Jumat, 20 Agustus 2021

Cerita Mini - Menyambut Kepergian

Menyambut Kepergian
Oleh: M3



Setelah pulang kerja, aku dikejutkan suara tangisan Naura yang lebih kencang dari biasanya. Kaki ini berlari menuju kamar. Mataku terbelalak mendapati Naura tengkurap di lantai. Tidak bisa berbaik sangka, aku langsung menodong pertanyaan mengapa Naura bisa ada di lantai ke kakak iparku.

“Na…Naura jatuh sewaktu Mbak mau menggendong Naufal,” jawab Mbak Ais seraya menitikkan air mata.

Aku menghela napas berat dan segera membawa Naura ke klinik terdekat tanpa menanggapi Mbak Ais yang bergeming di sudut kamar. Beruntung seusai kuperiksakan ke dokter anak di perumahan sebelah, Naura dinyatakan tidak memiliki cedera yang serius. Walaupun kepalanya benjol dan mesti di kompres. Hamdalah sekaligus istigfar keluar dari lisanku.

“Maafin Tante, ya. Kali ini Tante bakalan berusaha lebih keras lagi untuk membawa Mamamu berobat,” ujarku tepat di sebelah telinga Naura.

Sepulangnya dari klinik, aku menidurkan Naura di ranjang bayi. Setelahnya aku menghampiri Mbak Ais di ruang tamu yang tangannya bagaikan menggendong bayi seraya melakukan dialog padahal sedang sendiri.

“Mbak, ayo kita pergi. Hasna mau ngajak Mbak ke suatu tempat,” ajakku.

“Hush, kamu itu kok menyela pembicaraan masmu toh? Sebentar, biar diselesaikan dulu ngomongnya,” seru Mbak Ais meletakkan telunjuk ke bibirnya.

Dengan paksa, aku menarik lengan Mbak Ais yang posisi tangannya tetap sama ke dalam mobil. Kemudian, aku menggendong Naura dengan meh dai carrier dan kembali ke mobilku. Kami pun berangkat ke tempat tujuan. Tidak ada percakapan selama kami dalam perjalanan kecuali murottal yang kunyalakan.

Sesampainya di tempat tujuan, Mbak Ais sempat bertanya mengapa aku mengajaknya ke sini. Sebelum menjawab kugandeng ia lebih dahulu untuk menghadap ke pemakaman Mas Doni dan Naufal. Di situ, aku mengajaknya berdoa sembari berdiri. Seusai itu senja jadi sendu, awan mengabu, dan aku malah mengenang masa lalu.

Empat bulan yang lalu, Mas Doni sedang menyetir dengan terburu-buru Ketika mendengar istrinya akan melahirkan. Bersamaan dengan itu, Mbak Ais sudah berada di ruang operasi. Pisau bedah mulai mengiris perutnya. Langsung kualihkan pandangan yang membuatku bergidik ngeri ke arah wajah Mbak Ais yang pucat.

Putra pertamanya lahir dengan selamat. Disusul lima menit kemudian, Naura ikut melihat dunia untuk kali pertama. Tangisan keduanya membuat satu ruangan dipenuhi keharuan. Bahagia, lega, dan menenangkan. Sayangnya, bertepatan dengan itu ada telepon masuk yang mengabarkan kalau Mas Doni mengalami kecelakaan tunggal. Luar biasanya Naufal ikut berpulang tanpa komplikasi apa pun. Mau tak mau kami harus menerima ketidakhadiran mereka.

Dan di sinilah kami. Di mana Mbak Ais didiagnosa depresi pada bulan kedua. Tiada minat lagi pada hal-hal yang disukai. Setiap hari merasa tertekan dan lelah berlebihan. Hipersomnia membuatku pusing. Berkurangnya kemampuan Mbak Ais dalam berpikir dan konsentrasi benar-benar mengkhawatirkan. Belum lagi ia menganggap bahwa Mas Doni dan Naufal masih hidup. Sekarang malah mengabaikan Naura secara tidak sengaja.

Baru kutahu kemarin, obat yang diberikan psikiaternya tidak diminum dan disembunyikan di balik guling Naura. Tanpa sadar tangisanku keluar sangat deras tatkala mengingat hal tersebut. Mbak Ais hanya diam saja menatapku yang menutup mata dengan tangan.

“Mbak, Mas Doni, kakakku sudah nggak ada. Ia dan Naufal sudah pulang. Sekarang Mbak Ais sudah waktunya menyambut kepergian mereka dengan kembali rutin minum obat dan konseling. Ridhoi mereka pulang, ya, Mbak. Di sini Naura butuh Mbak Ais. Kalau begini keadaannya, Mas Doni dan Naufal bakalan sedih,” kataku terisak-isak hingga Naura, keponakanku yang berusia empat setengah bulan bangun.

“Mbak, Allah tuh tahu hati Mbak lagi sakit, sedih, marah, dan berduka. Namun, bukan berarti Mbak terus-terusan meratapi kepergian mereka berdua. Hasna tahu, Allah Maha Mengetahui pula kalau Mbak tu rapuh, nggak sekuat yang dilihat orang-orang. Untuk itu, Hasna mau ajak Mbak untuk terus berjuang. Masih ada kami berdua. insyaaAllah Hasna dan Naura bakalan terus di samping, Mbak,” lanjutku memeluknya.

Mbak Ais menatap nanar kedua makam itu. Ia membalas pelukanku dan mulai menangis dipenuhi isakan yang terdengar menyayat dan menyesakkan dada. Aku persilakan ia menjerit selagi di makam itu tidak ada siapa pun selain kami. Kubolehkan juga ia mengungkapkan segala kata dan perasaan, yang selama dua setengah bulan terakhir ini, menjejali pikiran dan hatinya. Kehilangan memang membawa duka mendalam, tetapi terpuruk selamanya tidak akan mengembalikan mereka. Allah sayang kepada kami. Bukan berarti Yang Merajai Hari Pembalasan menghukum kami. Namun, sudah waktunya dan ini qada kami. Bagaimana kami menghadapinya, itulah yang Allah nilai.

“Dek, maafin Mbak, ya. Mbak terlalu berduka sampai lupa kalau punya adik ipar sebaik kamu. Makasih, ya, udah mau jaga dan mendukung Mbak. Sungguh masmu adalah ayah, kakak, sahabat, dan suami bagi Mbak. Naufal, malaikat kecilnya Mbak…Bismillah, Mbak bakalan kembali berobat untuk menyambut kepergian mereka dengan ikhlas,” ujarnya meremas kerudungku.

“Nggak perlu minta maaf, Mbak. Bukan salah Mbak. Terima kasih sudah tangguh menjadi anak broken home dan single parents,” sahutku mengelus pelan punggungnya.

*** 

disilakan untuk memberikan dukungannya berupa:  komentar, kritik, dan saran, beserta koreksi. terima kasih sudah membaca.

Senin, 09 Agustus 2021

Cermin - Putri Halu

PUTRI HALU
Oleh: M3

Angin melambai lembut menerpa wajahnya. Zura berjalan pelan melewati bunga-bunga. Kedua tangannya disembunyikan di balik saku jaket cokelatnya. Jam menunjukkan pukul dua siang. Ia berbelok mampir ke sebuah kedai roti. Membeli empat roti yang diniatkan untuk dirinya dan sang mama. Selesai membeli, kakinya keluar bermaksud kembali ke rumah. Namun, jantungnya tiba-tiba berdebar kencang.

Laju kakinya dipercepat. Sesampainya di rumah, ia melihat ada sebuah mobil ambulans yang terparkir di depan rumahnya. Zura berlari ke dalam rumah dan mendapati mamanya sedang memberontak ketika salah satu, yang diduganya, perawat menyiapkan suntikan. Roti yang ditenteng terjatuh. Wajahnya terperangah dan sepersekian detik, ia berusaha melepas tangan-tangan yang menahan tubuh mamanya.

“Tidak! Mau kalian bawa ke mana mamaku? Lepaskan dia,” pintanya berupaya mendorong mereka agar melepaskan mamanya.

“Hei, Nona! Cepat duduklah. Kami harus menangani mamamu karena beliau butuh penangan di rumah sakit jiwa,” sahut perawat yang membawa suntikan.

Khaizuran tetap saja menghalang-halangi. Mamanya kian berontak, sedangkan kakek dan neneknya sedang tidak ada di rumah karena masih berada di luar kota. Ia bertanya-tanya, siapa yang mengirimkan perawat itu ke rumahnya. Maka, saat ia menyergap perawat yang membawa suntikan, Zura terdorong jatuh.

“Maaf aku mendorongmu, tapi ini dibutuhkan!” seru perawat itu langsung menusuk lengan mamanya.

Setelah selesai dan tenang, mamanya dibopong ke dalam ambulans. Zura berupaya bangkit mengejar. Namun, ambulans itu bergerak sangat cepat. Ia bergegas mengambil kunci yang berada di meja belajarnya, lalu mengunci pintu rumah, mengambil motor, memakai helm, menggembok pagar, dan menyusul ambulans tadi.

Jantungnya berdebar tak karuan. Sepanjang perjalanan ia berusaha mengambil napas, menahan, dan mengembuskan secara perlahan. Tidak cukup dan ia kesulitan. Sesampainya di rumah sakit jiwa, yang ternyata ia telah mengikuti hingga keluar kota, Zura langsung memarkirkan motornya. Ia berlari sekencang mungkin. Terlihat mamanya akan diantar ke pintu masuk, Zura langsung menarik lengan mamanya.

“Ma, sadar, Ma. Ayo kita pulang!” teriak Zura mengguncang lengan kanan mamanya.

Petugas keamanan pun menahan Zura agar tidak menghalangi prosedur perawatan. Ia berontak. Baru kali ini ia menolak mamanya dibawa. Padahal selama ini, Zura selalu mengancam akan membawa mamanya kembali ke rumah sakit jiwa. Akhirnya petugas hanya memberikannya izin melihat sang mama lewat pintu kaca tanpa boleh berkontak fisik lagi. Zura pun jatuh terduduk sembari menangis.

Tiba-tiba ia bangun terduduk, lalu menangis begitu pilu. Dadanya sesak, sakit sekali rasanya, dan isakan keras sangat terlihat. Zura turun dari ranjang. Ia melihat ke jendela yang menghadap ke selatan. Awan masih biru dengan gumpalan awan seputih kapas. Dirinya tersenyum di balik derai air mata yang membuat kornea dan pipinya memerah. Beberapa ketukan pagar terdengar.

Di luar ada dua orang yang menanti jawaban dari sang tuan rumah. Zura mengintip dari balik jendela. Perasaan sedih jadi waswas. Ia menghapus air mata yang belum sempat mengering dan mencari mamanya. Mencoba di kamarnya tadi, nihil. Di kamar mamanya nihil. Di kamar mandi juga nihil. Di ruang ventilasi dan tempat berjemur juga tidak ia dapati mamanya di sana. Takut menyergap tubuhnya. Tangannya gemetar. Tanda tanya menghantui pikirannya. Ia sangat kalut siang itu.

“Mama!” panggil seorang gadis cilik yang tadi mengetuk pintu.

“Ia memanggil siapa?” tanyanya dalam hati.

“Ini Fathia sama Papa, Ma. Mau jenguk Mama. Bukain dong, Ma,” pinta anak itu mengetuk pagar sekali lagi.

“Pa, tolong pencet belnya dong,” tambah sang anak menunjuk bel karena ia tidak sampai menjangkaunya.

“Assalamu’alaikum.” Bel berbunyi.

Zura mencoba keluar perlahan. Kemudian mengajukan pertanyaan kepada mereka berdua.

“Wa…wa’alaikumusslam. Si…siapa kalian?” tanya Zura melihatkan setengah wajahnya tanpa ditutupi kerudung.

“Mama jangan lupa dong. Ini Fathia, anak Mama. Papa di sini juga kok,” kata Fathia mengintip dari celah pagar.

“Mana mungkin. Menikah saja belum. Umurku masih 20 tahun. Mana mungkin sudah punya anak yang sudah bicara,” elak Khaizuran.

“Tolong, bukakan pagar ini. Kami tidak akan masuk sebelum disilakan. Cukup lihat kami dan dengarkan apa yang akan kami katakan. Kami tidak akan menyakitimu,” mohon laki-laki brewok berkacamata itu.

Perlahan Zura membuka kunci gembok pagarnya. Terlihat seorang gadis cilik berusia tujuh tahun menenteng satu kresek roti.

“Siapa kalian? Apa mau kalian?” tanya Zura ketus dan melotot.

“Ini, kami bawakan roti favorit Mama.”

“Zura, mungkin kamu masih melihat ini seperti rumahmu yang ada di waktu 15 tahun silam. Kala umurmu masih 20 tahun. Namun, aku tegaskan. Lihatlah sekelilingmu. Tepat di belakang ialah rumah sakit tempatmu dirawat Zura. Memang didesain khusus untukmu saja. Lumayan mahal sih, setidaknya dapat membantu proses penyembuhanmu. Kami dengar dari psikiater, tiap kamu tidur, igauan mimpi yang selalu kamu haturkan menunjukkan distorsi ingatan. Itu bukanlah mamamu, tetapi kamu di delapan tahun yang lalu,” jelas lelaki itu mengambil napas dalam dan mengembuskannya dengan berat.

Ia melanjutkan, “Zura, kuharap kamu mau menerima bahwa tiga tahun terakhir ini, hasil diagnosamu menunjukkan bahwa kamulah yang mengidap skizofrenia. Coba lihatlah gelang yang ada di lengan kananmu. Tertulis nama rumah sakit jiwa ini dan namamu, bukan?” jelas lelaki itu mengusap air mata yang lolos dari sudut matanya.

“Kami adalah keluargamu. Ini Fathia putri pertama kita dan aku, Ahmad, suamimu. Mamamu memang telah tiada sebelum sembuh dari Skizofrenia saat putri kita berusia dua tahun. Kini kamu mengalami gangguan jiwa seusai beliau tiada. Khaizuran, sekarang saatnya kamu yang berupaya bangkit untuk dirimu sendiri dan paling tidak untuk anak kita juga,” tambah Ahmad memeluk Zura yang hampir terjatuh.

Zura menatap kosong tanpa berkedip dan bulir bening mulai jatuh secara otomatis.

“InsyaaAllah aku akan terus bersamamu selama Allah memberikanku waktu. Kita buat cerita yang berbeda, ya.”

Khaizuran membalas pelukan suaminya dengan isakan yang keras.