OPINI TERHADAP E-COMIC
Berlandaskan dari ilmu-ilmu
yang telah dibaca dan dipelajari.
Dapat diketahui bahwa si tokoh Melinda adalah anak yang
meninggikan gengsi untuk tampil keren dan di”wah”kan oleh teman-temannya. Apabila
yang pernah membaca komik tersebut dari awal hingga episode 66 pasti mengetahui
bagaimana dia bisa jatuh ke pelukan Nico hingga hamil. Semua tidak serta-merta
langsung, tetapi berproses.
Apalagi di usia remaja awal hingga akhir merupakan fase
labil, eksistensi diri, dan keegoisan meninggi. Gayanya yang seabrek dan suka
menentang atau menjauh dari orang tua. Tidak semua, tetapi kebanyakan. Terutama
orang tua yang bekerja keras dan sering tidak ada waktu untuk anak.
Nah, di sini
tidak ada bacaan menyalahkan maupun membenarkan. Karena sejatinya, keluarga
yang ideal adalah saling menasihati, saling memedulikan, dan saling memiliki
rasa toleransi. Bukankah begitu? Katanya kita ingin dipahami, tetapi kenapa
enggan berupaya memahami orang lain? Malah suka menuntut.
Dilansir dari
kisah-kisah yang bertebaran, aku mendapati perilaku anak di mana ortunya
sama-sama kerja. Waktu bagi sang Ananda menjadi jarang, tetapi seluruh
kebutuhan tetap terpenuhi dengan baik.
Kasus pertama,
si anak ini tipikal yang mau apa, harus ada, tanpa tapi, dan suka memaksa disertai
penjulukan buruk kepada orang tua. Kasus kedua, cenderung menganggap dirinya jelek
dan menyalahkan ortu melalui batin. Namun, dari kedua kasus, mereka sama-sama
berusaha semaksimal mungkin sadar dan mengubah perspektifnya.
Orang tua
mereka pulang larut malam, berangkat pagi buta karena mencari uang untuk
mereka. Tujuannya supaya anaknya tidak kelaparan, memiliki rumah yang baik,
pakaian bagus, pokoknya segala keperluannya tercukupi dengan baik tanpa kurang
suatu apa pun. Semua diniatkan untuk sang buat hati tercinta.
Itulah yang
membuat mereka kehilangan waktu kebersamaan yang hangat bersama sang putra/i. Lagi-lagi,
alasannya karena anak. Bukankah bekerja itu juga salah satu bentuk berjuang? Kemudian
anak menuntut hak batinnya. Di mana kedekatan dengan ayah dan ibunya
merupakan hal yang penting juga.
Kita harus
mempertimbangkan dari segi aqliyah (akal yang berlandaskan prinsip hidup). Surga
yang paling dekat dengan kita adalah orang tua. Kita bukan diminta menunaikan
kewajiban kepada mereka dengan baik atau secara norma saja, tetapi berbakti
setulus hati dan memberikan (perilaku, materi, kebutuhan emosi, dll) yang paling terbaik. Tentu fase tertentu berat, sulit dilakukan. Bukan berarti mustahil,
bukan?
Dan saat ini
mulai banyak julukan TOXIC PARENTS, ya? Kalau toxic children nggak
adakah? (: ketika mendapat pertanyaan itu dari salah satu unggahan Ustadz yang
kesan bicaranya pedas, aku jadi tertohok. Memang, ada orang tua yang tidak normal dalam artian fitrah sebagai ortu tidak dijalani. Namun,
tidak bisa kalau kita sama ratakan semua.
Berdalih toxic
parents padahal cuma kedok pembenaran diri. Naudzubillah. Jangan sampai
kita seperti itu, ya, teman-teman. Bagaimana pun juga, kita pemimpin. Setidaknya,
sekecil-kecilnya pemimpin bagi diri sendiri. Memang peran ortu sangatlah besar
terhadap perkembangan kita. Terutama pada pola pikir.
Akan tetapi,
kita sudah baligh. Sudah sepatutnya tahu mana yang benar dan salah. Selayaknya pikiran
kita berkelana apakah ini boleh? Apakah ini dilarang? Berbahaya tidak, ya? Dan segala
kecamuk hati dan pikiran yang menyentil nurani. Pada hakikatnya ketika Allah
tidak ridho, hati kita merasa gelisah. Termasuk ketika kita melakukan kesalahan
apalagi maksiat. Itu tandanya hati kita masih berfungsi dengan baik.
Satu lagi. Kita
sebagai manusia nih, ya. Coba jawab jujur dalam hati. Suka nggak sih
disalahkan? Ranah itu aja. Bukan yang menjurus ditegur semisal krisar (kritik
dan saran) lho ya. Intinya dikit-dikit disalahkan atau seperti nggak ada
benarnya sama sekali. Sakit nggak sih? Kalau aku pribadi sih, jujur, sebagai
manusia, ya, sakit.
Sewajarnya kita memanusiakan manusia kan? Coba deh kita baca dengan seksama di scene sebelah sini. Dengan seksama lho, ya, hehe, tanpa ada kubu-kubu pro/kontra.
Tuh, gambarnya dibesarin biar keliatan hahahah. Gimana rasanya sebagai orang tua? Kalau ditukar,
gimana nih yang posisinya anak terus masih jomlo? Baik yang dengan orang tua
kandung, tiri, atau wali siapa pun. Kalau disalahkan sakit nggak? Padahal perbuatan
yang dilakukan tidak menyakiti secara verbal maupun fisik.
Okay, jadi
gini. Yang mau dikerucutkan, sebagai pemisalan. Katakanlah Melinda ini pelaku,
ya. Pelaku yang menyalahkan orang lain. Tentu ada objeknya dong? Siapa? Ibunya.
Sebutlah sebagai korban. Nah, aku sendiri mempunyai sebuah pemikiran di mana
toleransi itu bukan hanya untuk umat beda agama, tetapi sesama agama, bahkan
terhadap keluarga sendiri. Entah dari segi pendapat, kebiasaan, atau keputusan.
Keluarga adalah
wadah untuk tumbuh kembang. Mengenal diri. Terutama mengenal Sang Pencipta dan
utusan-Nya. Maka dari itu, aku sering menyetir diri dengan mengungkapkan pada
diri sendiri bahwa ketika aku merasa menjadi korban, sebenarnya aku ini sedang
menikmati zona BERMENTAL KORBAN.
Okay, ada
contoh. Kita ambil dari kasus korupsi yang sampai sekarang terus merebak. Kita ketahui
bahwa mereka mencuri uang negara buka ratusan juta, tetapi milyaran. Padahal…
mereka kaya lho. Kenapa korupsi? Artinya KORUPTOR ITU PUNYA MENTAL MISKIN. Beda
lagi kalau orang yang berkecukupan dan qanaah dengan apa yang dititipkan
padanya. Hati, aksi, dan kehidupannya dipenuhi rasa syukur, artinya ia memiliki
MENTAL KAYA.
Sampai di
sini dapat dipahami, ya? Nah, itulah yang selalu aku tanamkan ke pikiran. Apabila
aku terus nyaman di zona korban tanpa berbuat apa pun, selamanya, hati dan
pikiranku ya jadi korban. Padahal aku sendiri BISA JADI PELAKU lho. Semisal menyakiti
orang tua dengan kata-kata buruk. Aku sudah dikatakan pelaku. Hati yang tenang
menjadi kelu. Kadang kita berpikir dia atau mereka (siapa pun) tak akan mungkin
paham perasaan kita. Itu berlaku juga pada dia atau mereka. Kita pun tak akan
paham 100% perasaan mereka, kecuali pernah mengalami hal yang sama.
Jadi,
sekarang aku tak ingin menuntut apa-apa yang berada di luar lingkaran kendaliku.
Cukuplah bagiku mengendalikan apa yang bisa aku ubah atau kontrol. Lagi pula,
setiap apa yang datang pada kita merupakan ujian. Baik dalam bentuk yang tidak
kita sukai atau bahkan dalam bentuk yang paling kita cintai.
Dan kini, aku
berusaha berdamai dengan diri sendiri dan masa lalu. Tidak perlu lagi deh
buatku menyalahkan orang lain. Toh aku nggak mau disalahkan juga. Aku menjadi
korban, mereka juga bisa menjadi korban. Mereka pelaku, aku pun juga bisa jadi
pelaku. Namun, bukan berarti aku harus memaksa atau menuntut orang lain memperlakukanku dengan hal yang sama.
Aku berusaha
baik ke mereka, tetapi mereka malah jahatin aku. Balik lagi, ke à Cukuplah bagiku mengendalikan apa yang bisa aku ubah
atau kontrol. Lagi pula, setiap apa yang datang pada kita merupakan ujian. Baik
dalam bentuk yang tidak kita sukai atau bahkan dalam bentuk yang paling kita
cintai.
Marilah kita
mencintai dan berbakti setulus hati kepada orang tua. Karena bagaimana pun
keadaannya, merekalah perantara Allah. Tak bosan-bosan kuulang pada diri
sendiri dan bagi pembaca yang sampai di kalimat ini. Setiap apa yang hadir pada
kita merupakan ujian. Baik dalam bentuk yang tidak kita sukai atau bahkan dalam
bentuk yang paling kita cintai. So, stop ketawa-ketiwi atau sedih berlebihan. Kini
waktunya kita berbenah sebelum punah. Semangat ya pejuang lillahita’ala. Aku yakin
kamu semua pasti bisa. Kalau mudah, bukan berjuang namanya. ^^
Note:
1.
Yang bisa aku kendalikan:
a) Caraku menyayangi diri sendiri
b) Pola pikiranku
c) Tindakan atau perilakuku
d) Pendapatku
e) Perkataanku
f) Batasanku
g) Pengelolaan perasaanku
2. Yang tidak bisa aku kendalikan:
ü
Perlakuan orang lain
ü
Perasaan mereka
ü
Pikiran khalayak ramai
ü
Hal-hal di masa lalu
ü
Waktu dan cuaca
ü Perkataan masyarakat
Dan ada
baiknya, sebagai orang tua dengan anak, atau buah hati dengan ayah bundanya, saling bersinergi memperhatikan betul-betul. Karena setiap pemimpin akan
ditanyai atas apa yang dipimpinnya. Termasuk memimpin diri sendiri. Semoga kita
makin menyadari pentingnya menjaga diri, keluarga, maupun umat dari kemungkaran
atau hal-hal berbahaya lainnya.
Apabila
terdapat kesalahan mohon koreksinya, ya, teman-teman yang dirahmati Allah. Sebab
penulis sebatas manusia biasa, tempatnya salah dan lupa. O, iya, opini tersebut
sesuai konteks, ya. Silakan jika mempunyai penafsiran atau cabang pemikiran
sendiri lainnya. Well, seperti kendali yang telah dipaparkan di atas. ^^
Terima kasih telah membaca. Boleh sekali memberikan kritik membangun, saran, tambahan, dan permintaan, ya. Salam Literasi. -M3
0 komentar:
Posting Komentar