Sabtu, 25 Juli 2020

Kenapa, Mengapa, Kok Gitu Sih? (Nonfiksi)



Teruntuk kita, mari membaca ini pelan-pelan. Direnungkan, diolah, lalu dihubungkan. Setelah itu ditelaah. Semoga Allah mendatangkan hidayah bagi kita demi hijrah mencapai keistiqamahan. 

Terkadang, bahkan sering pertanyaan "kenapa dan mengapa" atau "kok gitu?" masuk dipikiran saat melihat, mendengar juga melihat situasi di luar sana. Untuk seluruh sudut pandang. Seringkali hati ini berkomentar tentang orang lain. Beruntung yang masih di balik batin, tak keluar melalui jempol yang mengetik atau mulut yang berucap. Akan tetapi, tetap rugi bila berprasangka buruk.

Kita sering lupa menempatkan posisi kita seperti orang lain. Lalu mengagungkan butuh dimengerti. Dasar diri, manusia rapuh dan lemah ini semoga terdorong untuk bermuhasabah lebih banyak lagi. Kemudian menggenggam erat perubahan baik.

Perlu kita telaah. Beberapa kejadian yang ada di dunia. Barangkali itu yang kita sangkakan selama ini. Toh setiap manusia yang percaya adanya Pencipta Semesta akan berpikir, baru berbicara dalam bungkam (membatin) dan voila! ada yang terkabul. Atau mungkin terkabul semuanya?

- Nikmat Ilahmu yang manakah yang kau dustakan? 55:13
- Jika kita bersyukur akan nikmatNya, maka akan Allah tambahkan nikmat itu. 14:7
- Allah sesuai prasangka hamba-Nya (muttafaqun 'alaih) 

Namun, apa yang terkabul, justru kita abaikan. Acuh tak acuh bahkan meremehkan atau malah... Menghina? Naudzubillah. Mari mencurigai diri sendiri.

Barangkali seseorang yang tadinya ingin baik. Lalu kita sangkakan "sebagai tipuan", kemudian terbukti kembali pada kegelapan, adalah hasil dari prasangka kita. Jangan terburu menghujat. Coba raba diri. Barangkali kalimat buruk, sangkaan jelek kita yang menjadi terkabulnya suatu suudzon.

Wahai diri, tetaplah husnudzon. Apa pun yang terjadi jangan sampai suudzon yang menyelinap di antara hatimu. Wahai diri, bersabarlah, tahan diri agar tidak meneruskan pikiran-pikiran yang jelek. Sebab dari husnudzon bisa jadi suudzon. Jatuhnya bukan kebaikan malah mendatangkan keburukan.

Lebih baik tidak perlu berprasangka, karena tidak semua "kenapa dan mengapa" atau "kok gitu sih" perlu dijawab. Mari mencurigai diri sendiri. Jangan menuntut orang lain, kalau tidak mau menuntut diri sendiri. 

Untukku... Renungilah ini... 

Bumi Allah, 25 Juli 2020
Penulis: M3

Pentingnya Muslimah Memiliki Cita-cita (Nonfiksi)



Pada akhir zaman ini, banyak kita ketahui bahwa muslim, terutama muslimah, belum bisa menggapai cita-citanya. Bahkan muslimah remaja mengatakan kalau mereka belum mempunyai impian. Padahal memiliki keinginan itu penting. Mengapa?

1. Karena kita tidak mungkin ‘kan melakukan sesuatu tanpa harapan?
2. Sebab di dalam Q.S. Adz Dzariyat ayat 56 berbunyi
 
وما خلقت الجن والانس الا ليعبدون
yang artinya “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku.”

Sebagaimana kita ketahui bahwa wanita, terutama muslimah, adalah tonggak peradaban. Di mana Allah telah menetapkan peran kita sebagai:
1. Jembatan menuju Jannah saat masih kecil
2. Penyempurna agama bagi suami sesudah menikah
3. Madrasah pertama anak-anak saat telah menjadi ibu
4. Bahkan surga pun sudah berada di bawah telapak kakinya.

Jangan lupa kalau corpus collosum (hemisfer/bagian otak) perempuan, lebih tebal daripada laki-laki. Maka dari itu, wanita sering ditandai dengan kemampuan multitasking dan emosinya lebih matang.

Namun, masih banyak dari kita yang bingung untuk masuk ke jenjang berikutnya. Bakat dan minat tidak mengenal, disarankan ini kurang pas di hati, mau memilih rasanya mengambang & bagai tiada pijakan. Kalau hal tersebut belum dapat menggambarkan pilihan yang dapat dipilih. Mari kita mencoba.

Setidaknya, kita memikirkan bahwa generasi penerus berhak lahir dari rahim seorang ibu cerdas. Di mana mencari ilmu dengan didasari lillahita’ala dan dihiasi oleh adab atau akhlak yang baik.

Bagaimanapun keberhasilan atau kegagalan cita-cita kita, jangan sampai lupa dalam Q. S. Al Hasyr : 18.

وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ 
“…dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)…”

Maka dari itu, sahabat lillah, kita sebagai penumpang di bumi haruslah memiliki kapal ikhtiar untuk mengarungi laut kehidupan dan pastinya harus punya target. Sebab tidak mungkin kita naik kendaraan tanpa tujuan, bukan?
Untuk itulah mari memiliki cita-cita. Paling tidak untuk orang lain dan melakukannya dengan sukacita. Tentunya supaya bermanfaat juga bagi orang lain.

Sebab kita tak akan memusingkan bakat dan minat, bila telah paham apa yang kita lakukan memiliki satu ujung koridor. Allah. Jalur yang akan terlukis pun lancar terskema sebagai opsional menuju bidikan anak panah.

Antara Penyebutan Tuhan & Allah (Nonfiksi)



Waktu itu, di seminar psikologi yang membahas generasi milenial dari perspektif klinis, industri & organisasi serta satunya pendidikan (InsyaaAllah). Berjarak 2 bangku ada yang bergumam:

"Apa bedanya tuhan sama Allah? Toh sama aja artinya."

Di PKMU, entah ahad ke satu atau kedua, seorang dosen magister agama mengatakan perbedaan tentang hal ini. Pun sama ketika sedari kecil kurang prefer kalo Allah dipanggil dengan sebutan Tuhan (dalam Bahasa Indonesia).
Ya mon maap kalo ane komentar. Ingin berpendapat je. Mao diterima/ga ya balik lagi pada pribadi masing-masing.

Tuhan itu diartikan sebagai sesuatu yg mendominasi dalam kehidupan & manusia merasa ada ketergantungan (candu). Baik secara sadar maupun tidak. Misalkan, menuhankan smartphone seperti ke mana-mana kudu bawa hp. Ketinggalan benda itu rasanya seperti ketinggalan nyawa, dsb.

Sedangkan Allah sendiri itu, Esa, Zat yg kekal, wajib diibadahi, ditaati, tdk boleh diduakan oleh sesuatu, tempat bergantung. Kita yg butuh Allah. DIA juga tidak pernah dan tidak akan mati.

[23/3] 
Ini berdasarkan apa yang saya dengar dari penuturannya Ustadz Salim A. Fillah, dan beberapa kyai dan asatidz yang (menurutku) punya kafaah di bidang bahasa.

Kata "Tuhan" itu berasal dari bahasa sansekerta yang diserap ke dalam Bahasa Indonesia. Artinya adalah Penguasa/Kepala/Pengatur para dewa yang ada di dunia. Di mana kata Tuhan adalah terjemahan dari kata "God" pdada Bahasa Inggris, yang juga bisa diartikan sebagai "Dewa".

Pertanyaannya, apakah Allah itu kepala/penguasa/pengatur para dewa ataukah dewa yang paling berkuasa?

Dalam Islam, sejatinya tidak mengenal kata "Tuhan" sebagaimana yang dimaksud.

Dalam bahasa syariat, Allah SWT, selain disebut dengan Asmaul Husna yang jumlahnya ada 99 nama, biasa sering disebut dalam Al Quran dan hadits sebagai "Rabb" atau pun "Ilah".

Misal dalam kalimat "Alhamdulillahirabbil'alamin" atau dalam syahadat atau tahlil "Lailaha illallah".

Nah...
Arti "Rabb" dan "Ilah" itu sendiri, memang sering diterjemahkan/diartikan sebagai "Tuhan". Khususnya di buku-buku agama dan beberapa terjemahan Al Quran.

Namun, menurut para ulama (seperti yang disebut di atas), arti kata "Rabb" dan "Ilah", sebenarnya lebih tinggi dan "lebih kompleks" daripada yang dituliskan dalam terjemahan tersebut. Sehingga beberapa ulama di Indonesia tidak mau menerjemahkannya dengan kata "Tuhan" dan beberapa lagi tetap menuliskan dengan kata apa adanya.

Menurut Ust. Salim A. Fillah, arti kata "Rabb" dan juga "Ilah" sangat luas dan kompleks. Menurut beliau, makna kata "Rabb" itu adalah "Penguasa, Pengatur, Penata, Yang Berkehendak, Yang Menciptakan, Yang Tidak Ada Padanannya, Yang Maha Tunggal, Yang Maha Mengetahui, Yang Menghukumi, dsb." Atau kalau boleh disimpulkan, "Rabb" itu berarti rangkuman dari Asmaul Husna ditambah dengan Sifat Wajib yang harus ada pada Allah.

Sedangkan "Ilah" artinya adalah "Sesembahan; Yang Paling Layak Disembah, Yang Paling Layak Ditaati/Dipatuhi, Ditakuti, Tempat Bergantung, dsb."

Maka, dari sini bisa disimpulkan bahwa Allah SWT, derajatnya masih terlalu rendah alias kurang pas bila diistilahkan/disandingkan dengan kata "Tuhan" sebagai penyebutannya, berdasarkan pengertian yang disampaikan di atas.

Oleh karena itu, akan lebih bijak, bila dalam menuliskan terjemahan dari penyebutan-penyebutan tersebut menggunakan pengucapakan secara harfiah saja.
Misal :
"Alhamdulillahirabbil 'alamin."
Maka lebih baik diterjemahkan dengan
"Segala pujian bagi Allah, Rabb semesta alam."

Atau

"Lailaha illallah."
"Tiada sesembahan (yang pantas disembah) selain Allah."

Insyaa Allah seperti itu penjelasanku... Semoga bisa dipahami dan bermanfaat...

Wallahu'alam bishshawab...

Permen (Cermin)


PERMEN
Oleh: M3

Jalanan lengang. Sengat matahari membakar kulit. Masa liburan belum berakhir. Sayangnya, rentang memisahkan. Jendela dibuka lebar-lebar. Menatap pohon yang menjulang tinggi. Dedaunan menari. Memang angin sedang menyapa, tetapi udara panas tetap terasa.

Di penghujung sana, gadis berbulu mata lentik itu sering menelepon sebelum liburan semester dimulai. Walau hanya untuk menghabiskan bonus pulsa, Yohan tetap suka. Entah semringah macam apa yang tengah meradang kala itu. Sampai di satu titik senyum itu memudar.

“Apakah…” matanya menatap dengan layu ke bawah

***

Waktu itu Yohan mengantar Aliya ke stasiun untuk pulang ke kampung halaman setelah bertempat tinggal di kost selama 6 bulan. Kereta tiba sekitar 50 menit menit lagi. Mereka berdua memasuki area parkir. Lalu turun di sisi barat menuju loket. Berjalan beriringan dalam senyap di bawah rintik gerimis. 

Selembar karcis Kereta Dhoho Penataran siap diperiksa sebelum memasuki peron. Sambil menunggu, mereka bercengkrama seperti biasa. Bercerita banyak hal bahkan sesi curhat yang masih banyak dibumbui ungkap kiasan. 

“Aku ingin mengatakannya padamu, Al.” batinnya sambil menatap gadis pujaannya

“Kak? Kak Yohan kenapa menatap Aliya lama begitu? Ada sesuatu ya di wajah Aliya?” tanyanya mengonfirmasi setelah menggigit sebatang cokelat untuk mengganjal perut

Yohan mengerjap. 

“Ga jadi deh.”

“Lho. Ada apa? Kakak kebiasaan ya bikin Aliya penasaran. Ya udah, pulang sana.”

“Ih, pake ngusir. Jahat banget.”

“Habisnya sih bikin sebel.”

“Ya udah, jadi. Ini sharing aja ya. Kamu pernah ga sih suka seseorang atau nolak gitu?”

“Ha? Tumben banget. Kakak lagi suka seseorang ya? Terus mau minta pandangan Aliya. Kan, kan? Halah bilang aja.”

Mikro ekspresi muncul. Kedua alis Yohan naik beserta mata yang membulat. Ia terkejut bukan main adik tingkatnya ini memiliki sisi peka yang luar biasa. Langsung ia ubah mimik wajahnya menjadi datar. Sayangnya, hatinya masih ragu untuk mengungkap rasa karena takut bila Aliya akan menjauh.

“Iya deh iya. Ngaku.”

“Aliya cewek normal kok. Pernah suka seseorang, nolak juga sering, bahkan pernah nembak. Hahahah dasar bucin, budak cinta.”

“Terus, terus?”

“Ya pokoknya kakak jangan agresif, tapi ya jangan diem juga dong. Biasa aja. Cewek emang suka banget dikejar. Padahal yang ngejar ya capek. Aliya pikir sih tergantung karakter ceweknya gimana. O, sama prinsip yang dipegang. Kalau salah langkah ya bahaya. Bisa langsung dijebloskan ke kotak blacklist, haha.”

“Aduh, berat juga ya.”

“Eh, kak. Tolong dong temenin ke toilet.”

“Eh?! Astaghfirullah. Mau ngapain?” tanya Yohan terperangah mengerjapkan mata

“Ih! Apaan sih? Aliya kebelet nih. Udah, buruan, Kak. Jagain tas Aliya agih.”

Aliya langsung memasukkan sisa cokelat ke saku kiri. Lalu menyandarkan tas ke bahu kanan, sedangkan Yohan mengikuti dari belakang tanpa menolak. Napasnya memburu, jantungnya terpompa kencang. 

Dari belakang Aliya terlihat sangat anggun. Bukan fisik yang menjadikan lelaki berkacamata itu kagum padanya. Akan tetapi, karakter kuat dan dewasa yang ditunjukkan Aliya mampu menyihir Yohan. Membuat pemuda itu sangat terpesona.

“Aliya! Suka seseorang harus menikahinya kan? Kalau belum siap gimana?”

“Tinggalkan dan ikhlaskan atau puasa menahan godaan sambil memperbaiki diri dalam penantian. Udah ah, Kak. Ga tahan.”

Langsung ia melempar tas beratnya ke Yohan dan berlari kecil ke kamar mandi. Beruntungnya di sisi depan toilet laki-laki dan perempuan ada pembatas dan kursi. Ia pun bisa menjadikan dinding itu untuk bersandar. 

Sambil menunggu, Yohan membuka galeri. Di sana ada foto ketika berkumpul dalam satu organisasi kampus. Ada Aliya di sana dengan balutan kerudung menutup dada tanpa disampirkan ke kanan-kiri. Dibubuhi gamis pastel longgar yang indah. Yohan semakin berdecak kagum sampai ada teriakan kecil di telinga kiri yang menyadarkannya.

“Hayo. Ngapain?”

“Lihat-lihat foto.”

“Yah, kirain stalker doi. Padahal Aliya penasaran.”

“Kamu ini habis mandi?”

“Nggak dong. Ga mungkin cewek mandi di bawah sepuluh menit kecuali bangun telat."

“Terus kok wajahmu basah semua? Makan permen lagi sampe merah semua tuh bibir. Padahal baru dari kamar mandi. Ih!"

“Habis wudhu. Suka-suka hati dong.” jawab Aliya memayunkan bibir dan mengerlingkan mata

Yohan berdiri dan meringis gemas menimbulkan suara desis melihat tingkah Aliya. Entah kerasukan apa, tiba-tiba ia genggam tangan kanan adik tingkatnya. Lalu mendorong kepala Aliya mendekat ke wajahnya. Lelaki itu langsung mencium bibir Aliya yang masih menyisakan bekas cairan gula-gula. Permen yang digenggam gadis itu pun langsung jatuh ke lantai. Matanya melotot tak percaya akan apa yang dilakukan kakak tingkatnya.

Langsung ia mendorong Yohan sampai menghantam dinding pembatas. Napas mereka sama-sama memburu dengan mata yang juga terperangah. Bertepatan dengan itu, pengumuman Kereta Api Dhoho Penataran telah terdengar dan para penumpang pun bergegas menuju peron. Tanpa pikir panjang, Aliya mengambil tas yang ada di kursi sebelah Yohan sambil meneteskan air mata yang tak dapat ditahannya.

Kini hatinya keruh. Langkahnya dipercepat. Hidung dan mata mulai memerah. Kepalan tangan kiri begitu kuat hingga tampak uratnya. Kening mengerut. Wajahnya jadi tak sedap dipandang. Kerongkongan tercekat. Rahang mengeras. Emosi kecewa, takut, berdosa, kotor dan marah menjadi satu. Ia seka air matanya secepat mungkin menuju pintu masuk. 

Yohan menjulurkan tangan ingin langsung meminta maaf. Namun, pikirannya mengatakan jika mengejar, ia takut Aliya akan muntab dan berteriak. Ia urungkan menggenggam lengan untuk mencegah kepulangan gadis yang dikaguminya. 

Tubuhnya merinding, tangannya bergetar, jemarinya menyisir rambut dengan kasar, teriakan buruk dilontarkan di dalam toilet laki-laki. Kakinya menendang dinding berulang kali. Rahangnya mengeras sampai urat leher terlihat dan lehernya merah padam. 

“Bodoh! Bodoh! Kau barusan melakukan apa sih?! Dasar bodoh! Sudah gila kau Yohan?” rutuknya pada diri sendiri sambil menghantamkan tangan ke pintu toilet

Aliya tak kuasa menahan gemetar yang menghantam tubuhnya. Bagai ternodai oleh orang yang dipercaya. Membuatnya ingin menangis lagi. Ia malu ditatap orang-orang, akhirnya saat sudah duduk sesuai nomor yang tertera di karcis, kerudung yang digunakan ia tarik ke depan agar tak ada pertanyaan. 

Tentu saja yang paling menghunjam jantungnya ialah malu pada Allah. Malu pada Nabinya. Malu pada orang tuanya yang sudah memperingatkan bahwa Rasulullah mengajarkan betapa pentingnya menjaga pergaulan dengan ketat.

“Astaghfirullah. Laa haula walaa quwwata illaa billah.” lirihnya dalam isak tangis

Dada sangat sesak. Mencoba bersuara pun rasanya berat sekali. Netra tak sanggup menahan lagi. Gigi meringis atas afeksi yang menyayat hati. Kedua alis teru tertaut menahan gemetar dari napas yang sulit direngkuh. 

Sejak saat itu, Aliya tak pernah menghubungi Yohan lagi. Seluruh kontak maupun akun sosial media tak dapat dihubungi pemuda jangkung tersebut. Rasa bersalah menghantui setiap mimpi-mimpi Yohan. Selama liburan tidak ada yang ia pikirkan selain kenangan bersama Aliya dan dosa yang telah ia perbuat terhadap mereka berdua. 

“Dosa yang telah kuperbuat adalah penutup pintu hatimu padaku.” jarinya memegang kening dan membuang napas kasar

“Apakah… Apakah jika waktu dapat diputar kembali, aku dapat memperjuangkanmu sesuai syariat-Nya? Maafkan aku, Al. Aku sangat menyesal.” sorot matanya sendu

***

Rintik Ego 2 (Cermin dalam Buku Potongan Benang)



Penulis: M M M

Rumah kali ini terasa pengap. Kusam nan berdebu. Dikiranya merupakan harfiah, tetapi ungkap kiasan. Hari ini Wildan mengunjungi rumahnya untuk kesekian kali. Memang hari ini adalah ulang tahunnya.

“Hai, Fina.”

“Ha.. Hai.”

“Kenapa gugup gitu?”

“Enggak kok. Masuk dan duduklah.”

Pemuda berjaket marun dengan kaos biru itu masuk sambil menenteng paper bag-nya. Kado untuk Fina diletakkan di samping sofa vintage yang didudukinya.

“Bentar ya, aku ke dalam dulu ambil minum.”

“Siap. Makasih, Fin.”

Keringat dingin mengalir di pelipis. Matanya mengerling sambil membulat. Tangan dan kakinya bergetar. Tidak biasanya ia seperti itu. Tidak setelah mendapat lentera yang membantunya terlepas dari jurang kegelapan. Sebuah nampan cokelat dibawanya. Di atas kayu itu terdapat dua gelas jus jeruk dan duabpiring kecil berisi makanan ringan.

“Wah udah disiapin ya. Makasih banyak lho, Fin.”

“I.. iya..”

“Eh, tunggu. Ada yang beda. Kamu sekarang udah pake kerudung ya?”

“Betul, Wil, ” sahut Fina tersenyum sampai bola matanya tak terlihat

“Kamu cantik tahu kalau rambutnya digerai.”

“Eh?!” seketika mata Fina terbuka dan lengkungan bibirnya turun

“Beneran. Apalagi kalau dikelabang samping kanan-kiri terus diiket ke belakang. Tambah manis.”

“…..”

“Ah, iya. Hampir lupa. Ini kado untukmu.”

“Terima kasih.”

“Kamu duduk dong. Dongak mulu kan ga enak ngeliatnya. Leherku sakit.”

“.....” tak bicara hanya dua anggukan sebagai tanda iya

“Tumben dudukmu di seberangku?”

“Kamu yang biasanya duduk sengaja di sampingku tanpa aku minta.”

“Eh, iya ya. Haha. Kan emang kita pacaran.”

“Wil, cukup. Kita ga pernah pacaran. Bahkan aku tak pernah memberitahu perasaanku yang sesungguhnya kepadamu. Bagaimana bisa satu tahun ini kedekatan kita membuatmu bisa berpikiran seperti itu?”

“Tapi bukannya kamu sudah menanyai perasaanku dan jika sikapmu waktu itu diam maka artinya iya?”

“Iya, bukan berarti aku membalas perasaanmu dan diam tak selalu iya. Maaf, aku rasa mari komunikasi ini kita kurangi ya, Wil.”

“….”

“Bukan bermaksud tak ingin berteman lagi. Namun, jalan benar inilah yang harus ditempuh demi kemaslahatan bersama.”

“Ya, aku tahu bahwa aku hanya pengagum yang belum bisa memenuhi semua kriteriamu. Ya, aku sadar, tapi apa salah aku menganggap kedekatan kita ini sebagai status pacaran? Apa kamu tak menyukaiku?”

“Ironi. Maafkan aku yang sudah kelewatan.”

Wildan diam dan langsung berdiri. Fina mengira laki-laki di depannya itu akan segera mengangkat kaki dari rumahnya. Ternyata tidak.

“Kamu mau apa, Wil?” tanya Fina ikut berdiri sambil bergetar tatkala Wildan mendekat

Masih tidak berbicara ia semakin mendekat dan Fina terus menyamping sampai membelakangi dinding kaca di sebelah pintu masuk rumahnya.

“Kamu mau apa, Wil?”

“Bicaralah, Wil!”

“Kamu membuatku takut.”

Tepat ketika Fina menutup mata, Wildan melakukan kabedon padanya. Mata gadis berkerudung segi empat itu terbuka dan membulat. Keringat dingin semakin membasahi pelipisnya. Kedua tangan saling bertautan di depan dadanya. Kakinya bergetar. Jantungnya berdegup dengan ritme tak tentu.

“Apa Wildan ingin melakukan kekerasan padaku?”
“Laa haula walaa quwwata illah billah. Ya Allah lindungi hamba.”

Masih diam, Wildan menatap, Fina menutup mata lagi dan semakin ketakutan.

“Aku… salah apa?”

“Apa?” tanya Fina membuka mata melihat ke bawah 

“Aku salah apa padamu?”

"Bu, bukan! Aku yang salah. Aku sungguh minta maaf.”

“Apa aku tidak bisa singgah di hatimu?”

“Aku menyukaimu, tapi apa alasannya kamu ingin menjauh? Sebenarnya apa yang sudah aku perbuat?”

“Maaf, aku sungguh minta maaf.”

“Aku mohon jelaskan padaku.”

“Kalau itu maumu... aku yang salah karena bersandar di pundakmu, meminjam punggungmu untuk menangis, menggenggam tanganmu untuk menguatkanku, pelukan hangatmu yang pernah kurasakan ketika orang tuaku bercerai, dan segala kenyamanan yang membuatmu semakin menyukaiku. Maaf.”

“Apa maksudmu?”

“Agama kita melarang itu. Aku telah melakukan dosa dan kamu juga mendapatkannya karena aku. Meski hal itu menyenangkanku. Maafkan aku.”

“….”

“Maaf.”

Wildan melepas kedua tangannya dari dinding kaca. Tubuhnya tak bertenaga. Ia tak bisa menyanggah karena memang kurang paham pada aturan syar’i yang telah dibawa Rasul-Nya. Pemuda jangkung itu berjalan ke depan. Meninggalkan ruang tamu dan Fina di sana. Sebelum benar-benar pergi, Wildan menoleh sembilan puluh derajat ke kanan.

“Kalau masalah agama, aku tidak bisa menyangkal. Memang aku tak mengerti. Terima kasih sudah pernah membuat hariku indah meski tertepis fatamorgana. Aku akan pergi dari sini.”

“Maaf, bukan maksudku memutus silaturahmi.”

Wildan terdiam lagi. Ia berjalan menjauh. Ketika memakai helm dan menaiki sepeda motornya, lelaki itu tersenyum sendu dan mengucapkan salam.

“Cepat atau lambat, aku ingin kamu mengerti, Wil. Aku juga menyukaimu dan itu bukan fatamorgana. Aku membuat jarak karena aku mencintaimu karena Allah.”

Waktu terus berjalan. Fina tetap menjaga hatinya pada Wildan. Walau pada akhirnya, pemuda itu beralih hati. Berpindah haluan menyukai perempuan yang paling populer di sekolah mereka. 

Berat, tidak terbiasa, merasa kehilangan dan ingin kembali. Namun, ia tak ingin menggadaikan iman dan logikanya dengan ego (nafsu) yang menghancurkan. 

Fina yakin kalau suatu saat, orang yang disukainya akan paham mengapa ia memilih jalan ini. Jalur yang awalnya menyakitkan, tetapi berakhir menenangkan. Senyuman dan rapalan permohonan terus dihaturkan bagi pemuda yang pernah mengisi hari-harinya. 

Gadis itu telah mengurangi kadarnya demi meraih cinta-Nya. 

***

Bunga di Ujung Sana (Bait)



Butiran kerlip memanjang di setiap jalan biru gelap. Jiwa terbesar masih terbuka. Deru tak terlihat menyapa kelopak dengan lembut. Membawa kejut sengatan pada batangnya. Tongkat bergumul dengan petir. Lagi. 

Menerima tiap-tiap daun yang mendeklarasikan dera jarum membuat sel neuron mendapat semburat. Denyar tali langsung menari keluar di antara ruang hampa. Terpekur oleh sergahan kilat yang sering datang pada batangnua.

Selalu mengernyit untuk mencari pintu putih. Selalu kebat-kebit dan merasa gamang. Tahu bahwa batang sudah banyak memiliki goresan. Tangkainya mulai layu. Tongkatnya sudah menguarkan serpihan lembut nan halus. 

Namun, jiwa terbesar harus tetap bergerak. Meski goresan ini menamparnya berkali-kali, jangan sampai menjadikan lupa terhadap harumnya taman kecil.

Semua memang memiliki titik tunduk. Akan tetapi, tetap harus kembali lagi pada kursi tertinggi. Bunga tak boleh permanen menunduk. Masih banyak bulir bening menyejukkan yang akan hadir.

Terkadang pula ingin membalas daun-daun itu dengan daun-daunku, tetapi kurasa hanya sebagai tembok yang datar. Tiada larik yang tertulis. Jadi tetap datar.

Terkadang pula kaleng ini selalu dimasuki desir-desir yang sedang menandakan saja. Denting-denting telah bergeser ke arah lebih jauh dan banyak. Tidak ada yang diindahkan dalam decak itu. 

Bersanding bersama ruas yang hanya dimasuki tanpa ada gerakan pasti. Selalu ditanda-tanyai. Itu saja. Bunga tetap ditampar para petir. Denyar tali masih mengambang. Gelegar membuat gentar dan menyulut api. Sekali lagi tidak diacuhkan dan terus memperhatikan bunga.

Jawa Timur, 22 Juni 2019
M3