SEPINTAS ‘TUK KEMBALI
Penulis: M3 (@_emthree)
Malam
itu, senyum tidak dapat terurai sama sekali. Kamu tertawa di bawah lampu jalan
di antara gelapnya langit. Mata lebih sering memicing menahan agar tidak
tertidur sepanjang perjalanan. Kemudian kamu tersungkur, tetapi bangkit lagi. Tubuh terhuyung akibat kepala yang kian pening.
Di
dekat lampu jalan yang sedikit menerangi langkah, kamu pun tersungkur kembali. Kini
kamu mengejek dan menangisi diri. Kesal sedari tadi kakimu belum juga memijak
rumah. Jalanan lengang dan kamu sendiri. Tiada alat hubung yang membantumu memanggil
teman. Perut mulai bergejolak. Dirundung mual.
Tiba-tiba
beberapa gagak berada di atasmu. Sangat berisik dan kamu dibuat marah karenanya.
Hatimu begitu membara. Saking kesalnya kamu sampai sanggup berdiri dengan
cepat. Beberapa rutukan pun terlontar tanpa arah dengan telunjuk mengarah
pada burung hitam tersebut. Hening pecah oleh kejamnya ungkapan yang keluar
dari wanodya cantik sepertimu. Belum puas kata-kata buruk diutarakan, engkau mencoba melempari burung-burung itu dengan kerikil. Para gagak langsung menyambar kepalamu. Membuatmu makin menggila.
“Hei!
Burung bodoh! Diamlah. Kurang ajar sekali kau mengganggu kesunyianku! Diam,
diam, pergi sana! Kepalaku makin pening. Berisik sekali bang***! Bede**h sia*an,” rutukmu
menepis para gagak yang berusaha menghinggapi kepalamu.
Akhirnya
kamu putuskan untuk terus menyusuri jalan sepi yang minim penerangan. Sayangnya,
berulang kali kamu tersungkur, bangkit, terjatuh lagi, sembari ditemani keberisikan
burung-burung. Sampai di ujung jalan penuh kerikil yang begitu tajam, dirimu terjungkang sangat kesakitan.
“Bagus!
Bagus! Pakai gaun selutut, lengannya pendek, bahannya tidak tebal, sekarang jatuh. Bodoh!”
keluhmu memukul kepala sekaligus menahan sakit sebab tubuh bagian belakang menghantam kerikil-kerikil
kasar.
Pandanganmu
jadi tertuju pada lampu putih yang tidak begitu terang. Memberikan
efek buram. Beberapa detik tanpa pikiran lain, batinmu berembus membisikkan
sesuatu yang kelu. Tidak terdengar jelas, walau dalam kalbu. Yang ada ialah jejak tak
bertuan, muncul tiba-tiba, dan rasanya menyesakkan.
Jiwamu
seolah terkoyak karena keadaan. Sendiri dalam sepi. Teringat oleh apa yang tadi
kamu lakukan sebelum berjalan pulang. Ternyata sisi kananmu dihantam oleh maksiat sisi kiri. Kepalan
tanganmu mulai memukul-mukul kepala dan dada. Seakan tubuhmu berhak mendapat
kesakitan dari dirimu sendiri.
Kamu
bangkit, lalu w sitting. Kedua tanganmu
menopang tubuh di depan. Kerikil-kerikil jadi basah oleh rintik yang jatuh dari
kelopak mata. Ingin sekali kamu berteriak melepas apa yang menyumbat hati. Burung gagak bagai usai menemanimu bersama kebising. Kini mereka mulai pergi darimu. Membiarkan, lagi-lagi kesendirian yang sunyi memelukmu lebih erat,
dalam, dan lama.
Akan
tetapi, tiba-tiba sepintas cahaya temaram mendekati perlahan. Ternyata sinar itu berasal
dari seorang perempuan. Mata mulai memicing untuk memfokuskan pandangan. Di sebelahnya
ada sosok gadis gelap. Kamu mengernyit sambil menahan perih dengan posisi yang
belum berubah.
"Kau
siapa?" tanyamu parau pada perempuan bercahaya redup yang jongkok di depanmu.
"Aku?
Aku adalah engkau. Kau lihat dia yang sedang berdiri? Itu juga engkau. Tataplah
ia lekat-lekat. Bukankah warnanya abu gelap? Padahal dulu ia sama sepertiku.
Terlahir bercahaya," jelas perempuan itu.
"Apa
kau bercanda? Apa maksudmu? Cepat katakan siapa kalian? Katakan sebenarnya. Tidak usah
berbohong!" paksamu memekik dan melotot.
"Cobalah tatap dengan cermat. Dapati struktur wajahnya. Lalu nilailah apakah ia
mirip denganmu dan denganku? Katakan!" pintanya masih bernada lembut.
"Tidak
mungkin aku punya doppelganger," ujarmu gemetar, mendongak, tidak percaya
sembari membulatkan mata.
"Kau
kebanyakan baca informasi barat. Sudahi itu sebagai sebuah kepercayaan.
Ternyata salah satu alasan kami seperti ini karena hal tersebut," respon perempuan itu menepuk dahinya dan berwajah sendu.
"Cepat
jelaskan mau apa kalian ke mari? Apa kalian mau menyakitiku?" tanyamu dengan suara serak, pupil melebar, dan gemetar terus kentara.
"Aku
serius. Tidak main-main. Tujuanku ke sini...," jelasnya terjeda karena
berdiri kembali, lalu mengulurkan tangan ke arahmu melanjutkan, "... untuk memperingatimu tentang sesuatu. Berdirilah!"
"Apa?"
tanyamu lagi menerima ulurannya dan berdiri seraya napas kembang kempis karena
gelisah menjalar ke seluruh arteri.
"Kau
masih bisa membuatku terang. Apakah kau mau di setiap jalan hanya remang-remang
yang terlihat? Ya, aku tahu kini perasaanmu remuk redam. Jalan menuju cahaya seakan jauh membentang tidak jelas. Namun, tolonglah dirimu
sendiri di masa depan. Tolong aku supaya kita dapat saling membantu," tutur perempuan tersebut memohon agar engkau melakukan apa yang akan diminta.
"Sebenarnya apa poin yang kau ingin dariku?" kali ini dahimu mengernyit.
"Aku
adalah amal baikmu yang telah kau lucuti pakaian istikamahnya. Sedangkan dia
adalah amal burukmu yang selalu kau hias dengan noda gelap kemaksiatan." Tunjuk perempuan itu ke gadis gelap di sampingnya.
Sepintas, lututmu gemetar dan lemas. Hatimu sesak tiada tara. Napas tersengal perlahan.
Tiba-tiba engkau jatuh tersungkur kembali. Dadamu dipenuhi kelu. Tangis mendera
lagi, tetapi kali ini lebih deras. Bagaikan tumpukan film yang berjejal di
folder laptop, peristiwa masa lalu terputar kembali.
Bayangan
kesalahan, kealpaan, pengingkaran, menyakiti, dan berbagai keburukan lainnya
bermunculan. Kamu tidak bisa mengelak. Bagaimana lagi kamu menyangkal?
Pelakunya adalah dirimu sendiri. Menzalimi orang lain dan dirimu sendiri.
Gadis
dan perempuan itu terdiam beberapa saat. Namun, sang gadis gelap berjongkok seraya mendorong jidatmu menggunakan telunjuknya dengan keras. Ia menatapmu penuh kekesalan. Meskipun wajahnya
datar, tetapi netranya tak bisa membohongimu.
"Maafkan
aku, wahai diriku," ucapmu sesenggukan menunduk karena menyesal.
"Kau
pikir maafmu berguna? Dasa bodoh! Bede**h sia*an! Kelakuanmu itulah yang mewakili permintaan
maafmu secara tulus atau tidak," sahutnya memiringkan kepala dan tersenyum meremehkan.
Gadis
itu berdiri lagi. Dengan kasar, ia mengangkat dagumu dengan jari kakinya.
Kemudian, si wajah gelap itu memerintah, "Sekarang sadarlah! Buat diriku
setidaknya gelap atau pudar? Menyingkirlah dari aktivitas melukiskan
kegelapan. Ikuti apa yang ia butuhkan guna menambah cahayanya.”
“Aku
begitu muak mendapatimu menyesal tanpa berbuat sesuatu. Percuma kau minta maaf
dan menyadari kesalahan kalau tidak ada pergerakan atau perubahan. Adanya
omonganmu hanya dusta belaka. Meratapi tanpa langkah berarti. Hei, Bodoh! Kau pikir
aku ini akan jinak? Jangan salah. Makin kau teruskan maksiatmu, makin gelap
diriku, dan makin menggila diriku sebab menginginkan lebih. Maksiat yang kau pupuk
malah jadi mengalami pembaruan. Aku sih puas saja," tambahnya mendorong dagumu.
“Hm,
ya, tidak masalah bila itu maumu membuat dirimu makin terjatuh ke dasar kegelapan. Toh memang
diriku ini adalah refleksi hawa nafsumu. Kala kau senang menikmati hal yang
dilarang, aku bahagia. Ketika kau bosan melakukan ibadah, diriku ikut sebal
akibat kebosanan yang kau rasakan sehingga kita akan mencari hal-hal
menyenangkan lainnya. Melakukan sesuatu yang nikmat, tetapi menjerumuskanmu ke arah api yang menjalar. Gelap mata menggerogoti narunimu. Hahahahahah. Kau bisa jadi temanku di neraka. Terserah kau sajalah,” ungkapnya sembari menyunggingkan sudut bibir kirinya.
Setelahnya, sang gadis mengabu pekat itu pergi. Menghilang di antara sisi yang tak disoroti
oleh lampu jalan. Meninggalkanmu dengan sejuta frustasi dan penyesalan, sedangkan
perempuan bercahaya yang meredup itu tetap bersamamu. Ia lagi-lagi membantumu
berdiri. Setelahnya, malah tersenyum dan memelukmu yang gemetaran akibat takut,
cemas, bersalah, merasa tak pantas, dan menyesal.
"Sepintas
memori yang kau ingat memang menyesakkan. Ayo, kita sama-sama memperbaiki hari
ini dan esok. Jika engkau masih bangun keesokan hari, maka banyak kesempatan
yang terbuka untukmu. Jangan selalu kau sia-siakan. Apabila waktu telah berlalu,
aku takut, aku takut kehilanganmu yang ber-taqwa. Jika cahayaku ini benar-benar padam,
maka engkau tidak akan pernah tersenyum sebab menyesal. Tolong! Tolong, hentikan semua
keburukan ini. Kembalilah mendekat kepada-Nya," cetus perempuan itu sambil
mengelus pelan puncak kepalamu.
"Wahai
aku! Kamu selalu butuh Allah. Jika tidak mendekat kepada-Nya sekarang, lalu
kapan lagi? Jangan sampai kamu merugi dan terlambat menyesali seluruhnya. Ketika sadar di
penghujung waktu, ternyata alam barzah telah hadir di depan mata. Aku, tidak
mau hal tersebut terjadi padamu. Mulai sekarang, dengarkan aku, ya? Agar nuranimu kembali menyala," imbuhnya
melepas pelukan seraya memegang kedua tanganmu dan mengusapnya penuh kelembutan.
Kamu
terpaku. Tubuhmu berkeringat dingin. Lelehan bulir air mata menggenang deras
tiada henti dalam hening. Kamu pun merengkuh perempuan itu. Kedua
tanganmu meremas kuat pakaiannya. Teriakan mulai keluar, baik rutukan, rasa bersalah,
dan mengatai diri sendiri.
"Sakit
sekali rasanya! Maafkan aku yang sudah banyak mengecewakanmu, wahai diriku! Aku
melakukan banyak pengulangan kesalahan. Maafkan aku yang frustasi, tapi minim
aksi. Tolong teruslah bersamaku. Terima kasih karena masih mau mendorongku
menghindari maksiat. Walaupun aku sering mengecewakanmu kembali," cakapmu
memegang pundaknya bersama isakan lebih tenang.
Desau
angin mengibarkan surai sepundakmu. Mata, hidung, dan pipimu memerah. Beberapa kali
tarikan napas kamu lakukan untuk mencapai ketenangan. Perempuan redup tersebut
mengelus punggungmu dan terus membisikan kalimat zikir. Perlahan, tenang mulai
merambat. Ada seutas senyum terukir tipis dari sudut bibirmu.
"Saatnya
beraksi. Teruslah melaju. Hanya Allah yang bisa menolongmu. Mintalah kepada-Nya
karena aku sekadar wasilah. Kuharap kau terus menyadari rasa kepedihan atas
ulahmu sendiri ini. Supaya apa? Supaya engkau ingat untuk beristighfar setiap
detiknya," tegasnya melepas pelukan.
Seusai
itu malam jadi tenang. Tangannya menyentuh dadamu. Terasa begitu berdebar
akibat pengulangan masa lalu yang pernah kamu lalui. Ia pun meniup wajah dan
tangannya. Kemudian meletakkan ke posisi jantungmu berada.
“Bismillah,
aku yakin kamu bisa,” tukasnya semringah.
“Apa
iya? Bukankah kalau yang lain bisa, aku tidak harus bisa?” sahutmu ragu sambil menyeka air
mata yang tersisa.
“Tentu
saja kamu selalu bisa melakukan segala
hal yang berada di lingkaran kendalimu. Bukan yang di luar kendalimu. Hasil itu adalah hak prerogratif Allah.
Kamu tinggal berdoa, ikhtiar, dan tawakal. Sisanya serahkan kepada Rabb kita. Mungkin
sepintas ini dulu yang bisa kubagikan untukmu kembali pada-Nya,” jawabnya
tersenyum, lalu berjalan mundur dan melambaikan tangan.
Ia
pun hilang di antara gelapnya malam. Akhirnya kau jatuh, lagi, tengkurap. Ditinggal
sendiri. Tertatih untuk berdiri, engkau mulai merangkak ke arah lampu jalan
berikutnya. Lutut dan telapak tanganmu sangat sakit, tetapi demi sampai kau rela melakukan. Sesampainya di sana, silau begitu membahana hingga menyipitkan mata. Gemetar pun meruntuhkan kekuatanmu hingga tertelungkup sekali lagi.
Pening
menjalar hebat beberapa detik, lalu menghilang saat kamu bangun untuk duduk. Pikiranmu
tersadar sempurna kala menatap hamparan sajadah ada di depan mata. Nyatanya,
Allah tidak pernah meninggalkanmu. Dirimu yang kadang meninggalkan-Nya. Faktanya, Allah selalu berada di dekatmu.
- salam mencintai proses, M3
- 2021