Kamis, 23 Desember 2021

Cerpen - Lukisan Demi Seulas Pelukan

 

Lukisan Demi Seulas Pelukan
Oleh: M3

gambar dari lovepik

Semua orang tengah bersiap di bangku penonton. Galeri seni lukis khusus anak-anak tersebut ramai pengunjung pada hari Kamis itu. Sheila terlihat masih biasa saja di belakang panggung. Ibunya melakukan briefing dengan panitia sebelum presentasi lukisan gadis cilik berusia 14 tahun tersebut.

“Ibu sudah mencoba menghubungi Ayah, Nak. Maaf, ya. Belum ada jawaban dari Ayah,” celetuk Ibu mengelus pundak kanan Sheila.

Dengan tersenyum penuh harapan yang redup, Sheila menyahut, “Nggak apa-apa, Bu. Terima kasih sudah menghubungi Ayah.”

Beberapa menit lagi, presentasi dimulai. Tiba-tiba degup jantung anak perempuan berkacamata itu tidak stabil. Panitia membuka acara, lalu menyebutkan judul pameran Sheila.

“Dengan ini, kami persembahkan Ruang Kebersamaan dari Sheila Anindita Rahma. Kepadanya, kami persilakan tampil di atas panggung,” panggil panitia.

Gemuruh tepuk tangan riuh menyambut penampilan Sheila. Sekilas basmalah dilirihkan. Ia menggenggam tangan di depan dada. Mengatur napas dan mulai menghadap ke penonton galeri. Gadis berkerudung cekolat tua itu mengedarkan pandangan ke penjuru kursi. Matanya ingin menangkap sosok yang dirindukan. Namun, tidak ada. Dari atas kursi roda bersama selang nasal cannula yang juga berdampingan dengannya, sebuah mikrofon diberikan. Napas panjang diambilnya. Perlahan karbon dioksida dikeluarkan melalui mulut.

Ia membuka presentasi. Menunjukkan beberapa karya yang telah mendapat penghargaan melalui layar proyektor. Kemudian membeberkan alasannya suka melukis, yakni dapat membuatnya lega. Kata ibunya, dengan melukis juga bentuk menyalurkan perasaan. Entah bahagia atau marah, sedih atau senang, kecewa atau bangga. Selanjutnya adalah karya series. Ibu dan panitia membantu mengeluarkan enam kanvas yang diurutkan dari ujung ke tengah.

Dimulai dari kanvas pertama, sebuah lukisan seorang anak kecil belajar menaiki sepeda. Menceritakan betapa cerianya sang gadis cilik itu mencoba sepeda beroda dua dengan ditemani sang Ayah. Pada lukisan kedua, tokoh utama itu terjatuh. Posisinya memegang lutut sambil menangis dengan sepeda yang tergeletak di sampingnya. Sang Ayah langsung menghampiri putrinya.

“Berlanjut pada gambar ketiga, sang Ayah menggendong putrinya kembali ke rumah. Ada sebuah pesan yang disampaikan kepada anaknya sehingga wajah itu terlihat bahagia setelah jatuh,” jelas Sheila.

“Berawal dari sana, Ayah berkata, ‘Nak, kamu hebat sudah jatuh pertama kali hari ini. Sekarang jatah gagalmu berkurang satu. Ayah bangga kamu berhasil berani mencoba tanpa Ayah pegangi lagi. Besok kita bersepeda lagi, ya?’. Dengan senyum paling menawan, mata anak itu berbinar. Ekspresinya berubah gembira. Ia yakin esok hari dan seterusnya akan menghabiskan waktu bersama sang Ayah,” jelas Sheila memutar kursi rodanya ke kanvas ketiga.

Berlanjut pada kanvas keempat yang bergambar anak itu bersepeda lagi. Ayahnya mengikuti dari belakang sembari menyembunyikan cokelat dan boneka panda di belakang punggungnya. Tentu saja bisa ditebak bahwa hari itu adalah ulang tahun dari putrinya. Mereka terlihat menepi di ladang bunga pada kanvas kelima. Anak peremuan itu mengangkat hadiah dari ayahnya dengan bahagia, sedangkan sang Ayah duduk berselonjor di bawah pohon besar dengan senyuman.

Yang terakhir adalah pelukan dari sang ayah. Terlihat kanvas keenam dijadikan dua panel. Satu wajah sang Ayah dan satunya muka sang putri. Mereka saling memejam dalam rengkuhan yang lama. Di situlah letak kehangatan dan suatu kenangan yang mahal.

“Sang anak membalas pelukan ayahnya dengan riang. Begitupun dengan si Ayah yang nampak senang dan merasa hangat mendekap putrinya. Sebab si Ayah tahu, sebentar lagi putrinya akan menjelma menjadi seorang gadis,” tutur Sheila.

Sheila menjelaskan bahwa kebersamaan sekecil apa pun mungkin akan terlupa oleh orang tua. Namun, bagi seorang anak akan ada beberapa moment yang akan diingat sepanjang hidupnya.

“Ruang Kebersamaan ini, Sheila dedikasikan kepada Ayah yang berjuang keras membiayai hidup kami hingga sedikit sekali waktu di rumah. Namun, izinkan saya untuk mengungkapkan terima kasih kepada penikmat lukisan di sini. Niat Sheila memajang karya di sini ialah ingin menunjukkan betapa bahagianya kami saat itu. Iya, ini cerita Ayah dengan Sheila. Akan tetapi, sangat disayangkan bahwa Ruang Kebersamaan hanya dinikmati hingga waktu itu saja,” ungkap Sheila dengan nada menurun.

“Oleh karena itu, lukisan ini ditampilkan untuk satu rengkuhan saja dari Ayah hari ini. Pelukan yang amat Sheila rindukan sejak tujuh tahun terakhir. Setelah biaya ini saya terima, Sheila harap dapat membeli lima belas menit waktu kerja Ayah dan sebuah pelukan. Itu saja,” harap gadis berbatik krem tersebut.

Dari luar, terdengar derap langkah ke ruang presentasi. Nampak seorang pria paruh baya membuka pintu lebar-lebar. Semua yang hadir langsung menoleh ke sumber suara. Napasnya terengah-engah. Gurat mata sayu di atas panggung itu tersenyum. Tanpa sadar, ia langsung memanggil, “Ayah.”

Akhirnya yang ditunggu-tunggu hadir. Pria tersebut langsung berlari ke panggung menghampiri putrinya yang masih duduk di kursi roda. Diraihnya tubuh rapuh itu ke dalam pelukan. Rupanya sang Ayah mendengar seluruh presentasi putrinya lewat radio dan pengeras suara yang ada di galeri.

“Maaf ya, Nak. Ayah terlambat datang, bahkan mengabaikan telepon dari Ibu. Maaf ya, Nak. Ayah baru ingat,” ucap lelaki yang memakai jas biru tua berdasi hitam.

“Terima kasih Ayah sudah mau datang. Nanti akan Sheila ganti gaji Ayah selama lima menit. Itu sudah cukup bagi Sheila.” Remaja tersebut tersenyum membalas pelukan ayahnya dengan berbisik.

“Tidak, Nak. Tidak perlu. Maaf Ayah tidak pernah hadir di saat Sheila membutuhkan.” Setelah berucap kalimat demikian, kedua tangan Sheila lemas, terjatuh.

Kepala tak mampu lagi untuk tegak. Napas berhenti menderu. Tatapan sirna. Badan lemah seketika. Pelukan dan genggaman terlepas.

“Nak? Sheila? Bangun, Nak?” teriak si Ibu menghambur ke Sheila.

Ayah Sheila bergeming karena sudah terlambat. Wajah yang mulai menua itu turun, matanya sayu, dan bulir deras keluar dari tepi mata. Tidak akan ada lagi suara manis yang memanggilnya dengan sebutan Ayah. Setidaknya Sheila berhasil melukis seulas pelukan dari sang Ayah di penghujung usianya.


salam mencintai proses, M3
cerpen sudah masuk dalam buku antologi Remember oleh penerbit Jejak Publisher

0 komentar:

Posting Komentar