Rabu, 02 Februari 2022

Nonfiksi - Aku Tumbuh sebagai Anak Broken Home

 

Aku Tumbuh sebagai Anak Broken Home
Oleh: M3

gambar oleh: emilie-crssrd

Insight dari Sekolah Rumah Tangga bersama Teh Febrianti – kanal YouTube Amazing Muslimah

Jujur, bingung pas memulai ini harus bagaimana. Ceilah. Gimana ya ngetiknya. Pake bahasa baku apa bebas ya? Hm, biar kesannya agak akrab, informal aja kali ya. Semoga curhatan sekaligus pesan ini nyampe ke yang lagi baca (terutama diri sendiri di masa depan, meskipun baru 1 detik kemudian).

Kali ini bakalan gamblang ngomongnya melalui ketikan. Tolong untuk berhenti membandingkan kehidupan kita. Di luar sana ada yang hidupnya di bawah, di atas, bahkan setara dengan kita. Intinya, semua punya ujiannya masing-masing. Berhenti merepotkan diri dengan menatap rumput tetangga lebih hijau.

Okay. Dimulai dari sepertiga terakhir video yang udah disebutkan di atas, ada kalimat yang bikin throwback ke baground diriku. Apa itu? Intinya,

“Nggak mungkin Allah gak punya maksud ketika mempertemukan sesuatu tanpa tugas spesifik atau maksud di dalamnya.”

Langsung keinget sama mindset aku, “Harusnya mama dan ayah nggak usah nikah biar aku nggak lahir ke dunia ini. Kan enak nggak bakal buruk.” Waduh! Berat tuh. Kadang pas terpuruk, selalu aja nyalahin diri sendiri. Seolah aku adalah pembawa sial. Bagaimana tidak? Jahatnya setengah hidup begini. Manfaat hampir nggak ada. Hm, narasi yang depresif sekali.

Karena kalimat inti dari video tersebut, langsung deh runtuh narasi depresifnya. Iya, ya. Kalau mama sama ayah pisah, berarti ada maksud baik Allah di baliknya. Jika memang mereka nggak bersinergi menuju keluarga bervisi surga, kan ada aku. Harusnya gitu. Kenapa aku diciptakan melalui keluarga ini apabila pada akhirnya mama dan ayah bakalan bercerai? Bukan kenapa sih aku gak mati aja?

Dasarnya kan ada di QS. 51:56 dan 2:30, yaitu aku adalah hamba dan khalifah. Buat apa hidup? Ya buat beribadah dan memakmurkan bumi.

Pasti ada maksud baik Allah mengirimkan aku melalui rahim mama. Dengan kondisi seperti ini, aku terbentuk menjadi anak kecil yang sangat mudah tersinggung, cepat kesulut amarahnya, dan keras. Seiring berjalannya waktu, aku sadar ada yang butuh diperbaiki. Emang bener ya kalau ujian kita itu justru adalah kelemahan kita saat ini.

Pernah suatu kali aku mikir betapa nggak sabarannya diriku. Sampe tercetus pertanyaan, “Kenapa Allah malah ngasih aku amanah yang bikin mudah tersulut emosinya?” woh! Di saat yang sama, aku menemukan jawaban. Ya karena aku butuh ditempa dari pribadi yang suka marah agar menjadi pribadi yang sabar dengan cara seperti ini. Toh ketika berhasil menaiki 1 tangga ujian kesabaran, di tangga kedua, ketiga, dan seterusnya, ujiannya malah makin berat. Sama aja euy, meskipun, semisal, ujiannya bukan yang saat ini terjadi.

“Bagaimana masalah di depan ini menjadi pembuktian iman kita kepada Allah?” salah satu kalimat yang kutulis dari Bu Febri. Betul juga. Katanya beriman, kudunya ujian ini kulaksanakan semaksimal kemampuanku. Terseok-seok jelas. Perasaan bersalah hampir tiap menit menggelayut dalam dada. Seolah nggak bisa terpangkas. Walaupun hanya selibas. Hummmm.

Berarti, sempatnya kedua orang tuaku menikah adalah gerbangku menuju dunia. Timeline mereka bercerai pun merupakan titik awal aku belajar menerima takdir. Alhamdulillah sejak SMP otakku sudah mengambil pernyataan, “Gimana ya kalo beneran tinggal serumah kami bertiga? Mungkin gak bakal sebaik saat ini progess-nya.”

Hingga detik aku menulis ini, pernyataan itu terus terpampang dalam ingatan. Lucunya ada salah satu film yang bilang, “kamulah keajaiban itu sendiri.” Wusss, padahal animasi tapi berhasil bikin nangis. Karena kondisinya agak mirip. Tidak istimewa. Bukan sebab suatu kelebihan yang kita punya yang disebut keajaiban atau karunia. Namun, diri kita yang terlahir itulah keajaiban yang ditunggu-tunggu.

Meskipun aku banyak sekali kekurangan. Seakan gak pantes sama sekali berada di keluarga ini. Gak berguna untuk keluarga ini. Atau harusnya gak usah hidup sekalian. Aku wajib yakin. Ini semua adalah skenario Allah. Aku yang ditunjuk untuk mamaku. Aku yang ditunjuk untuk menempa diri. Aku yang ditunjuk untuk melaksanakan tugas dari-Nya. Harusnya aku mengingat itu selalu. Karena akulah yang mampu di ranah ini

Ini bukan sebatas aku terluka, mama terluka, ayah terluka, atau keluarga terluka. Bukan juga sekadar nilaimu bagus, pintar, dan jago bidang sains, pengetahuan sosial, atau bahasa. Ini adalah bentuk penghambaan pada-Nya. Bentuk beriman kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam. Bentuk birrul walidain. Bentuk membasuh luka pengasuhan. Bentuk penempaan diri menjadi khalifah di muka bumi. Inilah bentuk sejatinya diriku. Berproses dari yang buruk menjadi baik.

Memang sangat sulit. Bahkan aku sempat berulang kali ingin menyerah. Beranggapan diriku tidak bisa. Padahal ya semuanya butuh perjuangan yang gigih. Bukan berarti mustahil. Jalan ini yang Allah pilihkan untukku. Lingkup ini yang berada dalam lingkaran jangkauanku.

Berbekal luka dan kesalahan, aku harus belajar. Belajar mencari, menelaah, mengevaluasi, peka, dan memperbaiki. Berproses meski 0,1% setiap harinya. Aku ada untuk membawa tugas besar nan mulia dari Allah. Maka, terima kasih telah mengizinkan hamba berbagi Ya Allah. Mudah-mudahan tulisan ini membawa gebrakan baru untuk diri sendiri.


Terakhir,
Untukmu, Wahai diriku
Sadari, engkau adalah debu yang berharga. Tinggal bagaimana engkau menyikapinya. Apakah dengan perjuangan yang mempunyai konsekuensi? Apa justru menyerah yang sama-sama memiliki konsekuensi? Pilihlah pilihan yang mampu kau tanggung resikonya. Biarpun terseok-seok, Allah tidak pernah, tidak pernah sekali pun DIA membiarkanmu. Hei, ingatlah bahwa engkau ada karena engkaulah pengemban amanah mulia sebagai wakil Allah di bumi.

Ingat ini, engkau berharga
Maka tuntaskan amanah-Nya sebelum ajal tiba
Sungguh, aku ingin menyayangimu setulus hati, wahai aku
Ridhoi kesalahanmu yang telah terjadi
Detik ini, cukupkan meratapi diri
Berproseslah menjadi yang terbaik
Untuk-Nya.

Salam mencintai proses, M3
Bumi Allah, 02 Februari 2022

gambar oleh: ibrahim-rifath

2 komentar:

  1. Ketika Allah melahirkanmu ke dunia, maka pd saat itu Allah "seolah" ingin menunjukkan kpd seluruh makhluk-Nya (khususnya malaikat dan jin), bahwa manusia yg Allah ciptakan adalag ciptaanNya yg luar biasa. Bahkan, meskipun dihadirkan dr rahim sepasang manusia yg "bermasalah", Allah tetap bisa munculkan manusia yg luar biasa, yaitu Mufmunmuh.
    Dg kata lain, kisah di sini sekaligus memecahkan sebuah hipotesa bahwa anak yg terlahir dr keluarga "broken home/bermasalah", belum tentu kelak mjd seseorang yg "bermasalah" pula.

    Di sini, seolah Allah mengingatkan kita pd salah satu firmanNya, "Jikalau Aku ingin menjadikan seluruh manusia di dunia itu percaya pdKu, maka itu mudah bagiKu."

    Dan Allah buktikan dirimu sebagai salah satu "

    Teruslah mendekat pdNya, dg selalu ridho apa yg telah mjd Qodho-Nya, dan jalani sunnatullah dg tetap berusaha berpegang teguh pd "tali"-Nya (syariatNya).

    Barakallahu fikum...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin Ya Rabbal'alamiin. Terima kasih atas respon dan doanya. Doa terbaik kembali kepada yang mendoakan.

      Hapus