Kamis, 23 Desember 2021

Cerpen - Lukisan Demi Seulas Pelukan

 

Lukisan Demi Seulas Pelukan
Oleh: M3

gambar dari lovepik

Semua orang tengah bersiap di bangku penonton. Galeri seni lukis khusus anak-anak tersebut ramai pengunjung pada hari Kamis itu. Sheila terlihat masih biasa saja di belakang panggung. Ibunya melakukan briefing dengan panitia sebelum presentasi lukisan gadis cilik berusia 14 tahun tersebut.

“Ibu sudah mencoba menghubungi Ayah, Nak. Maaf, ya. Belum ada jawaban dari Ayah,” celetuk Ibu mengelus pundak kanan Sheila.

Dengan tersenyum penuh harapan yang redup, Sheila menyahut, “Nggak apa-apa, Bu. Terima kasih sudah menghubungi Ayah.”

Beberapa menit lagi, presentasi dimulai. Tiba-tiba degup jantung anak perempuan berkacamata itu tidak stabil. Panitia membuka acara, lalu menyebutkan judul pameran Sheila.

“Dengan ini, kami persembahkan Ruang Kebersamaan dari Sheila Anindita Rahma. Kepadanya, kami persilakan tampil di atas panggung,” panggil panitia.

Gemuruh tepuk tangan riuh menyambut penampilan Sheila. Sekilas basmalah dilirihkan. Ia menggenggam tangan di depan dada. Mengatur napas dan mulai menghadap ke penonton galeri. Gadis berkerudung cekolat tua itu mengedarkan pandangan ke penjuru kursi. Matanya ingin menangkap sosok yang dirindukan. Namun, tidak ada. Dari atas kursi roda bersama selang nasal cannula yang juga berdampingan dengannya, sebuah mikrofon diberikan. Napas panjang diambilnya. Perlahan karbon dioksida dikeluarkan melalui mulut.

Ia membuka presentasi. Menunjukkan beberapa karya yang telah mendapat penghargaan melalui layar proyektor. Kemudian membeberkan alasannya suka melukis, yakni dapat membuatnya lega. Kata ibunya, dengan melukis juga bentuk menyalurkan perasaan. Entah bahagia atau marah, sedih atau senang, kecewa atau bangga. Selanjutnya adalah karya series. Ibu dan panitia membantu mengeluarkan enam kanvas yang diurutkan dari ujung ke tengah.

Dimulai dari kanvas pertama, sebuah lukisan seorang anak kecil belajar menaiki sepeda. Menceritakan betapa cerianya sang gadis cilik itu mencoba sepeda beroda dua dengan ditemani sang Ayah. Pada lukisan kedua, tokoh utama itu terjatuh. Posisinya memegang lutut sambil menangis dengan sepeda yang tergeletak di sampingnya. Sang Ayah langsung menghampiri putrinya.

“Berlanjut pada gambar ketiga, sang Ayah menggendong putrinya kembali ke rumah. Ada sebuah pesan yang disampaikan kepada anaknya sehingga wajah itu terlihat bahagia setelah jatuh,” jelas Sheila.

“Berawal dari sana, Ayah berkata, ‘Nak, kamu hebat sudah jatuh pertama kali hari ini. Sekarang jatah gagalmu berkurang satu. Ayah bangga kamu berhasil berani mencoba tanpa Ayah pegangi lagi. Besok kita bersepeda lagi, ya?’. Dengan senyum paling menawan, mata anak itu berbinar. Ekspresinya berubah gembira. Ia yakin esok hari dan seterusnya akan menghabiskan waktu bersama sang Ayah,” jelas Sheila memutar kursi rodanya ke kanvas ketiga.

Berlanjut pada kanvas keempat yang bergambar anak itu bersepeda lagi. Ayahnya mengikuti dari belakang sembari menyembunyikan cokelat dan boneka panda di belakang punggungnya. Tentu saja bisa ditebak bahwa hari itu adalah ulang tahun dari putrinya. Mereka terlihat menepi di ladang bunga pada kanvas kelima. Anak peremuan itu mengangkat hadiah dari ayahnya dengan bahagia, sedangkan sang Ayah duduk berselonjor di bawah pohon besar dengan senyuman.

Yang terakhir adalah pelukan dari sang ayah. Terlihat kanvas keenam dijadikan dua panel. Satu wajah sang Ayah dan satunya muka sang putri. Mereka saling memejam dalam rengkuhan yang lama. Di situlah letak kehangatan dan suatu kenangan yang mahal.

“Sang anak membalas pelukan ayahnya dengan riang. Begitupun dengan si Ayah yang nampak senang dan merasa hangat mendekap putrinya. Sebab si Ayah tahu, sebentar lagi putrinya akan menjelma menjadi seorang gadis,” tutur Sheila.

Sheila menjelaskan bahwa kebersamaan sekecil apa pun mungkin akan terlupa oleh orang tua. Namun, bagi seorang anak akan ada beberapa moment yang akan diingat sepanjang hidupnya.

“Ruang Kebersamaan ini, Sheila dedikasikan kepada Ayah yang berjuang keras membiayai hidup kami hingga sedikit sekali waktu di rumah. Namun, izinkan saya untuk mengungkapkan terima kasih kepada penikmat lukisan di sini. Niat Sheila memajang karya di sini ialah ingin menunjukkan betapa bahagianya kami saat itu. Iya, ini cerita Ayah dengan Sheila. Akan tetapi, sangat disayangkan bahwa Ruang Kebersamaan hanya dinikmati hingga waktu itu saja,” ungkap Sheila dengan nada menurun.

“Oleh karena itu, lukisan ini ditampilkan untuk satu rengkuhan saja dari Ayah hari ini. Pelukan yang amat Sheila rindukan sejak tujuh tahun terakhir. Setelah biaya ini saya terima, Sheila harap dapat membeli lima belas menit waktu kerja Ayah dan sebuah pelukan. Itu saja,” harap gadis berbatik krem tersebut.

Dari luar, terdengar derap langkah ke ruang presentasi. Nampak seorang pria paruh baya membuka pintu lebar-lebar. Semua yang hadir langsung menoleh ke sumber suara. Napasnya terengah-engah. Gurat mata sayu di atas panggung itu tersenyum. Tanpa sadar, ia langsung memanggil, “Ayah.”

Akhirnya yang ditunggu-tunggu hadir. Pria tersebut langsung berlari ke panggung menghampiri putrinya yang masih duduk di kursi roda. Diraihnya tubuh rapuh itu ke dalam pelukan. Rupanya sang Ayah mendengar seluruh presentasi putrinya lewat radio dan pengeras suara yang ada di galeri.

“Maaf ya, Nak. Ayah terlambat datang, bahkan mengabaikan telepon dari Ibu. Maaf ya, Nak. Ayah baru ingat,” ucap lelaki yang memakai jas biru tua berdasi hitam.

“Terima kasih Ayah sudah mau datang. Nanti akan Sheila ganti gaji Ayah selama lima menit. Itu sudah cukup bagi Sheila.” Remaja tersebut tersenyum membalas pelukan ayahnya dengan berbisik.

“Tidak, Nak. Tidak perlu. Maaf Ayah tidak pernah hadir di saat Sheila membutuhkan.” Setelah berucap kalimat demikian, kedua tangan Sheila lemas, terjatuh.

Kepala tak mampu lagi untuk tegak. Napas berhenti menderu. Tatapan sirna. Badan lemah seketika. Pelukan dan genggaman terlepas.

“Nak? Sheila? Bangun, Nak?” teriak si Ibu menghambur ke Sheila.

Ayah Sheila bergeming karena sudah terlambat. Wajah yang mulai menua itu turun, matanya sayu, dan bulir deras keluar dari tepi mata. Tidak akan ada lagi suara manis yang memanggilnya dengan sebutan Ayah. Setidaknya Sheila berhasil melukis seulas pelukan dari sang Ayah di penghujung usianya.


salam mencintai proses, M3
cerpen sudah masuk dalam buku antologi Remember oleh penerbit Jejak Publisher

Selasa, 21 Desember 2021

CERPEN - SEPINTAS TUK KEMBALI

SEPINTAS ‘TUK KEMBALI
Penulis: M3 (@_emthree)

Malam itu, senyum tidak dapat terurai sama sekali. Kamu tertawa di bawah lampu jalan di antara gelapnya langit. Mata lebih sering memicing menahan agar tidak tertidur sepanjang perjalanan. Kemudian kamu tersungkur, tetapi bangkit lagi. Tubuh terhuyung akibat kepala yang kian pening.

Di dekat lampu jalan yang sedikit menerangi langkah, kamu pun tersungkur kembali. Kini kamu mengejek dan menangisi diri. Kesal sedari tadi kakimu belum juga memijak rumah. Jalanan lengang dan kamu sendiri. Tiada alat hubung yang membantumu memanggil teman. Perut mulai bergejolak. Dirundung mual. 

Tiba-tiba beberapa gagak berada di atasmu. Sangat berisik dan kamu dibuat marah karenanya. Hatimu begitu membara. Saking kesalnya kamu sampai sanggup berdiri dengan cepat. Beberapa rutukan pun terlontar tanpa arah dengan telunjuk mengarah pada burung hitam tersebut. Hening pecah oleh kejamnya ungkapan yang keluar dari wanodya cantik sepertimu. Belum puas kata-kata buruk diutarakan, engkau mencoba melempari burung-burung itu dengan kerikil. Para gagak langsung menyambar kepalamu. Membuatmu makin menggila.

“Hei! Burung bodoh! Diamlah. Kurang ajar sekali kau mengganggu kesunyianku! Diam, diam, pergi sana! Kepalaku makin pening. Berisik sekali bang***! Bede**h sia*an,” rutukmu menepis para gagak yang berusaha menghinggapi kepalamu.

Akhirnya kamu putuskan untuk terus menyusuri jalan sepi yang minim penerangan. Sayangnya, berulang kali kamu tersungkur, bangkit, terjatuh lagi, sembari ditemani keberisikan burung-burung. Sampai di ujung jalan penuh kerikil yang begitu tajam, dirimu terjungkang sangat kesakitan.

“Bagus! Bagus! Pakai gaun selutut, lengannya pendek, bahannya tidak tebal, sekarang jatuh. Bodoh!” keluhmu memukul kepala sekaligus menahan sakit sebab tubuh bagian belakang menghantam kerikil-kerikil kasar.

Pandanganmu jadi tertuju pada lampu putih yang tidak begitu terang. Memberikan efek buram. Beberapa detik tanpa pikiran lain, batinmu berembus membisikkan sesuatu yang kelu. Tidak terdengar jelas, walau dalam kalbu. Yang ada ialah jejak tak bertuan, muncul tiba-tiba, dan rasanya menyesakkan.

Jiwamu seolah terkoyak karena keadaan. Sendiri dalam sepi. Teringat oleh apa yang tadi kamu lakukan sebelum berjalan pulang. Ternyata sisi kananmu dihantam oleh maksiat sisi kiri. Kepalan tanganmu mulai memukul-mukul kepala dan dada. Seakan tubuhmu berhak mendapat kesakitan dari dirimu sendiri.

Kamu bangkit, lalu w sitting. Kedua tanganmu menopang tubuh di depan. Kerikil-kerikil jadi basah oleh rintik yang jatuh dari kelopak mata. Ingin sekali kamu berteriak melepas apa yang menyumbat hati. Burung gagak bagai usai menemanimu bersama kebising. Kini mereka mulai pergi darimu. Membiarkan, lagi-lagi kesendirian yang sunyi memelukmu lebih erat, dalam, dan lama.

Akan tetapi, tiba-tiba sepintas cahaya temaram mendekati perlahan. Ternyata sinar itu berasal dari seorang perempuan. Mata mulai memicing untuk memfokuskan pandangan. Di sebelahnya ada sosok gadis gelap. Kamu mengernyit sambil menahan perih dengan posisi yang belum berubah.

"Kau siapa?" tanyamu parau pada perempuan bercahaya redup yang jongkok di depanmu.

"Aku? Aku adalah engkau. Kau lihat dia yang sedang berdiri? Itu juga engkau. Tataplah ia lekat-lekat. Bukankah warnanya abu gelap? Padahal dulu ia sama sepertiku. Terlahir bercahaya," jelas perempuan itu.

"Apa kau bercanda? Apa maksudmu? Cepat katakan siapa kalian? Katakan sebenarnya. Tidak usah berbohong!" paksamu memekik dan melotot.

"Cobalah tatap dengan cermat. Dapati struktur wajahnya. Lalu nilailah apakah ia mirip denganmu dan denganku? Katakan!" pintanya masih bernada lembut.

"Tidak mungkin aku punya doppelganger," ujarmu gemetar, mendongak, tidak percaya sembari membulatkan mata.

"Kau kebanyakan baca informasi barat. Sudahi itu sebagai sebuah kepercayaan. Ternyata salah satu alasan kami seperti ini karena hal tersebut," respon perempuan itu menepuk dahinya dan berwajah sendu.

"Cepat jelaskan mau apa kalian ke mari? Apa kalian mau menyakitiku?" tanyamu dengan suara serak, pupil melebar, dan gemetar terus kentara.

"Aku serius. Tidak main-main. Tujuanku ke sini...," jelasnya terjeda karena berdiri kembali, lalu mengulurkan tangan ke arahmu melanjutkan, "... untuk memperingatimu tentang sesuatu. Berdirilah!"

"Apa?" tanyamu lagi menerima ulurannya dan berdiri seraya napas kembang kempis karena gelisah menjalar ke seluruh arteri.

"Kau masih bisa membuatku terang. Apakah kau mau di setiap jalan hanya remang-remang yang terlihat? Ya, aku tahu kini perasaanmu remuk redam. Jalan menuju cahaya seakan jauh membentang tidak jelas. Namun, tolonglah dirimu sendiri di masa depan. Tolong aku supaya kita dapat saling membantu," tutur perempuan tersebut memohon agar engkau melakukan apa yang akan diminta.

"Sebenarnya apa poin yang kau ingin dariku?" kali ini dahimu mengernyit. 

"Aku adalah amal baikmu yang telah kau lucuti pakaian istikamahnya. Sedangkan dia adalah amal burukmu yang selalu kau hias dengan noda gelap kemaksiatan." Tunjuk perempuan itu ke gadis gelap di sampingnya. 

Sepintas, lututmu gemetar dan lemas. Hatimu sesak tiada tara. Napas tersengal perlahan. Tiba-tiba engkau jatuh tersungkur kembali. Dadamu dipenuhi kelu. Tangis mendera lagi, tetapi kali ini lebih deras. Bagaikan tumpukan film yang berjejal di folder laptop, peristiwa masa lalu terputar kembali.

Bayangan kesalahan, kealpaan, pengingkaran, menyakiti, dan berbagai keburukan lainnya bermunculan. Kamu tidak bisa mengelak. Bagaimana lagi kamu menyangkal? Pelakunya adalah dirimu sendiri. Menzalimi orang lain dan dirimu sendiri.

Gadis dan perempuan itu terdiam beberapa saat. Namun, sang gadis gelap  berjongkok seraya mendorong jidatmu menggunakan telunjuknya dengan keras. Ia menatapmu penuh kekesalan. Meskipun wajahnya datar, tetapi netranya tak bisa membohongimu.

"Maafkan aku, wahai diriku," ucapmu sesenggukan menunduk karena menyesal.

"Kau pikir maafmu berguna? Dasa bodoh! Bede**h sia*an! Kelakuanmu itulah yang mewakili permintaan maafmu secara tulus atau tidak," sahutnya memiringkan kepala dan tersenyum meremehkan.

Gadis itu berdiri lagi. Dengan kasar, ia mengangkat dagumu dengan jari kakinya. Kemudian, si wajah gelap itu memerintah, "Sekarang sadarlah! Buat diriku setidaknya gelap atau pudar? Menyingkirlah dari aktivitas melukiskan kegelapan. Ikuti apa yang ia butuhkan guna menambah cahayanya.”

“Aku begitu muak mendapatimu menyesal tanpa berbuat sesuatu. Percuma kau minta maaf dan menyadari kesalahan kalau tidak ada pergerakan atau perubahan. Adanya omonganmu hanya dusta belaka. Meratapi tanpa langkah berarti. Hei, Bodoh! Kau pikir aku ini akan jinak? Jangan salah. Makin kau teruskan maksiatmu, makin gelap diriku, dan makin menggila diriku sebab menginginkan lebih. Maksiat yang kau pupuk malah jadi mengalami pembaruan. Aku sih puas saja," tambahnya mendorong dagumu.

“Hm, ya, tidak masalah bila itu maumu membuat dirimu makin terjatuh ke dasar kegelapan. Toh memang diriku ini adalah refleksi hawa nafsumu. Kala kau senang menikmati hal yang dilarang, aku bahagia. Ketika kau bosan melakukan ibadah, diriku ikut sebal akibat kebosanan yang kau rasakan sehingga kita akan mencari hal-hal menyenangkan lainnya. Melakukan sesuatu yang nikmat, tetapi menjerumuskanmu ke arah api yang menjalar. Gelap mata menggerogoti narunimu. Hahahahahah. Kau bisa jadi temanku di neraka. Terserah kau sajalah,” ungkapnya sembari menyunggingkan sudut bibir kirinya.

Setelahnya, sang gadis mengabu pekat itu pergi. Menghilang di antara sisi yang tak disoroti oleh lampu jalan. Meninggalkanmu dengan sejuta frustasi dan penyesalan, sedangkan perempuan bercahaya yang meredup itu tetap bersamamu. Ia lagi-lagi membantumu berdiri. Setelahnya, malah tersenyum dan memelukmu yang gemetaran akibat takut, cemas, bersalah, merasa tak pantas, dan menyesal.

"Sepintas memori yang kau ingat memang menyesakkan. Ayo, kita sama-sama memperbaiki hari ini dan esok. Jika engkau masih bangun keesokan hari, maka banyak kesempatan yang terbuka untukmu. Jangan selalu kau sia-siakan. Apabila waktu telah berlalu, aku takut, aku takut kehilanganmu yang ber-taqwa. Jika cahayaku ini benar-benar padam, maka engkau tidak akan pernah tersenyum sebab menyesal. Tolong! Tolong, hentikan semua keburukan ini. Kembalilah mendekat kepada-Nya," cetus perempuan itu sambil mengelus pelan puncak kepalamu.

"Wahai aku! Kamu selalu butuh Allah. Jika tidak mendekat kepada-Nya sekarang, lalu kapan lagi? Jangan sampai kamu merugi dan terlambat menyesali seluruhnya. Ketika sadar di penghujung waktu, ternyata alam barzah telah hadir di depan mata. Aku, tidak mau hal tersebut terjadi padamu. Mulai sekarang, dengarkan aku, ya? Agar nuranimu kembali menyala," imbuhnya melepas pelukan seraya memegang kedua tanganmu dan mengusapnya penuh kelembutan.

Kamu terpaku. Tubuhmu berkeringat dingin. Lelehan bulir air mata menggenang deras tiada henti dalam hening. Kamu pun merengkuh perempuan itu. Kedua tanganmu meremas kuat pakaiannya. Teriakan mulai keluar, baik rutukan, rasa bersalah, dan mengatai diri sendiri.

"Sakit sekali rasanya! Maafkan aku yang sudah banyak mengecewakanmu, wahai diriku! Aku melakukan banyak pengulangan kesalahan. Maafkan aku yang frustasi, tapi minim aksi. Tolong teruslah bersamaku. Terima kasih karena masih mau mendorongku menghindari maksiat. Walaupun aku sering mengecewakanmu kembali," cakapmu memegang pundaknya bersama isakan lebih tenang.

Desau angin mengibarkan surai sepundakmu. Mata, hidung, dan pipimu memerah. Beberapa kali tarikan napas kamu lakukan untuk mencapai ketenangan. Perempuan redup tersebut mengelus punggungmu dan terus membisikan kalimat zikir. Perlahan, tenang mulai merambat. Ada seutas senyum terukir tipis dari sudut bibirmu.

"Saatnya beraksi. Teruslah melaju. Hanya Allah yang bisa menolongmu. Mintalah kepada-Nya karena aku sekadar wasilah. Kuharap kau terus menyadari rasa kepedihan atas ulahmu sendiri ini. Supaya apa? Supaya engkau ingat untuk beristighfar setiap detiknya," tegasnya melepas pelukan.

Seusai itu malam jadi tenang. Tangannya menyentuh dadamu. Terasa begitu berdebar akibat pengulangan masa lalu yang pernah kamu lalui. Ia pun meniup wajah dan tangannya. Kemudian meletakkan ke posisi jantungmu berada.

“Bismillah, aku yakin kamu bisa,” tukasnya semringah.

“Apa iya? Bukankah kalau yang lain bisa, aku tidak harus bisa?” sahutmu ragu sambil menyeka air mata yang  tersisa.

“Tentu saja kamu selalu bisa melakukan segala hal yang berada di lingkaran kendalimu. Bukan yang di luar kendalimu. Hasil itu adalah hak prerogratif Allah. Kamu tinggal berdoa, ikhtiar, dan tawakal. Sisanya serahkan kepada Rabb kita. Mungkin sepintas ini dulu yang bisa kubagikan untukmu kembali pada-Nya,” jawabnya tersenyum, lalu berjalan mundur dan melambaikan tangan.

Ia pun hilang di antara gelapnya malam. Akhirnya kau jatuh, lagi, tengkurap. Ditinggal sendiri. Tertatih untuk berdiri, engkau mulai merangkak ke arah lampu jalan berikutnya. Lutut dan telapak tanganmu sangat sakit, tetapi demi sampai kau rela melakukan. Sesampainya di sana, silau begitu membahana hingga menyipitkan mata. Gemetar pun meruntuhkan kekuatanmu hingga tertelungkup sekali lagi. 

Pening menjalar hebat beberapa detik, lalu menghilang saat kamu bangun untuk duduk. Pikiranmu tersadar sempurna kala menatap hamparan sajadah ada di depan mata. Nyatanya, Allah tidak pernah meninggalkanmu. Dirimu yang kadang meninggalkan-Nya. Faktanya, Allah selalu berada di dekatmu.


- salam mencintai proses, M3
- 2021

Jumat, 10 Desember 2021

Nonfiksi - Bahasa

Insight dari Kajian Ngeslow Sesi Aqidah Bacth 1
Mengapa Al-Qur'an diturunkan melalui bahasa?

Mempelajari aqidah adalah sebuah landasan seseorang memahami bagaimana dirinya bisa sampai di sini dan mengapa diturunkannya manusia ke bumi?

Dari sana, kajian ngeslow sesi Aqidah Batch 1, terdapat penjelasan tentang Al-Qur’an di sampaikan melalui apa? Bahasa. Pada tulisan ini tidak akan menjelaskan bagaimana kedetailan bahasa Arab atau tafsir itu sendiri. Belum mumpuni, Bund, buat bahas. Ehehehe.

Intinya sih kita bisa memahami bahasa Qur’an karena paham kaidah bahasanya. Sama halnya dengan kita yang bicara dengan bahasa Jawa, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, bahkan bahasa lainnya. Jika tidak kita pahami benar arti atau makna dari sebuah kata, kita akan terjerat oleh penipuan fakta, menyebarkan informasi yang salah, memiliki pemahaman yang tidak benar, dan berbagai keresahan lainnya.

Jadi, seharusnya kita memahami lebih dahulu tatkala ingin berkomunikasi dengan orang lain agar tidak salah pemaknaan saat perbincangan. Apalagi untuk memahami buku panduan kehidupan, yakni Al-Qur’an.

Hati-hati ketika berdiksi. Hati-hati tatkala melisankan informasi. Hati-hati memahami sebuah kata. Karena dengan kalimat, peradaban dapat terbangun maupun hancur.

Salam mencintai proses, M3
Bumi Allah, 10 Desember 2021

Nonfiksi - Sumpah

Insight dari Al-Qur'an dan artikel


Beberapa waktu yang lalu, sekitar akhir bulan November atau Desember, terdapat ayat yang menyebutkan tentang sumpah dalam konteks membela diri apabila dituduh berzina. Kemudian, beberapa artikel juga pernah terbaca tentang hal ini. Mungkin kebanyakan dari kita saat ini masih sering menggunakan kata “Sumpah?” dalam percakapan sehari-hari. Padahal jika kita memahami maknanya secara komperehensif, pastilah lisan ini patut ditampar.

Mengapa demikian? Kemarin M3 membaca jika sumpah atas nama Allah hanya dianjurkan ketika dalam keadaan mendesak. Contohnya seperti seorang wanita baik-baik yang difitnah berzina, maka bolehlah ia bersumpah atas nama Allah jika dirinya tidak pernah berzina. Kita juga tidak boleh bersumpah atas nama selain Allah, meskipun itu Al-Qur’an atau Rasulullah sekalipun hingga taraf paling rendah hanya dengan kata “sumpah” tanpa embel-embel lainnya.

Salah satu hikmah yang terpikirkan adalah sumpah merupakan perkataan yang berkonsekuensi besar. Jika kita bermudah-mudahan dalam mengucap sumpah, maka masyarakat akan terbiasa dan menganggap diksi (pemilihan kata) tersebut merupakan hal yang biasa. Siapa saja bisa mengatakan “sumpah” terlepas ia bohong atau jujur.

Oleh karena itu, kita dianjurkan tidak menggampangkan sumpah pada hal remeh karena supaya konotasinya menjadikan “sumpah” sebagai stigma. Jatuhnya jadi masa bodoh mau sumpah atau tidak dalam membuktikan kebenaran, toh pikiran telanjur terbiasa oleh hal berat yang diremehkan penggunaannya.

Jadi, yuk kita kurangi hingga hilangkan celetukan “sumpah” ketika menanyakan keseriusan sebuah tutur dari lawan bicara. Mari kita memahami terminologi ([n] peristilahan {tentang kata-kata} atau [n] ilmu mengenai batasan atau definisi istilah) untuk kelengkapan informasi yang memahamkan suatu ilmu agar tidak disalahpahami.

Salam mencintai proses, M3
Bumi Allah, 10 Desember 2021

Senin, 06 Desember 2021

Gelisah — Nonfiksi

 Ini tentang perasaan

Mike Ko Tjod

Hai, apa kabar perasaanmu detik ini? Apakah gelisah sedang menggerayangimu? Akui saja. Tidak perlu malu sekali pun bukan hanya gelisah yang dadamu rasakan. Tidak mengapa jika sedang tidak baik-baik saja.

Namun, ada satu hal yang mesti kita pahami. Mari mengulik rasa, membuka tabir, menguak kehampaan yang pernah hadir hingga seolah butuh air.

Selama ini, adakah hatimu gelisah dalam bermaksiat? Gelisah tatkala telat salat? Gelisah kala enggan berzakat? Gelisah ibadah berkarat menjelang kiamat? Beginikah kondisi aqidah yang terdeteksi sekarat? Bagai hidup nampak mayat. Apakah imanmu masih kuat? Tidakkah gelisahmu menyadarkan bahwa langkahmu kini tersendat? Bagaimana mau melaksanakan mandat? Jika alpa mengingat hakikat. 

Oh, hati! 

Masih hidupkah engkau? Mengapa mudah sekali gelisah berhadapan salah dengan manusia. Namun, lalai gelisah dalam gelimang maksiat, menodai harga diri di hadapan-Nya. Kapan mau taat? Nanti ke buru tamat. Kapan saja kita bisa jadi mayat. 

Lantas masihkah kita salah menempatkan rasa, asa, perjuangan, pembelaan, dan keyakinan?

Wahai manusia, mintalah selalu pada Allah. Jangan sok jauh, padahal engkau butuh. Tidakkah lantunan suci menentramkan? Kemudian, mengapa engkau sombong sekali tidak berdoa kepada-Nya? Baik di kala senang maupun susah. Mengapa hati lalai, sedang gelisah merajai?

Lucunya, engkau selalu butuh, tetapi sering tidak datang. Ke mana lagi tempatmu bernaung jika bukan kepada-Nya? Perhatikan! Cari ke mana pun sandaran itu. Pasti nihil, kecuali kau mendekat kepada-Nya. Maka, tobati tiap napas dan seluruh nikmat dari Allah yang malah kaugunakan untuk mendurhakai-Nya.


لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ

Tidak ada Ilah yang berhak disembah kecuali Engkau (Ya Allah), Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk di antara orang-orang yang berbuat zalim/aniaya.


أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ الْعَظِيمَ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيَّ الْقَيُّومَ وَأَتُوبُ إِلَيْه

Aku memohon ampunan kepada Allah yang Mahaagung, tiada Illah selain Dia yang Mahahidup lagi Maha Berdiri Sendiri, dan aku bertaubat pada-Nya.


Temukan ketenanganmu dalam rengkuhan Allah. Entah perasaan sedang bagus atau tidak, singkirkan keangkuhanmu. Hei, kau ini siapa belagak kuat? Kenyataannya, tanpa DIA, engkau tidak pernah bisa bertahan hingga detik ini. Justru gelisah serta berbagai perasaan negatif lainnya merupakan ladang kesempatan kembali dekat dengan-Nya. Berhenti mengikuti alur setan yang akan membinasakanmu seperti berputus asa dari rahmat dan ampunan-Nya. 

Ingat, selagi napas berembus, engkau masih layak mendapat ampunan karena Allah Maha Pengampun. Tolong tegaskan. Jangan memungkiri kenyataan. Karena engkau... Selalu butuh Allah...


Bumi Allah, 06 Desember 2021
Pada malam 23:50 WIB
*note reminder for myself
*Allah, save me from myself

Salam mencintai proses, M3