Aku Tumbuh sebagai Anak Broken Home
Oleh: M3
Insight dari Sekolah Rumah Tangga bersama Teh Febrianti – kanal YouTube Amazing Muslimah
Jujur, bingung pas
memulai ini harus bagaimana. Ceilah. Gimana ya ngetiknya. Pake bahasa baku apa
bebas ya? Hm, biar kesannya agak akrab, informal aja kali ya. Semoga curhatan
sekaligus pesan ini nyampe ke yang lagi baca (terutama diri sendiri di masa
depan, meskipun baru 1 detik kemudian).
Kali ini bakalan
gamblang ngomongnya melalui ketikan. Tolong untuk berhenti membandingkan
kehidupan kita. Di luar sana ada yang hidupnya di bawah, di atas, bahkan setara
dengan kita. Intinya, semua punya ujiannya masing-masing. Berhenti merepotkan
diri dengan menatap rumput tetangga lebih hijau.
Okay. Dimulai dari
sepertiga terakhir video yang udah disebutkan di atas, ada kalimat yang bikin throwback
ke baground diriku. Apa itu? Intinya,
“Nggak mungkin Allah
gak punya maksud ketika mempertemukan sesuatu tanpa tugas spesifik atau maksud di
dalamnya.”
Langsung keinget
sama mindset aku, “Harusnya mama dan ayah nggak usah nikah biar aku nggak lahir
ke dunia ini. Kan enak nggak bakal buruk.” Waduh! Berat tuh. Kadang pas terpuruk,
selalu aja nyalahin diri sendiri. Seolah aku adalah pembawa sial. Bagaimana tidak?
Jahatnya setengah hidup begini. Manfaat hampir nggak ada. Hm, narasi yang depresif
sekali.
Karena kalimat
inti dari video tersebut, langsung deh runtuh narasi depresifnya. Iya, ya. Kalau
mama sama ayah pisah, berarti ada maksud baik Allah di baliknya. Jika memang mereka
nggak bersinergi menuju keluarga bervisi surga, kan ada aku. Harusnya gitu. Kenapa
aku diciptakan melalui keluarga ini apabila pada akhirnya mama dan ayah bakalan
bercerai? Bukan kenapa sih aku gak mati aja?
Dasarnya kan ada
di QS. 51:56 dan 2:30, yaitu aku adalah hamba dan khalifah. Buat apa hidup? Ya buat
beribadah dan memakmurkan bumi.
Pasti ada maksud
baik Allah mengirimkan aku melalui rahim mama. Dengan kondisi seperti ini, aku
terbentuk menjadi anak kecil yang sangat mudah tersinggung, cepat kesulut
amarahnya, dan keras. Seiring berjalannya waktu, aku sadar ada yang butuh
diperbaiki. Emang bener ya kalau ujian kita itu justru adalah kelemahan kita
saat ini.
Pernah suatu
kali aku mikir betapa nggak sabarannya diriku. Sampe tercetus pertanyaan, “Kenapa
Allah malah ngasih aku amanah yang bikin mudah tersulut emosinya?” woh! Di saat
yang sama, aku menemukan jawaban. Ya karena aku butuh ditempa dari pribadi yang
suka marah agar menjadi pribadi yang sabar dengan cara seperti ini. Toh ketika berhasil
menaiki 1 tangga ujian kesabaran, di tangga kedua, ketiga, dan seterusnya,
ujiannya malah makin berat. Sama aja euy, meskipun, semisal, ujiannya bukan
yang saat ini terjadi.
“Bagaimana
masalah di depan ini menjadi pembuktian iman kita kepada Allah?” salah satu
kalimat yang kutulis dari Bu Febri. Betul juga. Katanya beriman, kudunya ujian
ini kulaksanakan semaksimal kemampuanku. Terseok-seok jelas. Perasaan bersalah
hampir tiap menit menggelayut dalam dada. Seolah nggak bisa terpangkas. Walaupun
hanya selibas. Hummmm.
Berarti, sempatnya
kedua orang tuaku menikah adalah gerbangku menuju dunia. Timeline mereka
bercerai pun merupakan titik awal aku belajar menerima takdir. Alhamdulillah sejak
SMP otakku sudah mengambil pernyataan, “Gimana ya kalo beneran tinggal serumah
kami bertiga? Mungkin gak bakal sebaik saat ini progess-nya.”
Hingga detik aku
menulis ini, pernyataan itu terus terpampang dalam ingatan. Lucunya ada salah
satu film yang bilang, “kamulah keajaiban itu sendiri.” Wusss, padahal animasi
tapi berhasil bikin nangis. Karena kondisinya agak mirip. Tidak istimewa. Bukan
sebab suatu kelebihan yang kita punya yang disebut keajaiban atau karunia. Namun,
diri kita yang terlahir itulah keajaiban yang ditunggu-tunggu.
Meskipun aku
banyak sekali kekurangan. Seakan gak pantes sama sekali berada di keluarga ini.
Gak berguna untuk keluarga ini. Atau harusnya gak usah hidup sekalian. Aku wajib
yakin. Ini semua adalah skenario Allah. Aku yang ditunjuk untuk mamaku. Aku yang
ditunjuk untuk menempa diri. Aku yang ditunjuk untuk melaksanakan tugas
dari-Nya. Harusnya aku mengingat itu selalu. Karena akulah yang mampu di ranah ini
Ini bukan
sebatas aku terluka, mama terluka, ayah terluka, atau keluarga terluka. Bukan juga
sekadar nilaimu bagus, pintar, dan jago bidang sains, pengetahuan sosial, atau
bahasa. Ini adalah bentuk penghambaan pada-Nya. Bentuk beriman kepada
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam. Bentuk birrul walidain. Bentuk membasuh
luka pengasuhan. Bentuk penempaan diri menjadi khalifah di muka bumi. Inilah bentuk
sejatinya diriku. Berproses dari yang buruk menjadi baik.
Memang sangat
sulit. Bahkan aku sempat berulang kali ingin menyerah. Beranggapan diriku
tidak bisa. Padahal ya semuanya butuh perjuangan yang gigih. Bukan berarti mustahil.
Jalan ini yang Allah pilihkan untukku. Lingkup ini yang berada dalam lingkaran
jangkauanku.
Berbekal luka
dan kesalahan, aku harus belajar. Belajar mencari, menelaah, mengevaluasi,
peka, dan memperbaiki. Berproses meski 0,1% setiap harinya. Aku ada untuk
membawa tugas besar nan mulia dari Allah. Maka, terima kasih telah mengizinkan
hamba berbagi Ya Allah. Mudah-mudahan tulisan ini membawa gebrakan baru untuk diri
sendiri.
Ingat ini, engkau berharga
Maka tuntaskan amanah-Nya
sebelum ajal tiba
Sungguh, aku ingin
menyayangimu setulus hati, wahai aku
Ridhoi kesalahanmu yang
telah terjadi
Detik ini, cukupkan meratapi
diri
Berproseslah menjadi
yang terbaik
Untuk-Nya.
Bumi Allah, 02 Februari 2022
gambar oleh: ibrahim-rifath
Ketika Allah melahirkanmu ke dunia, maka pd saat itu Allah "seolah" ingin menunjukkan kpd seluruh makhluk-Nya (khususnya malaikat dan jin), bahwa manusia yg Allah ciptakan adalag ciptaanNya yg luar biasa. Bahkan, meskipun dihadirkan dr rahim sepasang manusia yg "bermasalah", Allah tetap bisa munculkan manusia yg luar biasa, yaitu Mufmunmuh.
BalasHapusDg kata lain, kisah di sini sekaligus memecahkan sebuah hipotesa bahwa anak yg terlahir dr keluarga "broken home/bermasalah", belum tentu kelak mjd seseorang yg "bermasalah" pula.
Di sini, seolah Allah mengingatkan kita pd salah satu firmanNya, "Jikalau Aku ingin menjadikan seluruh manusia di dunia itu percaya pdKu, maka itu mudah bagiKu."
Dan Allah buktikan dirimu sebagai salah satu "
Teruslah mendekat pdNya, dg selalu ridho apa yg telah mjd Qodho-Nya, dan jalani sunnatullah dg tetap berusaha berpegang teguh pd "tali"-Nya (syariatNya).
Barakallahu fikum...
Aamiin Ya Rabbal'alamiin. Terima kasih atas respon dan doanya. Doa terbaik kembali kepada yang mendoakan.
Hapus