Lukisan Demi Seulas
Pelukan
Oleh: M3
Semua orang
tengah bersiap di bangku penonton. Galeri seni lukis khusus anak-anak tersebut
ramai pengunjung pada hari Kamis itu. Sheila terlihat masih biasa saja di
belakang panggung. Ibunya melakukan briefing dengan panitia sebelum
presentasi lukisan gadis cilik berusia 14 tahun tersebut.
“Ibu sudah
mencoba menghubungi Ayah, Nak. Maaf, ya. Belum ada jawaban dari Ayah,” celetuk
Ibu mengelus pundak kanan Sheila.
Dengan tersenyum
penuh harapan yang redup, Sheila menyahut, “Nggak apa-apa, Bu. Terima kasih
sudah menghubungi Ayah.”
Beberapa menit
lagi, presentasi dimulai. Tiba-tiba degup jantung anak perempuan berkacamata
itu tidak stabil. Panitia membuka acara, lalu menyebutkan judul pameran Sheila.
“Dengan ini, kami persembahkan Ruang Kebersamaan dari Sheila Anindita
Rahma. Kepadanya, kami persilakan tampil di atas panggung,” panggil panitia.
Gemuruh tepuk tangan riuh menyambut penampilan Sheila. Sekilas basmalah
dilirihkan. Ia menggenggam tangan di depan dada. Mengatur napas dan mulai
menghadap ke penonton galeri. Gadis berkerudung cekolat tua itu mengedarkan
pandangan ke penjuru kursi. Matanya ingin menangkap sosok yang dirindukan.
Namun, tidak ada. Dari atas kursi roda bersama selang nasal cannula yang juga
berdampingan dengannya, sebuah mikrofon diberikan. Napas panjang diambilnya.
Perlahan karbon dioksida dikeluarkan melalui mulut.
Ia membuka presentasi. Menunjukkan beberapa karya yang telah mendapat
penghargaan melalui layar proyektor. Kemudian membeberkan alasannya suka
melukis, yakni dapat membuatnya lega. Kata ibunya, dengan melukis juga bentuk
menyalurkan perasaan. Entah bahagia atau marah, sedih atau senang, kecewa atau
bangga. Selanjutnya adalah karya series. Ibu dan panitia membantu mengeluarkan
enam kanvas yang diurutkan dari ujung ke tengah.
Dimulai dari kanvas pertama, sebuah lukisan seorang anak kecil belajar
menaiki sepeda. Menceritakan betapa cerianya sang gadis cilik itu mencoba
sepeda beroda dua dengan ditemani sang Ayah. Pada lukisan kedua, tokoh utama
itu terjatuh. Posisinya memegang lutut sambil menangis dengan sepeda yang
tergeletak di sampingnya. Sang Ayah langsung menghampiri putrinya.
“Berlanjut pada gambar ketiga, sang Ayah menggendong putrinya kembali ke
rumah. Ada sebuah pesan yang disampaikan kepada anaknya sehingga wajah itu
terlihat bahagia setelah jatuh,” jelas Sheila.
“Berawal dari sana, Ayah berkata, ‘Nak, kamu hebat sudah jatuh pertama kali
hari ini. Sekarang jatah gagalmu berkurang satu. Ayah bangga kamu berhasil
berani mencoba tanpa Ayah pegangi lagi. Besok kita bersepeda lagi, ya?’. Dengan
senyum paling menawan, mata anak itu berbinar. Ekspresinya berubah gembira. Ia
yakin esok hari dan seterusnya akan menghabiskan waktu bersama sang Ayah,”
jelas Sheila memutar kursi rodanya ke kanvas ketiga.
Berlanjut pada kanvas keempat yang bergambar anak itu bersepeda lagi.
Ayahnya mengikuti dari belakang sembari menyembunyikan cokelat dan boneka panda
di belakang punggungnya. Tentu saja bisa ditebak bahwa hari itu adalah ulang
tahun dari putrinya. Mereka terlihat menepi di ladang bunga pada kanvas kelima.
Anak peremuan itu mengangkat hadiah dari ayahnya dengan bahagia, sedangkan sang
Ayah duduk berselonjor di bawah pohon besar dengan senyuman.
Yang terakhir adalah pelukan dari sang ayah. Terlihat kanvas keenam
dijadikan dua panel. Satu wajah sang Ayah dan satunya muka sang putri. Mereka
saling memejam dalam rengkuhan yang lama. Di situlah letak kehangatan dan suatu
kenangan yang mahal.
“Sang anak membalas pelukan ayahnya dengan riang. Begitupun dengan si Ayah
yang nampak senang dan merasa hangat mendekap putrinya. Sebab si Ayah tahu,
sebentar lagi putrinya akan menjelma menjadi seorang gadis,” tutur Sheila.
Sheila
menjelaskan bahwa kebersamaan sekecil apa pun mungkin akan terlupa oleh orang
tua. Namun, bagi seorang anak akan ada beberapa moment yang akan diingat
sepanjang hidupnya.
“Ruang
Kebersamaan ini, Sheila dedikasikan kepada Ayah yang berjuang keras membiayai
hidup kami hingga sedikit sekali waktu di rumah. Namun, izinkan saya untuk
mengungkapkan terima kasih kepada penikmat lukisan di sini. Niat Sheila
memajang karya di sini ialah ingin menunjukkan betapa bahagianya kami saat itu.
Iya, ini cerita Ayah dengan Sheila. Akan tetapi, sangat disayangkan bahwa Ruang
Kebersamaan hanya dinikmati hingga waktu itu saja,” ungkap Sheila dengan nada
menurun.
“Oleh karena
itu, lukisan ini ditampilkan untuk satu rengkuhan saja dari Ayah hari ini.
Pelukan yang amat Sheila rindukan sejak tujuh tahun terakhir. Setelah biaya ini
saya terima, Sheila harap dapat membeli lima belas menit waktu kerja Ayah dan
sebuah pelukan. Itu saja,” harap gadis berbatik krem tersebut.
Dari luar,
terdengar derap langkah ke ruang presentasi. Nampak seorang pria paruh baya
membuka pintu lebar-lebar. Semua yang hadir langsung menoleh ke sumber suara.
Napasnya terengah-engah. Gurat mata sayu di atas panggung itu tersenyum. Tanpa
sadar, ia langsung memanggil, “Ayah.”
Akhirnya yang
ditunggu-tunggu hadir. Pria tersebut langsung berlari ke panggung menghampiri putrinya
yang masih duduk di kursi roda. Diraihnya tubuh rapuh itu ke dalam pelukan.
Rupanya sang Ayah mendengar seluruh presentasi putrinya lewat radio dan
pengeras suara yang ada di galeri.
“Maaf ya, Nak.
Ayah terlambat datang, bahkan mengabaikan telepon dari Ibu. Maaf ya, Nak. Ayah
baru ingat,” ucap lelaki yang memakai jas biru tua berdasi hitam.
“Terima kasih
Ayah sudah mau datang. Nanti akan Sheila ganti gaji Ayah selama lima menit. Itu
sudah cukup bagi Sheila.” Remaja tersebut tersenyum membalas pelukan ayahnya dengan
berbisik.
“Tidak, Nak.
Tidak perlu. Maaf Ayah tidak pernah hadir di saat Sheila membutuhkan.” Setelah
berucap kalimat demikian, kedua tangan Sheila lemas, terjatuh.
Kepala tak mampu
lagi untuk tegak. Napas berhenti menderu. Tatapan sirna. Badan lemah seketika.
Pelukan dan genggaman terlepas.
“Nak? Sheila?
Bangun, Nak?” teriak si Ibu menghambur ke Sheila.
Ayah Sheila bergeming
karena sudah terlambat. Wajah yang mulai menua itu turun, matanya sayu, dan
bulir deras keluar dari tepi mata. Tidak akan ada lagi suara manis yang
memanggilnya dengan sebutan Ayah. Setidaknya Sheila berhasil melukis seulas
pelukan dari sang Ayah di penghujung usianya.