Senin, 11 Januari 2021

Opini dari Webtoon Mistake Eps. 66

OPINI TERHADAP E-COMIC

Berlandaskan dari ilmu-ilmu yang telah dibaca dan dipelajari. 

            Dapat diketahui bahwa si tokoh Melinda adalah anak yang meninggikan gengsi untuk tampil keren dan di”wah”kan oleh teman-temannya. Apabila yang pernah membaca komik tersebut dari awal hingga episode 66 pasti mengetahui bagaimana dia bisa jatuh ke pelukan Nico hingga hamil. Semua tidak serta-merta langsung, tetapi berproses.

            Apalagi di usia remaja awal hingga akhir merupakan fase labil, eksistensi diri, dan keegoisan meninggi. Gayanya yang seabrek dan suka menentang atau menjauh dari orang tua. Tidak semua, tetapi kebanyakan. Terutama orang tua yang bekerja keras dan sering tidak ada waktu untuk anak.

Nah, di sini tidak ada bacaan menyalahkan maupun membenarkan. Karena sejatinya, keluarga yang ideal adalah saling menasihati, saling memedulikan, dan saling memiliki rasa toleransi. Bukankah begitu? Katanya kita ingin dipahami, tetapi kenapa enggan berupaya memahami orang lain? Malah suka menuntut.

Dilansir dari kisah-kisah yang bertebaran, aku mendapati perilaku anak di mana ortunya sama-sama kerja. Waktu bagi sang Ananda menjadi jarang, tetapi seluruh kebutuhan tetap terpenuhi dengan baik.

Kasus pertama, si anak ini tipikal yang mau apa, harus ada, tanpa tapi, dan suka memaksa disertai penjulukan buruk kepada orang tua. Kasus kedua, cenderung menganggap dirinya jelek dan menyalahkan ortu melalui batin. Namun, dari kedua kasus, mereka sama-sama berusaha semaksimal mungkin sadar dan mengubah perspektifnya.

Orang tua mereka pulang larut malam, berangkat pagi buta karena mencari uang untuk mereka. Tujuannya supaya anaknya tidak kelaparan, memiliki rumah yang baik, pakaian bagus, pokoknya segala keperluannya tercukupi dengan baik tanpa kurang suatu apa pun. Semua diniatkan untuk sang buat hati tercinta.

Itulah yang membuat mereka kehilangan waktu kebersamaan yang hangat bersama sang putra/i. Lagi-lagi, alasannya karena anak. Bukankah bekerja itu juga salah satu bentuk berjuang? Kemudian anak menuntut hak batinnya. Di mana kedekatan dengan ayah dan ibunya merupakan hal yang penting juga.

Kita harus mempertimbangkan dari segi aqliyah (akal yang berlandaskan prinsip hidup). Surga yang paling dekat dengan kita adalah orang tua. Kita bukan diminta menunaikan kewajiban kepada mereka dengan baik atau secara norma saja, tetapi berbakti setulus hati dan memberikan (perilaku, materi, kebutuhan emosi, dll) yang paling terbaik. Tentu fase tertentu berat, sulit dilakukan. Bukan berarti mustahil, bukan?

Dan saat ini mulai banyak julukan TOXIC PARENTS, ya? Kalau toxic children nggak adakah? (: ketika mendapat pertanyaan itu dari salah satu unggahan Ustadz yang kesan bicaranya pedas, aku jadi tertohok. Memang, ada orang tua yang tidak normal dalam artian fitrah sebagai ortu tidak dijalani. Namun, tidak bisa kalau kita sama ratakan semua.

Berdalih toxic parents padahal cuma kedok pembenaran diri. Naudzubillah. Jangan sampai kita seperti itu, ya, teman-teman. Bagaimana pun juga, kita pemimpin. Setidaknya, sekecil-kecilnya pemimpin bagi diri sendiri. Memang peran ortu sangatlah besar terhadap perkembangan kita. Terutama pada pola pikir.

Akan tetapi, kita sudah baligh. Sudah sepatutnya tahu mana yang benar dan salah. Selayaknya pikiran kita berkelana apakah ini boleh? Apakah ini dilarang? Berbahaya tidak, ya? Dan segala kecamuk hati dan pikiran yang menyentil nurani. Pada hakikatnya ketika Allah tidak ridho, hati kita merasa gelisah. Termasuk ketika kita melakukan kesalahan apalagi maksiat. Itu tandanya hati kita masih berfungsi dengan baik.

Satu lagi. Kita sebagai manusia nih, ya. Coba jawab jujur dalam hati. Suka nggak sih disalahkan? Ranah itu aja. Bukan yang menjurus ditegur semisal krisar (kritik dan saran) lho ya. Intinya dikit-dikit disalahkan atau seperti nggak ada benarnya sama sekali. Sakit nggak sih? Kalau aku pribadi sih, jujur, sebagai manusia, ya, sakit.

Sewajarnya kita memanusiakan manusia kan? Coba deh kita baca dengan seksama di scene sebelah sini. Dengan seksama lho, ya, hehe, tanpa ada kubu-kubu pro/kontra.

 

Tuh, gambarnya dibesarin biar keliatan hahahah. Gimana rasanya sebagai orang tua? Kalau ditukar, gimana nih yang posisinya anak terus masih jomlo? Baik yang dengan orang tua kandung, tiri, atau wali siapa pun. Kalau disalahkan sakit nggak? Padahal perbuatan yang dilakukan tidak menyakiti secara verbal maupun fisik.

Okay, jadi gini. Yang mau dikerucutkan, sebagai pemisalan. Katakanlah Melinda ini pelaku, ya. Pelaku yang menyalahkan orang lain. Tentu ada objeknya dong? Siapa? Ibunya. Sebutlah sebagai korban. Nah, aku sendiri mempunyai sebuah pemikiran di mana toleransi itu bukan hanya untuk umat beda agama, tetapi sesama agama, bahkan terhadap keluarga sendiri. Entah dari segi pendapat, kebiasaan, atau keputusan.

Keluarga adalah wadah untuk tumbuh kembang. Mengenal diri. Terutama mengenal Sang Pencipta dan utusan-Nya. Maka dari itu, aku sering menyetir diri dengan mengungkapkan pada diri sendiri bahwa ketika aku merasa menjadi korban, sebenarnya aku ini sedang menikmati zona BERMENTAL KORBAN.

Okay, ada contoh. Kita ambil dari kasus korupsi yang sampai sekarang terus merebak. Kita ketahui bahwa mereka mencuri uang negara buka ratusan juta, tetapi milyaran. Padahal… mereka kaya lho. Kenapa korupsi? Artinya KORUPTOR ITU PUNYA MENTAL MISKIN. Beda lagi kalau orang yang berkecukupan dan qanaah dengan apa yang dititipkan padanya. Hati, aksi, dan kehidupannya dipenuhi rasa syukur, artinya ia memiliki MENTAL KAYA.

Sampai di sini dapat dipahami, ya? Nah, itulah yang selalu aku tanamkan ke pikiran. Apabila aku terus nyaman di zona korban tanpa berbuat apa pun, selamanya, hati dan pikiranku ya jadi korban. Padahal aku sendiri BISA JADI PELAKU lho. Semisal menyakiti orang tua dengan kata-kata buruk. Aku sudah dikatakan pelaku. Hati yang tenang menjadi kelu. Kadang kita berpikir dia atau mereka (siapa pun) tak akan mungkin paham perasaan kita. Itu berlaku juga pada dia atau mereka. Kita pun tak akan paham 100% perasaan mereka, kecuali pernah mengalami hal yang sama.

Jadi, sekarang aku tak ingin menuntut apa-apa yang berada di luar lingkaran kendaliku. Cukuplah bagiku mengendalikan apa yang bisa aku ubah atau kontrol. Lagi pula, setiap apa yang datang pada kita merupakan ujian. Baik dalam bentuk yang tidak kita sukai atau bahkan dalam bentuk yang paling kita cintai.

Dan kini, aku berusaha berdamai dengan diri sendiri dan masa lalu. Tidak perlu lagi deh buatku menyalahkan orang lain. Toh aku nggak mau disalahkan juga. Aku menjadi korban, mereka juga bisa menjadi korban. Mereka pelaku, aku pun juga bisa jadi pelaku. Namun, bukan berarti  aku harus memaksa atau menuntut orang lain memperlakukanku dengan hal yang sama.

Aku berusaha baik ke mereka, tetapi mereka malah jahatin aku. Balik lagi, ke à Cukuplah bagiku mengendalikan apa yang bisa aku ubah atau kontrol. Lagi pula, setiap apa yang datang pada kita merupakan ujian. Baik dalam bentuk yang tidak kita sukai atau bahkan dalam bentuk yang paling kita cintai.

Marilah kita mencintai dan berbakti setulus hati kepada orang tua. Karena bagaimana pun keadaannya, merekalah perantara Allah. Tak bosan-bosan kuulang pada diri sendiri dan bagi pembaca yang sampai di kalimat ini. Setiap apa yang hadir pada kita merupakan ujian. Baik dalam bentuk yang tidak kita sukai atau bahkan dalam bentuk yang paling kita cintai. So, stop ketawa-ketiwi atau sedih berlebihan. Kini waktunya kita berbenah sebelum punah. Semangat ya pejuang lillahita’ala. Aku yakin kamu semua pasti bisa. Kalau mudah, bukan berjuang namanya. ^^

Note:

1.        Yang bisa aku kendalikan:

a)      Caraku menyayangi diri sendiri

b)      Pola pikiranku

c)      Tindakan atau perilakuku

d)      Pendapatku

e)      Perkataanku

f)       Batasanku

g)      Pengelolaan perasaanku

2.      Yang tidak bisa aku kendalikan:

ü  Perlakuan orang lain

ü  Perasaan mereka

ü  Pikiran khalayak ramai

ü  Hal-hal di masa lalu

ü  Waktu dan cuaca

ü  Perkataan masyarakat

Dan ada baiknya, sebagai orang tua dengan anak, atau buah hati dengan ayah bundanya, saling bersinergi memperhatikan betul-betul. Karena setiap pemimpin akan ditanyai atas apa yang dipimpinnya. Termasuk memimpin diri sendiri. Semoga kita makin menyadari pentingnya menjaga diri, keluarga, maupun umat dari kemungkaran atau hal-hal berbahaya lainnya.

Apabila terdapat kesalahan mohon koreksinya, ya, teman-teman yang dirahmati Allah. Sebab penulis sebatas manusia biasa, tempatnya salah dan lupa. O, iya, opini tersebut sesuai konteks, ya. Silakan jika mempunyai penafsiran atau cabang pemikiran sendiri lainnya. Well, seperti kendali yang telah dipaparkan di atas. ^^

Terima kasih telah membaca. Boleh sekali memberikan kritik membangun, saran, tambahan, dan permintaan, ya. Salam Literasi. -M3





0 komentar:

Posting Komentar