Menyambut
Kepergian
Oleh: M3
Setelah pulang kerja, aku dikejutkan suara tangisan Naura yang lebih
kencang dari biasanya. Kaki ini berlari menuju kamar. Mataku terbelalak
mendapati Naura tengkurap di lantai. Tidak bisa berbaik sangka, aku langsung menodong
pertanyaan mengapa Naura bisa ada di lantai ke kakak iparku.
“Na…Naura jatuh sewaktu Mbak mau menggendong Naufal,” jawab Mbak Ais
seraya menitikkan air mata.
Aku menghela napas berat dan segera membawa Naura ke klinik terdekat
tanpa menanggapi Mbak Ais yang bergeming di sudut kamar. Beruntung seusai
kuperiksakan ke dokter anak di perumahan sebelah, Naura dinyatakan tidak
memiliki cedera yang serius. Walaupun kepalanya benjol dan mesti di kompres.
Hamdalah sekaligus istigfar keluar dari lisanku.
“Maafin Tante, ya. Kali ini Tante bakalan berusaha lebih keras lagi
untuk membawa Mamamu berobat,” ujarku tepat di sebelah telinga Naura.
Sepulangnya dari klinik, aku menidurkan Naura di ranjang bayi. Setelahnya
aku menghampiri Mbak Ais di ruang tamu yang tangannya bagaikan menggendong bayi
seraya melakukan dialog padahal sedang sendiri.
“Mbak, ayo kita pergi. Hasna mau ngajak Mbak ke suatu tempat,” ajakku.
“Hush, kamu itu kok menyela pembicaraan masmu toh? Sebentar, biar
diselesaikan dulu ngomongnya,” seru Mbak Ais meletakkan telunjuk ke bibirnya.
Dengan paksa, aku menarik lengan Mbak Ais yang posisi tangannya tetap
sama ke dalam mobil. Kemudian, aku menggendong Naura dengan meh dai carrier dan
kembali ke mobilku. Kami pun berangkat ke tempat tujuan. Tidak ada percakapan
selama kami dalam perjalanan kecuali murottal yang kunyalakan.
Sesampainya di tempat tujuan, Mbak Ais sempat bertanya mengapa aku
mengajaknya ke sini. Sebelum menjawab kugandeng ia lebih dahulu untuk menghadap
ke pemakaman Mas Doni dan Naufal. Di situ, aku mengajaknya berdoa sembari
berdiri. Seusai itu senja jadi sendu, awan mengabu, dan aku malah mengenang
masa lalu.
Empat bulan yang lalu, Mas Doni sedang menyetir dengan terburu-buru
Ketika mendengar istrinya akan melahirkan. Bersamaan dengan itu, Mbak Ais sudah
berada di ruang operasi. Pisau bedah mulai mengiris perutnya. Langsung
kualihkan pandangan yang membuatku bergidik ngeri ke arah wajah Mbak Ais yang
pucat.
Putra pertamanya lahir dengan selamat. Disusul lima menit kemudian,
Naura ikut melihat dunia untuk kali pertama. Tangisan keduanya membuat satu
ruangan dipenuhi keharuan. Bahagia, lega, dan menenangkan. Sayangnya,
bertepatan dengan itu ada telepon masuk yang mengabarkan kalau Mas Doni
mengalami kecelakaan tunggal. Luar biasanya Naufal ikut berpulang tanpa
komplikasi apa pun. Mau tak mau kami harus menerima ketidakhadiran mereka.
Dan di sinilah kami. Di mana Mbak Ais didiagnosa depresi pada bulan
kedua. Tiada minat lagi pada hal-hal yang disukai. Setiap hari merasa tertekan
dan lelah berlebihan. Hipersomnia membuatku pusing. Berkurangnya kemampuan Mbak
Ais dalam berpikir dan konsentrasi benar-benar mengkhawatirkan. Belum lagi ia menganggap
bahwa Mas Doni dan Naufal masih hidup. Sekarang malah mengabaikan Naura secara
tidak sengaja.
Baru kutahu kemarin, obat yang diberikan psikiaternya tidak diminum dan
disembunyikan di balik guling Naura. Tanpa sadar tangisanku keluar sangat deras
tatkala mengingat hal tersebut. Mbak Ais hanya diam saja menatapku yang menutup
mata dengan tangan.
“Mbak, Mas Doni, kakakku sudah nggak ada. Ia dan Naufal sudah pulang.
Sekarang Mbak Ais sudah waktunya menyambut kepergian mereka dengan kembali
rutin minum obat dan konseling. Ridhoi mereka pulang, ya, Mbak. Di sini Naura
butuh Mbak Ais. Kalau begini keadaannya, Mas Doni dan Naufal bakalan sedih,”
kataku terisak-isak hingga Naura, keponakanku yang berusia empat setengah bulan
bangun.
“Mbak, Allah tuh tahu hati Mbak lagi sakit, sedih, marah, dan berduka.
Namun, bukan berarti Mbak terus-terusan meratapi kepergian mereka berdua. Hasna
tahu, Allah Maha Mengetahui pula kalau Mbak tu rapuh, nggak sekuat yang dilihat
orang-orang. Untuk itu, Hasna mau ajak Mbak untuk terus berjuang. Masih ada
kami berdua. insyaaAllah Hasna dan Naura bakalan terus di samping, Mbak,”
lanjutku memeluknya.
Mbak Ais menatap nanar kedua makam itu. Ia membalas pelukanku dan mulai menangis
dipenuhi isakan yang terdengar menyayat dan menyesakkan dada. Aku persilakan ia
menjerit selagi di makam itu tidak ada siapa pun selain kami. Kubolehkan juga
ia mengungkapkan segala kata dan perasaan, yang selama dua setengah bulan
terakhir ini, menjejali pikiran dan hatinya. Kehilangan memang membawa duka
mendalam, tetapi terpuruk selamanya tidak akan mengembalikan mereka. Allah sayang
kepada kami. Bukan berarti Yang Merajai Hari Pembalasan menghukum kami. Namun,
sudah waktunya dan ini qada kami. Bagaimana kami menghadapinya, itulah yang
Allah nilai.
“Dek, maafin Mbak, ya. Mbak terlalu berduka sampai lupa kalau punya adik
ipar sebaik kamu. Makasih, ya, udah mau jaga dan mendukung Mbak. Sungguh masmu
adalah ayah, kakak, sahabat, dan suami bagi Mbak. Naufal, malaikat kecilnya
Mbak…Bismillah, Mbak bakalan kembali berobat untuk menyambut kepergian mereka
dengan ikhlas,” ujarnya meremas kerudungku.
“Nggak perlu minta maaf, Mbak. Bukan salah Mbak. Terima kasih sudah tangguh menjadi anak broken home dan single parents,” sahutku mengelus pelan punggungnya.
***
disilakan untuk memberikan dukungannya berupa: komentar, kritik, dan saran, beserta koreksi. terima kasih sudah membaca.