Sabtu, 26 September 2020

CERMIN - HENTAKAN YANG HARUS USAI

HENTAKAN YANG HARUS USAI
Oleh: M3

Langkah ini berlari. Jauh menembus kabut. Langit terus kelabu diiringi nimbostratus. Dingin. Kaki berlari tersaruk-saruk. Gencatan siksa telah terlepas untuk saat ini.

Sayangnya para panah terus melesat. Berusaha menembus tubuhku. Gagak beterbang menyambut. Mereka mengitari kesenduan yang mengikat.

Udara semakin mencekam tulang-tulang. Terhenti. Aku jatuh memeluk diri. Seketika itu panah berhasil menembuk dada. Aku menangis sambil terkekeh kecil.

Sayatan di kulit masih terlihat segar dan baru. Dengan menahan keperihan, aku berupaya merangsek kepedihan yang mendera. Beringsut dari tanah. Mulai berlari lagi. Sekuat tenaga harus pergi dari tanah yang menghentak.

Aku lelah, capek, pusing, takut, dan hampir menyerah. Belenggu maksiat terus saja membidik diri. Berlagak membahagiakan. Nyatanya cuma membalut kemungkaran.

Beberapa gagak membantuku berdiri karena berulang kali terjatuh. Napasku memburu. Jantungku sakit. Teriakan menderu. Membisingkan sekitar diikuti semua suara burung hitam itu. Nada-nada semakin nyaring dan melebar.

Langkah masih terseok-seok. Memegang dada berusaha menahan pedihnya anak panah. Sudah sejauh ini. Aku tak boleh kembali. Mereka akan menyekapku bila berhenti berlari.

Aku tidak mau lagi Tuan Id merantaiku. Telah cukup kesenangan fana yang kualami. Aku tak mau bila menanggung akibat yang lebih luas lagi. Lelah, tetapi kaki ini harus terus melaju.

Hentakan nafsu mesti diusaikan. Jangan ada lagi kerlap-kerlip pembodohan. Kalau tidak, air laut yang tertenggak akan membuat kerongkonganku semakin kering. Bila kuturuti, maka aku berpotensi besar terbelenggu lagi dan lagi. 

"Aku akan terus berlari! Aku harus terus lari!" tekadku membulat dan masih merasakan aliran darah yang terus menetes keluar mengaliri tangan.

Mojokerto, 22 September 2020

Cermin - Lapisan Markah

LAPISAN MARKAH
Oleh: M3

Jutaan huruf berderet mengitari kepala. Tertawan geligi yang menghunjam dada. Bekerja sama dengan secarik pena dan kertas. Ditemani solatip transparan. Aku tersenyum di bawah lapisan topeng.

Ekspresi yang menutup bibirku. Yang berupaya sekuatnya menghalangi penanda. Aku berkeliaran menelaah para kertas. Mencari guratan yang sekiranya pas membatasi emosi yang hampir tak terbendung.

Ribuan sensasi masuk ke telinga. Mengobarkan kecemasan, kebodohan, ketidak-mampuan, keburukan, dan ketidakgunaan. Aku jatuh tersungkur. Menengadah berharap ada yang mengibarkan bendera empati. Gelap ruangan ini. Tangis keluar dari balik senyum yang berusaha mengubur pilu.

Gagal dan sembab jadi berhamburan. Lapisan markah tertuang. Namun, esensinya kecil, bahkan hampir buram. Adakah yang mengulurkan tangannya? Menarik lenganku untuk keluar dari ruangan ini?

"Aku ingin lepas di antara lapisan pembatas ini. Tembok begitu tinggi menjulang otomatis. Bagaimana aku menghancurkan semuanya?" tanyaku penasaran. 

Tanda-tanda yang telah kuberitahu tidaklah cukup. Barangkali memang belum aku temukan. O, Pencipta Semesta, izinkan aku memohon kepadaMu. Kirimkan utusanMu yang Engkau wasilahkan guna membantuku," batinku sambil tak henti-hentinya mata mengalirkan air. 

Berat dan sesak. Tenggorokanku tercekat. Basah menggenangi wajah terus-menerus. Bibir terkatup erat. Sekilas semringah layaknya enggan berkabar. Jadilah sepicis coretan senyum yang mewakilkan. 

Hingga datang seutas tali. Sosok tak kentara itu mendekati. Tak terlihat wajah bahkan gendernya. Tangan itu menyentuh pipiku. Hangat menyeruak di setiap aliran darah.

"Sekarang berhentilah menangis," tuturnya melepas secarik kertas dari mulutku.

Ia menggandengku perlahan. Membuka para pintu yang ada di depan. Menyusuri lorong gelap dan pekat. Ternyata lapisan markah bermunculan begitu banyak. Tertempel pada sekat-sekat yang sebenarnya tak kuinginkan untuk mencuat.

"Tenang saja. Allah mengirimkanku kepadamu. Kita akan melangkah pelan-pelan. Demi menemukan ujung agar tembok —yang kau bangun dari alam bawah sadar— runtuh sebagian besar. Kita pasti bisa karenaNya."

"Memang kau siapa?"

"Aku adalah engkau. Bagian Superego. Angel side. Aku sebenarnya jengah karena Id, Demon side, juga ikut bersama kita. Tepat di belakangmu. Jadi, maukah kau menolongku agar aku bisa menolongmu? Supaya kita sama-sama mengontrol Ego dan bisa keluar dari sini. Tentunya agar Id tak memengaruhi lebih dalam lagi."

Kujawab dengan anggukan. Tercengang pada apa yang kulihat di depan. Hatiku dibanjiri terima kasih terhadap Sang Raja Jagat Raya.

"Markahmu sebenarnya berfungsi untuk menempa. Kuharap kau mau menyimpan piala Pemetik Hikmah dan membuang buah Kesombongan. Kita berada di titik kritis. Alam bawah sadar mesti kau sugesti dengan perspektif positif. Karena kanvasmu masih berhak berwarna-warni, mari kita ubah susunan lapisan markah hitam putih jadi cerah."

Namun, bisikan di belakang membuatku mengeluarkan buliran bening lagi. Aku jatuh tersungkur. Genggaman terlepas. Lelah dengan apa yang Id lakukan. Terasa tak berdaya, lemah, dan hina dina. Id berbisik untuk berhenti, menyerah karena aku tak pantas. 

"Kau pasti bisa. Ayo! Gandeng tanganku lagi. Buang jerat insecure. Jangan lupa kontrol Ego bila terlalu dekat dengan nadimu. Tolong aku agar bisa membantumu," ajak Superego menyemangati. 

"Kau bisa. Allah pinta agar kau tak putus asa," tambahnya terus menggandengku. 

Aku cemas. Aku menggenggam tangan kiri di depan dada. Meskipun begitu, kulanjut saja dengan yakin. Ia berpesan supaya aku tak menyerah. 

Sesekali ia menoleh ke belakang. Memastikanku tidak apa-apa. Kedua alisku terangkat dan mengerut. Aku tersenyum dan menangis sekejap tanpa ada lagi secarik kertas yang menempel di bibir. Terima kasih Sang Pencipta.

Mojokerto, 22 September 2020

***

Cerpen - Jangan Doakan Aku Sembuh

JANGAN DOAKAN AKU SEMBUH
Oleh: M3

Kerumunan anak muda macam kami menghunus kegersangan di jalan kecil ini. Kami, Dirga, Candra, Alifah, Sasya, Valen, Rahmat, dan aku berjalan lurus berpeluh keringat. Mobil Rahmat, diparkir di depan mini market yang berada di ujung gang.

Daerah yang kami lewati cuma bisa dilalui sepeda motor satu arah. Berbaris tubuh kami menuju satu tujuan. Rumah teman semasa SD yang menjadi satu geng hingga mencapai usia 25 tahun ini.

Beberapa bulan belakangan dia jarang muncul di grup. Biasanya ikut nimbrung, walaupun 95% menjadi silent reader. Namun, setiap ada janji temu, dia yang selalu datang tepat waktu. Umair memang paling sedikit bicara daripada teman lainnya.

"Masih jauh nih? Gerah banget nih!" keluh Sasya mengibas-ngibaskan tangan ke wajahnya. 

"Sambat mulu, Lu! Udah dibilangin rumah Umair paling pojok belakang sebelah kiri. Lagian ini jalan buntu. Tahan napa. Ngomel terus. Makin gerah nih!" timpal Candra yang tak tahan dengan lontaran kata Sasya sejak keluar dari mobil. 

"Udah, ih. Kedengeran warga lain, malu." Valen menengahi

"Nih, nih, pake kipas tangan aku. Adu mulut terus." Alifah menyerahkan penyejuk manualnya ke si rambut bercat ungu, Sasya. 

"Nah gitu dong. Thanks," sahutnya tersenyum lega

Di belakang sendiri aku menggelengkan kepala. Mengerling heran, masih saja ada keributan kecil semacam itu. Sesampainya di rumah Umair, kami disambut tampilan sangat sederhana.

Dinding mulai lapuk, retak, dan warna biru mudanya memudar. Daun pintu triplek yang masih kukuh menutup hal yang mesti disembunyikan dari luar. Pilar penopang teras mini itu juga ikut terkelupas. Baik cat maupun bagian semennya. Jendela kaca lebar sangat lusuh. Tirai kuningnya menggantung menutup.

Kami sempat tertegun sejenak. Keheranan pecah saat bibirku langsung mengucap salam saat aku berbalik. Aku bermaksud membelakangi tuan rumah yang membuka pintu setelah ini.

"Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh. Umair?" salamku, lalu berbalik diikuti Alifah, Rahmat, dan Candra. 

"Eh, gak sopan banget membelakangi rumah temen kita," sergah Sasya memegang lenganku. 

"Tau, nih," tambah Dirga mengerutkan kening. 

"Maaf, tapi ini adabnya, Sya. Aku takut tuan rumah tidak mengizinkan tamu melihat apa-apa yang tak sepatutnya orang luar tahu," jawabku tersenyum dengan mengulum tepi kiri bibir. 

"Terus juga kalau aurat orang di dalam terlihat, apa kita gak sungkan? Soalnya aku benci banget ada tamu yang melongok ke dalam rumahku tanpa izin," cakap Valen menambahi. 

"Betul tuh. Pernah ada yang kurang ajar banget sampe gedor-gedor pintu. Pas aku belum pake jilbab ama kerudung, lagi. Hadeh," komentar Alifah mengerling malas kemudian mengikut berbalik. 

"Aih! Jinjja? Well, aku gak tau sih rasanya. Soalnya kalian semua pada nutup kepala. Sorry, ya." Sasya menimpali dengan mengendikkan bahu. 

"Gak apa, Sya." Valen menanggapi. 

Sekali lagi, aku memberi salam. Sayup-sayup terdengar jawaban salam dan derap seseorang mendekat. Beruntunglah Ibu Ulfa, Ibunda Umair, ada di dalam. Beliau membukakan pintu sambil merapikan kerudung marunnya. Semua disilakan masuk, kemudian memberikan anggukan tanda permisi.

"Sebentar, ya. Ibu panggilkan Umair dulu. Maaf lho jamuan di meja cuma seadanya."

"Tidak mengapa, Bu. Saya dan teman-teman justru meminta maaf, sudah merepotkan saja," sahut Alifah. 

Beberapa detik kemudian, Umair keluar dari kamar. Menembus tirai yang menutupi bagian dalam rumah. Ia duduk di kursi roda. Mukanya pucat dengan topi rajut menutup kepalanya. Tubuhnya semakin kurus. Akan tetapi, senyum itu tak pernah lekang oleh waktu. Meski muncul setipis tisu. 

Memang tak dapat disembunyikan. Aksanya terlihat lelah, kantung mata juga lebar, bibirnya hampir putih. Kami berbincang hangat ditaburi candaan ringan seperti biasa.

Rupanya teman kami satu ini mengalami tumor otak. Baru kami sadari pula bahwa ia memakai infus. Itu yang Umair katakan sedikit tentang sakitnya. Ibu Ulfa angkat suara mewakili putranya yang kesusahan dalam menjelaskan.

"Maaf, ya, Nak. Tubuhnya lemah. Salah satu kondisinya juga kesulitan bicara, selain tidak bisa menyeimbangkan tubuh dan gerakan," jelas Bu Ulfa. 

"Tidak mengapa, Bu," timpal Dirga

Beliau pun mengisahkan gejala pertama Umair yang sering sakit kepala. Jalannya sering terhuyung hampir terjatuh. Matanya juga sering buram agak lama. Pun sama dengan kognitif (cara berpikir)-nya.

Yang parah saat mau makan, Umair terlihat pucat pasi. Setelah itu tidak kuat mengangkat barang sesuap nasi. Perutnya dipegangi. Terasa mual dikira sakit maag. Tiba-tiba ia muntah ketika berlari ke kamar mandi.

Langsung dari situ Umair dibawa ke rumah sakit. Dinyatakan sudah stadium II. Aku yang mendengar berkaca-kaca. Wajahnya sangat lemah. Terus menunduk dan tak berusaha menjelaskan. Kadang sesekali ia tersenyum di bagian tertentu dari cerita yang dibawakan ibunya.

Netra dengan bulu mata panjang itu turun dan sendu. Seakan mengikrarkan 'Sudah, sampai di sini saja' dalam tatapannya. Senyum tipis kami kembangkan. 

Memang di antara kami, yang paling ekspresif adalah dia. Aku pun langsung mendoakannya secara lisan. Berharap ada keajaiban yang Allah berikan kepadanya.

"Umair, saudaraku, cepat sembuh, ya." Aku beringsut sedikit maju. 

"Jangan, jangan doakan aku cepat sembuh," tolaknya menatapku sambil mengernyit. 

"Lho, kan, aku mendoakan yang baik." Aku tercengang mendengar sahutannya. 

"Iya, bener. Bukannya kamu mau sembuh? Kita berharap begitu. Jangan nyerah dong," tambah Sasya mengernyit dan memayunkan bibir. 

"Bukan aku tak menerima doa baik kalian." Umair menyanggah. 

"Lalu kami mesti gimana? Selalu aneh deh kamu." Sasya gemas tak sabar. 

"Cukup doanya agar sakit ini sebagai penggugur dosa-dosaku. Sebagai ladang pahala ibuku. Semoga diberikan kekuatan maksimal agar aku mampu melalui ini. Termasuk ibu yang repot berkali-kali lipat merawatku dari kecil sampai sekarang. Itu saja yang aku pinta," jelasnya tersenyum tipis. 

Aksa itu... adalah netra yang benar-benar mengumbar kerelaan. Tak pelak juga mendeklarasikan rasa bersalah pada ibunya. Kami mulai banyak yang diam merenung. Termasuk orang tua perempuan Umair.

Cerita dilanjut lagi dengan kemoterapi yang dijalani pasca operasi. Setiap hari badannya ringkih. Terlihat tak terurus. Padahal memang susah bangkit nafsu makannya. Bukan karena tak dirawat.

Rambut rontok hampir tak pernah absen. Mual semakin menjadi-jadi. Ditambah lagi muntah selepas makan. Otomatis asupan menurun, termasuk massa badannya.

Seluruh yang terjadi secara terperinci selesai diungkapkan. Kini, kami pamit pulang. Tak lupa menyerahkan bingkisan dua keranjang buah dan seamplop uang. Tentu dari uang patungan, hasil kerja kami. 

"Semoga bermanfaat. Semangat terus Umair," kataku mengepalkan tangan. 

"Iya, Nak. Terima kasih banyak. Semoga semua kebaikan teman Umair dibalas oleh Allah. Luas dan barokah rezekinya. Sehat-sehat ya, Nak," ucap Bu Ulfa. 

"Aamiin. Sama-sama, Bu." Kami menjawab serempak. 

Tiga bulan setelah kunjungan ke Umair, Dirga membawa kabar sedih. Teman kami sudah meninggal dunia. Tanpa ancang-ancang, sore hari kami langsung meluncur ke rumah duka. Sayangnya Umair sudah dikuburkan di kota seberang.

Semua berduka, baik itu ekspresif maupun dengan diam. Kunjungan ink adalah yang terakhir. Rupanya memang tumor otak Umair telah meradang. Takdir mendorong mereka supaya ikhlas menerima. Ibunya mengatakan bahwa Umair menyampaikan perpisahan di pondok pesantren. Tatkala ingin bertemu salah satu kyai di sana.

"Kata terakhirnya 'Bu, Umair ingin di kamar aja. Minta tolong temani Umair, ya, Bu' dan saat itu Ibu sudah punya firasat pertemuan yang terakhir bersama Umair," jelas Bu Ulfa. 

"Oalah Dela ndak jadi mantu Bapak dong, ya. Hahaha," ucap Pak Sekti, membecandaiku. 

"Bapak bisa aja. Haha. InsyaaAllah reuni ke surga," sahutku sejenak ikut tertawa kecil melihat beliau yang langsung hilang senyumnya. 

Terima kasih dan maaf diucapkan oleh Umair melalui orang tuanya kepada kami. Sebelum akhirnya kalimat tahmid dikumandangkan Ibu Ulfa ke telinga anaknya. InsyaaAllah Umair meninggal dalam keadaan husnul khatimah.

"Terima kasih, ya, Nak, sudah mau menjadi teman-teman Umair," tutur Bu Ulfa menggenggam tanganku. 

***

Note:

Didedikasikan untuk mendiang teman SD saya, Rizki. Semoga Allah menempatkan di sisi terbaikNya. 2015. Tak lupa inspirator saya, Umam. Tak mau didoakan cepat sembuh dari sakit ringannya, karena lebih suka agar rasa sakit itu sebagai penggugur dosanya. 2018.

Apabila ada krisar disilakan untuk mencantumkan langsung ke kolom komentar. Terima kasih sudah membaca. 😊

Cermin - Bunga untuk Kakak

 

BUNGA UNTUK KAKAK
Oleh: M3

Akhir-akhir ini Kakak banyak melamun. Aku mengajaknya berbicara, tetapi dia diam saja. Biasanya mau bermain denganku. Sekarang cuma duduk memandangi jendela. Aku penasaran apa yang dipikirkan olehnya.

Keesokannya, Ayah dan Ibu pergi. Kira-kira mereka ke mana, ya? Aku cuma memandangi Ayah dan Ibu yang berjalan menjauh berbeda arah. Aku dan Kakak menunggu mereka pulang. Malam tiba, tetapi tetap tak ada yang datang. Besoknya masih kutunggu sampai hari berikutnya. Aku mulai menangis dan takut. Apa mereka meninggalkan kami?

"Kak, Ayah dan Ibu mana?"

"Mereka berpisah dan tidak akan kembali lagi."

Aku menangis dan berlari ke halaman rumah. Mencoba memanggil Ayah dan Ibu. Tidak ada jawaban. Mungkin ini alasan Kakak sering melamun. Dari luar aku mendengar suara barang pecah. Aku sangat ketakutan mendengarnya. Tak berani masuk ke sana dahulu.

Tiba-tiba terdengar tangisan Kakak yang keras. Aku mencoba mengintip dari luar. Kakak memeluk lututnya. Menutup wajah dengan kedua tangannya.

Aku berlari ke gerbang lagi berusaha mencari Ayah dan Ibu. Sayangnya, di depan rumah kami adalah hutan. Pasti akan tersesat kalau aku mencari mereka sendirian. Kakak akan bertambah sedih nanti.

Aku pun berjongkok. Terus berdoa mengharapkan Ayah dan Ibu kembali pada kami. Tetap menyayangi kami supaya bisa terus kumpul bersama lagi. Namun, tangisan Kakak semakin kencang.

"Ayah? Ibu? Kalian ke mana? Kami takut di sini!" rengekku memandang pepohonan yang menjulang. 

Pada akhirnya kucoba mencari sesuatu. Dapat. Satu tangkai bunga untuk Kakak. Semoga Kakak suka. Aku memberanikan diri masuk ke rumah. Sebelumnya aku sembunyikam dulu di belakang punggung.

"Kak, jangan nangis terus, ya. Ada Melati di sini. Ini, hadiah untuk Kakak. Kakak jangan nangis lagi, ya."

Kakak menerimanya. Lalu memelukku erat sekali. Seperti tidak akan dilepas. Ia juga masih menangis.

"Melati sedih kenapa Ayah dan Ibu meninggalkan kita. Melati janji akan terus bersama Kakak," kataku ikut menangis keras. 

"Terima kasih, Melati."

Kakak sesenggukan. Kemudian melepaskan pelukan. Ia tersenyum dengan mata yang masih merah.

Mojokerto, 14 September 2020

***



Selasa, 22 September 2020

Cermin - Badai Melodi

 

BADAI MELODI
Oleh: M3

Tiap senarnya mengandung magis yang menghipnotis. Setiap hujan turun, melodi bermesraan dengan Rey. Perempuan berparas sendu dengan rambut biru dongker. Kesukaannya selain terhadap biola, juga pada musim gugur. Di mana dedaunan mulai runtuh.

Setiap berlatih, ada pancaran yang timbul mengalir. Entah bentukan kota, taman, angkasa, semesta, bahkan partitur nada. Beberapa kali ia berhasil menghibur temannya. Hanya dengan senar biola yang mengalun halus. Menyebar ke pendengar dan merasuk ke kalbu.

"Thanks, Rey. Sekarang aku sudah baikan. Really Amazing! Bagaikan aku menari di antara dedaunan saat musim gugur. Kau pasti akan jadi pemusik yang handal!" pekik Kayra menepuk pundaknya menyunggingkan keceriaan. 

Gadis berusia 15 tahun itu membalas dengan senyum tipis. Ia cuma menghela napas karena banyak yang tak tahu. Bila hatinya sedang sedih atau marah, hujan mendera bumi. Di situlah bencana terjadi. Entah berskala kecil atau lebih.

Musiknya bisa membuat petir lebih menggelegar dari biasanya. Badai topan pun pernah terjadi kala ia memendam amarah. Di mana ia salurkan melalui nada-nada biola. Bahkan pernah suatu hari, terjadi kecelakaan mobil beberapa detik sebelum biolanya selesai dimainkan.

"Aku penghancur jagat raya. Candu nada ini tak dapat berhenti. Bagai merangsek pilu dalam relung. Aku harus menghentikan melodi ini! Kalau tidak aku adalah orang berbahaya bagia yang lain!" jerit Rey pada ketidak-stabilan emosinya sambil menjambak rambut dan meringis marah pada diri sendiri. 

Di sisi fakta kehidupan. Beberapa lama kemudian. Musim gugur yang disukai datang, tetapi justru mengukir luka. Rey sangat kesal dengan hukum yang berlaku. Tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Padahal ia benar-benar mengalami pelecehan. Semua yang ada di dalam persidangan malah berpacu membela terdakwa.

"Tuan Hakim yang budiman, tolong! Aku punya permintaan sebelum sidang ditutup. Sebelum Anda menyatakan bahwa pelaku biadab itu tak bersalah," sindirnya mencurigai betul petinggi-petinggi hukum itu disuap oleh pelaku. 

"Hm... yeah. Sure. Whatever," sahut Hakim menopang dagu dengan punggung kanannya dan terus menatap ke mejanya. 

Rey menoleh ke Ibunya yang diminta untuk membawakan biola. Ketika sudah siap, hujan deras turun begitu keras. Suara airnya menghantam tiap bangunan dan besi yang disapa. Sedikit menutup mata, melodi diumbar ke seluruh penjuru persidangan.

Tercipta seutas cahaya yang mengitari Rey. Keluar visual musim gugur dari alat musiknya. Seakan dedaunan jatuh menimpanya. Menari-nari diterpa udara. Membuatnya bersinar di tengah kelabunya ruangan pengadilan. Orang-orang tak ada yang terlalu memperhatikan karena lebih peduli menenangkan jiwa yang terguncang badai. 

Tak terhalang keributan hujan. Biola itu makin bervolume tinggi mengalun tanpa hambatan. Melibas ketegangan yang sempat meradangkan ketidak-adilan. Namun, tak membuat debaran jantung orang-orang merosot hilang. Petir lagi-lagi menyambar hebat. Gelegarnya membuat Rey semakin menyatu dengan musiknya.

Seluruh warga di ruang sidang semakin gemetar dan membulatkan mata. Banyak dari mereka meringkuk menutup mata. Merasa ngeri dengan apa yang mereka dengar. Kekhawatiran terus mencuat dalam dada. Melodi biola semakin melebar. Hingga semua kaca terbuka, menyambut para manusia. 

Angin kencang menghentakkan kecepatannya. Nada-nada juga ikut dimainkan dengan cepat. Tanpa ada ekspresi Rey lainnya, selain sendu. Semua orang menyipit saking kuatnya embusan udara. Satu per satu mundur karena dorongan angin, kecuali Rey.

Netra itu melotot layaknya membentak dan akan mengakhiri badai melodinya. Tangan terangkat dengan busur biola. Ia menurunkan hair busur biola pada senar secara perlahan. Lalu menaikkannya dengan cepat. Selesai. Hujan deras mereda. Rey tersengal-sengal.

Di belakangnya banyak yang meringkuk ketakutan. Hakim di depannya —sejak awal— bersembunyi di balik meja besar bernoktah dosa dari keputusan busuknya. Wanodya itu tersenyum tipis meninggalkan ruangan menuju halaman pengadilan.

Tersangka —entah tewas atau tidak— mengalami pendarahan di luar pintu persidangan. Menghantam pilar dari marmer kelabu. Rey melewati tanpa melirik pelaku. 

"Setidaknya badai melodi dariku bisa berguna juga untuk keadilan hukum."

Dengan langkah perlahan sambil memegang biola dan senar, ia menatap tegas ke depan. Sinar mentari menyapa setengah wajahnya —berbentuk diagonal— dari balik awan yang mulai berpindah. Rey semringah. Seakan pertunjukannya baru saja diselesaikan.

Mojokerto, 22 September 2020 

***

Cermin - Bitterlight


BITTERLIGHT

Oleh: Fatimah Qudwah Afrya 


Tak ada yang tahu, bahkan orang tuanya sekali pun. Bitterlight sekarang menjadi wanodya yang bertransisi ke dewasa awal. Dulu ia sudah mengalami banyak masalah ketika sekolah. Perundungan dan sering dipanggil guru seperti jadi bagian aktivitas harian.


Mulai dari tidur di kelas tiba-tiba. Kadang menghidupkan cahaya ponsel. Sampai bengong menatap gurunya yang menjelaskan pelajaran di depan dengan monoton. 


Pada kenyataannya, Bitterlight bukan tertidur. Ia tak pernah menyalakan cahaya ponsel di kelas. Dan perhatiannya tertuju pada warna yang dihasilkan dari perasaan gurunya.


"Ah, ya ampun! Aku kenapa, ya, bisa melihat semesta hanya dengan menutup mata? Mungkin karena film matahari dan bulan kali. Namun, kenapa juga tanganku bisa mengeluarkan cahaya? Semua orang bahkan punya warna suara saat bicara. Aku bingung. Aku takut kalau memberitahu pada Mama dan Papa," batinnya menatap telapak tangan. 


Tiap kali ia bersentuhan dengan orang tuanya pun, Bitterlight tahu mereka sedang membatin apa. Sebenarnya perempuan kecil itu bingung. Ada apa dengannya? Beberapa teman juga suka mengejeknya karena warna matanya yang kuning keemasan. 


"Dasar mata kucing!" 


"Huuu! Aneh!" 


Ia cuma diam melihat warna merah gelap yang keluar dari suara mereka. Bitterlight tahu teman-teman sangat tidak menyukai dirinya. Rasanya seorang diri dalam lingkungan itu. Ketika duduk di bawah pohon sendiri untuk makan, seorang guru laki-laki menghampirinya. 


"Kamu kelihatan bingung. Mau bicarakan pada Bapak?" 


Beliau tidak bohong. Suaranya berwarna oranye. Tulus ingin membantu. Dengan ragu-ragu, tetapi tetap mau, ia pun janji akan cerita setelah pulang sekolah. 


"Kalau begitu Bapak antar kamu pulang."


Bitterlight yang masih kecil berusia tujuh tahun menurut. Kemudian menceritakan semuanya di dalam mobil sampai menunjukkan cahaya yang bisa keluar dari telapaknya.


"Tunggu! Jadi maksudmu melihat dan merasakan semesta?" tanya guru itu kebingungan. 


"Iya. Maksudnya aku bisa merasakan pergerakan planet-planet, awan, bulan, bintang, dan matahari. Galaksi juga. Mereka seakan berputar di dalam kepalaku, Pak. Indah dan menenangkan." 


"Coba tebak isi hatiku! Katakan perasaan dan suara benak apa yang kau temukan." Gurunya memberikan telapak tangannya. 


Bitterlight mengatakan Bapak Ror begitu penasaran dan sepertinya tahu tentang kondisi Bitterlight. Warna suaranya ungu. Menandakan ketertarikan pada bahasan tersebut. 


Waktu malam tiba. Berdasarkan saran dari gurunya, ia mencoba bereksperimen kepada orang tuanya. Bitterlight mencoba menyentuh tangan Papanya.


"Papa sedang ketakutan dalam mimpinya. Beliau sedang dikejar banyak orang."


Bitterlight mengangkat kedua tangannya seraya memejam. Kemudian keluar cahaya darinya. Terbentuk suatu visualisasi dari angkasa. Dipenuhi bulan, awan, dan bintang-bintang berkilauan.


Gadis cilik itu akan mengirimkan apa yang terbentuk dari tangannya. Matanya terbuka. Ia meniupkan cahaya itu ke wajah Papanya. Beberapa detik setelah meredup, Bitterlight menyentuh lengan orang tua lelakinya.


"Papa bermimpi indah. Setidaknya bisa terbang ke angkasa dalam mimpi dapat membuat Papa tersenyum senang. Hatinya sudah tidak ketakutan lagi," gumam Bitterlight semringah. 


Gurunya menjelaskan bahwa ia adalah putri mimpi. Menangkis interpretasi alam bawah sadar yang buruk menjadi mimpi indah. Sinestesia adalah julukan untuk Bitterlight yang bisa melihat warna suara dan merasakan benak orang lain hanya dengan menyentuhnya.


"Kemampuanmu sangat unik dan bertalenta. Menciptakan visual dalam mimpi. Sepertinya kau harus berlatih mengembangkan bakatmu. Gambaran cahaya itu mungkin bisa diubah sesuai kehendakmu. Aku akan mencoba melatihmu."


"Warna suara Bapak kuning keemasan. Apakah Bapak juga sama sepertiku?" 


"Hahah! Rupanya aku bisa menutup diri. Ya, kemampuan bisa berjalan tanpa membawa raga."


"Seperti hantu?" 


"Beda tipis. Hal itu bisa kulakukan ketika tertidur. Di saat kuperintahkan diriku untuk terlelap." 


"Syukurlah bukan aku sendiri. Terima kasih, Pak." 


"Belajarlah sungguh-sungguh. Masa ini akan kau lewati juga pada akhirnya," sahut Pak Ror mengusap puncak kepala Bitterlight. 



Dari sana, mereka pun berlatih untuk mengembangkan kemampuan si gadis mungil, hingga ia hampir menginjak dewasa awal. Bitterlight pun dapat membuat bayangan alam atau kejadian apa yang diingankan. Kemudian mengantarkan dongeng film-is itu ke mimpi orang-orang. Meskipun sebatas mimpi. Yang terpenting, jiwanya bahagia melihat orang lain tersenyum karenanya. 


Dan semakin bertambah dewasanya Bitterlight, cahaya itu berubah menjadi listrik. Akan tetapi, kemampuan sinestesia sentuhan perlahan menghilang. Ia tetap ceria dan mulai bisa bersosialisasi dengan tetap menyembunyikan apa yang seharusnya tersembunyi. 


"Biarkan mutiaramu berada dalam cangkang. Hanya orang terpilih dan terpercaya yang bisa melihat dan menjaganya. Karena kini, kemampuan sentuhanmu tak dapat meraba niat seseorang lagi." 


"Gunakan Putri Mimpi dan sinestesia warna. Kau harus bersyukur dengan cara menjaga anugerah itu baik-baik," tambah Pak Ror berlalu meninggalkan gerbang kampus Bitterlight. 


Mojokerto, 21 September 2020


---


Gambar dari Google/Pinterest mungkin. Dikirimin temen ehe. 

Apabila ada krisar sangat saya persilakan berkomentar. Tentunya sebagai wujud dukungan apakah karya yang lain dinanti atau tidak. Terima kasih sudah membaca.