Ketika kau bosan melakukan ibadah, diriku ikut sebal akibat kebosanan yang kau rasakan sehingga kita akan mencari hal-hal menyenangkan lainnya. Melakukan sesuatu yang nikmat, tetapi menjerumuskanmu ke arah api yang menjalar. Gelap mata menggerogoti narunimu. Hahahahahah. Kau bisa jadi temanku di neraka. Terserah kau sajalah,” ungkapnya sembari menyunggingkan sudut bibir kirinya.

Setelahnya, sang gadis mengabu pekat itu pergi. Menghilang di antara sisi yang tak disoroti oleh lampu jalan. Meninggalkanmu dengan sejuta frustasi dan penyesalan, sedangkan perempuan bercahaya yang meredup itu tetap bersamamu. Ia lagi-lagi membantumu berdiri. Setelahnya, malah tersenyum dan memelukmu yang gemetaran akibat takut, cemas, bersalah, merasa tak pantas, dan menyesal.

"Sepintas memori yang kau ingat memang menyesakkan. Ayo, kita sama-sama memperbaiki hari ini dan esok. Jika engkau masih bangun keesokan hari, maka banyak kesempatan yang terbuka untukmu. Jangan selalu kau sia-siakan. Apabila waktu telah berlalu, aku takut, aku takut kehilanganmu yang ber-taqwa. Jika cahayaku ini benar-benar padam, maka engkau tidak akan pernah tersenyum sebab menyesal. Tolong! Tolong, hentikan semua keburukan ini. Kembalilah mendekat kepada-Nya," cetus perempuan itu sambil mengelus pelan puncak kepalamu.

"Wahai aku! Kamu selalu butuh Allah. Jika tidak mendekat kepada-Nya sekarang, lalu kapan lagi? Jangan sampai kamu merugi dan terlambat menyesali seluruhnya. Ketika sadar di penghujung waktu, ternyata alam barzah telah hadir di depan mata. Aku, tidak mau hal tersebut terjadi padamu. Mulai sekarang, dengarkan aku, ya? Agar nuranimu kembali menyala," imbuhnya melepas pelukan seraya memegang kedua tanganmu dan mengusapnya penuh kelembutan.

Kamu terpaku. Tubuhmu berkeringat dingin. Lelehan bulir air mata menggenang deras tiada henti dalam hening. Kamu pun merengkuh perempuan itu. Kedua tanganmu meremas kuat pakaiannya. Teriakan mulai keluar, baik rutukan, rasa bersalah, dan mengatai diri sendiri.

"Sakit sekali rasanya! Maafkan aku yang sudah banyak mengecewakanmu, wahai diriku! Aku melakukan banyak pengulangan kesalahan. Maafkan aku yang frustasi, tapi minim aksi. Tolong teruslah bersamaku. Terima kasih karena masih mau mendorongku menghindari maksiat. Walaupun aku sering mengecewakanmu kembali," cakapmu memegang pundaknya bersama isakan lebih tenang.

Desau angin mengibarkan surai sepundakmu. Mata, hidung, dan pipimu memerah. Beberapa kali tarikan napas kamu lakukan untuk mencapai ketenangan. Perempuan redup tersebut mengelus punggungmu dan terus membisikan kalimat zikir. Perlahan, tenang mulai merambat. Ada seutas senyum terukir tipis dari sudut bibirmu.

"Saatnya beraksi. Teruslah melaju. Hanya Allah yang bisa menolongmu. Mintalah kepada-Nya karena aku sekadar wasilah. Kuharap kau terus menyadari rasa kepedihan atas ulahmu sendiri ini. Supaya apa? Supaya engkau ingat untuk beristighfar setiap detiknya," tegasnya melepas pelukan.

Seusai itu malam jadi tenang. Tangannya menyentuh dadamu. Terasa begitu berdebar akibat pengulangan masa lalu yang pernah kamu lalui. Ia pun meniup wajah dan tangannya. Kemudian meletakkan ke posisi jantungmu berada.

“Bismillah, aku yakin kamu bisa,” tukasnya semringah.

“Apa iya? Bukankah kalau yang lain bisa, aku tidak harus bisa?” sahutmu ragu sambil menyeka air mata yang  tersisa.

“Tentu saja kamu selalu bisa melakukan segala hal yang berada di lingkaran kendalimu. Bukan yang di luar kendalimu. Hasil itu adalah hak prerogratif Allah. Kamu tinggal berdoa, ikhtiar, dan tawakal. Sisanya serahkan kepada Rabb kita. Mungkin sepintas ini dulu yang bisa kubagikan untukmu kembali pada-Nya,” jawabnya tersenyum, lalu berjalan mundur dan melambaikan tangan.

Ia pun hilang di antara gelapnya malam. Akhirnya kau jatuh, lagi, tengkurap. Ditinggal sendiri. Tertatih untuk berdiri, engkau mulai merangkak ke arah lampu jalan berikutnya. Lutut dan telapak tanganmu sangat sakit, tetapi demi sampai kau rela melakukan. Sesampainya di sana, silau begitu membahana hingga menyipitkan mata. Gemetar pun meruntuhkan kekuatanmu hingga tertelungkup sekali lagi. 

Pening menjalar hebat beberapa detik, lalu menghilang saat kamu bangun untuk duduk. Pikiranmu tersadar sempurna kala menatap hamparan sajadah ada di depan mata. Nyatanya, Allah tidak pernah meninggalkanmu. Dirimu yang kadang meninggalkan-Nya. Faktanya, Allah selalu berada di dekatmu.


- salam mencintai proses, M3
- 2021

0 komentar:

Posting Komentar