Jumat, 22 Januari 2021

CERPEN - KITA BERTEMU KEMBALI ^^


KITA BERTEMU KEMBALI

Oleh: M3 | Picture by Freddy Castro


Kafe Kenangan | Senin, 16 November 2020

Kali ini jingga lebih cerah dari kemarin. Angkasa bersih sekali. Layaknya menyembunyikan awan putih yang biasa menampakkan diri. Di bawah langit sore itu, langkahnya kembali hadir. Pintu kafe dibuka. Devo, barista berkemeja motif garis cokelat, mendongak.

Kedua alisnya diangkat karena terperangah. Seorang gadis yang dulu sering memakai celana kulot dengan kemeja panjang dan pasmina, kini berganti gamis dan kerudung yang syar’i, tengah menghampirinya yang bergeming.

“Selamat sore! Silakan, Mbak. Mau pesan apa?” tanya Devo bergeleng kecil mengerucutkan fokus untuk menerima pesanan.

Gadis berusia dua puluh tahun itu menelusuri tiap menu. Menimbang-nimbang makanan dan kopi apa yang akan dipilih.

“O, iya, Mbak. Hari ini menunya ada promo lho. Ada paket original. Isinya dua kopi all varian dengan arum manis dan satu crepe. Kemudian paket spesial dua minuman all varian, dua ropang keju daging sapi, dan satu crepe,” jelas barista itu sembari tersenyum ramah.

Viona pun memesan paket spesial. Berupa kopi alpukat dan kopi susu gula aren. Ia pun celingak-celinguk mencari tempat duduk yang kosong. Ada sepasang kursi di sebelah selatan bar kopi. Gadis berhijab tersebut menuju ke sana.

“Saya tunggu di situ, ya, Mas. Makasih,” tunjuknya.

“Siap, Mbak.”

Totebag diletakkan di atas meja. Wajahnya menoleh ke arah barat, melihat situasi jalan raya dari balik dinding kaca. Viona menunggu seseorang yang belum ia temui lagi sejak 19 bulan belakangan. Lonceng pintu kafe terdengar. Ada yang datang lagi. Viona menoleh. Matanya membulat. Seutas senyum dikembangkan. Netra saling beradu dalam sapa yang sejenak membisu.

Setelah sekian lama, akhirnya mereka bertatap muka kembali. Bahagia memancar dari wajah keduanya. Pemuda berkacamata itu mendatangi meja Viona. Jaket merah marun yang masih sama. Celana jin berwarna biru dan kaos lengan pendek warna putih. Rambutnya masih diberi pomade. Tampilan yang tak pernah dilupakan oleh perempuan berdarah Makassar-Jawa itu.

“Hai!” sapa Azra sebelum menarik kursi.

“Hai! Langsung duduk aja, Mas.”

By the way udah pesen minum?”

“Udah kok. Sama makanannya juga. Lagi nunggu pesanan nih,” jawab Viona menarik totebag dan ditaruh di atas pangkuannya.

Bertepatan dengan kedatangan Azra, barista yang menerima pesanan tadi datang dengan seluruh hidangan yang telah diminta oleh Viona.

“Silakan dinikmati, Mbak, Mas.”

“Terima kasih,” ucap mereka berbarengan.

Devo beralih lagi ke meja kasir. Membereskan beberapa peralatan yang tercecer seraya menanti pelanggan berikutnya. Azra dan Viona pun melanjutkan perbincangan. Tutur mereka tetap hangat. Canggung layaknya tersapu oleh dua daun yang kini bersua kembali.

“Pesanan kita masih sama, ya?”

Viona mengulum senyum. Pipinya terasa panas. Ia berharap semoga wajahnya tidak kelihatan memerah. Pikirannya berkecamuk. Jantungnya seakan mau meledak saking senangnya. Kemudian dirinya mencoba menarik napas dalam-dalam. Lalu mengembuskan perlahan.

“Iya. Kamu tahu, tiap pulang kuliah, aku selalu mampir beli kopi alpukat kesukaanmu.” Pernyataan itu membuat keduanya benar-benar merona.

“Hahahah, kamu bercanda, ya?”

“Beneran.”

“Ehm … sebenarnya, aku juga begitu. Tiap pulang kerja juga mampir ke kafe. Hanya membeli segelas kopi susu gula aren, kesukaanmu,” kata Azra yang memegangi lehernya, malu.

Tatapan mereka lekat. Tak ingin lepas. Selama ini, Viona tak menyangka mereka saling memikirkan satu sama lain. Kemudian percakapan berlanjut tentang pengalaman kerja pemuda itu yang berubah setahun yang lalu.

“Di kerjaan sekarang lumayan berat sih, tapi aku bisa adaptasi. Syukurlah semua teman berperilaku baik.”

“Syukurlah kalau begitu. Aku turut senang mendengarnya. Semoga betah, ya.”

“Aamiin. Gimana wisudamu? Sekitar … sebulan yang lalu?”

“Alhamdulillah. Iya. Lancar jaya dan aku lulus dengan IPK cumlaude.”

“Wah selamat, ya! Ehm … kalau boleh tau, di sana dihadiri siapa aja?”

“Pastinya ada Mama, Papa, adikku, sama keempat sahabatku. Memang kenapa?”

“O, tidak apa-apa. Kukira ada orang lain lagi.”

“Maksudnya calon?” Viona mengernyit, menelisik dengan to the point.

“Kamu tak pernah berubah, ya? Selalu langsung menjurus ke hal yang dimaksud.”

“Jadi, itu bagus atau buruk?” tanya Viona mengangkat sebelah alis.

Mereka pun saling terkekeh. Keakraban terbangun lagi dengan baik. Meskipun bulan demi bulan terlewati. Tak lupa Azra menyuapkan santapan di depan mereka ke Viona. Sebagai bentuk keromantisan di masa lampau yang sempat terhenti hampir dua tahun lamanya. Tidak ada kata cinta, tidak ada kata cemburu, tetapi bahasa tubuh mereka sangat kentara menunjukkan.

Kafe tersebut akan selalu jadi memori keduanya. Tempat berkunjung paling favorit. Di mana menghabiskan waktu berdua. Menikmati hiruk-pikuk jalanan. Menyesap kopi yang kadang diseduh panas, kadang juga dingin. Esensinya tak pernah berubah meskipun disajikan dalam suhu yang berbeda.

Tempat tersebut dinilai unik, sebab menyediakan wadah pesan bagi pengunjung melalui sticky note yang ditempelkan ke papan hitam pigora kayu berelief bunga di sana. Letaknya pas di sebelah pintu masuk. Siapa pun yang akan masuk ke kafe, pasti disambut tulisan dari pengunjung yang telah pulang. Jadilah rekam jejak melalui tulisan. Bila ada yang mencari notes-nya di masa lalu pasti bisa ditemukan juga.

Itulah yang acap kali mereka lakukan ketika berkunjung. Viona pun memanggil Devo, si barista, untuk mengambilkan catatan mereka dua tahun lalu.

“Mas Barista, tolong dong,” panggil Viona sambil mengangkat tangan kanan.

“Iya, Mbak. Boleh. Sebelumnya informasi saja. Nama saya Devo.”

“O, iya, Mas. Maaf kurang teliti ngeliat name tag.”

“Nggak apa-apa, Mbak. Jadi mau minta tolong apa?”

Sticky notes warna aqua di tahun 2019, Mas. Boleh minta tolong diambilkan?”

“Boleh. sekitar bulan apa, ya?”

“Februari-April. Kira-kira bulan itu. Kalau boleh lagi yang ada simbol AMV, ya, Mas!”

“Baiklah. Akan saya carikan foldernya, ya, Mbak. Mohon sabar menunggu. Untungnya dibuang per tiga tahun lho, Mbak. Hehe.”

“Wah, beneran? Beruntunglah. Makasih banyak, Mas.”

Seraya menunggu, Azra dan Viona kembali bercengkerama. Kali ini mereka nostalgia awal mula berjumpa. Di awal 2016, kafe padat merayap. Berjejal orang mengantri karena ada promosi 70% di hari itu. Azra yang kesal akhirnya terpaksa mencari tempat duduk. Hanya ada satu kursi kosong dan sebenarnya tempat itu untuk dua orang.

“Permisi.”

“Ya?”

“Boleh duduk di sini? Tempat yang lain penuh soalnya.”

“O, boleh banget. Silakan.”

“Nama Mbaknya siapa? Suka nongkrong di sini?”

“Viona. Iya, Mas. Biasanya juga ngerjain tugas di sini.”

“Aku Azra. Kuliah semester berapa sekarang?”

“Waduh. Saya masih kelas tiga SMA, Mas.”

“Eh, kirain udah semester empat, enam atau akhir, hehe.”

“Keliatan tua, ya? Masnya sendiri? Kerja?” tanya Viona tertawa kecut.

“Bukan kok. Keliatannya dewasa gitu. Iya, kerja sambil kuliah.”

“Sama aja tua, ih! Wah, nggak susah gitu, Mas? Bagi waktu maksudnya.”

“Beda lho tua sama dewasa. Nggak sulit kok. Kuliahnya malem. Paginya kerja.”

“O, gitu. Udah pesen minum, Mas?”

“Belum. Lah antriannya aja bejibun gitu.”

“Hahaha. Kebetulan nih. Ada satu kopi. Awalnya sih buat teman. Eh, dianya malah nggak datang. Nggak mungkin juga ngabisin sendiri. Mas mau?”

“Beneran boleh nih?”

“Iya.”

“Thanks, ya.”

Azra pun langsung menyeruput kopi dingin itu cepat-cepat. Rasa hausnya membara oleh tumpukan manusia yang sedang berjejal menunggu pesanan diskon besar-besaran. Pemuda tersebut tercengang. Ia mengerjap sejenak. Kedua alisnya terangkat menatap minuman yang sudah ditandaskan setengah gelas.

“Ini kopi alpukat?”

“Iya, Mas. Kesukaan Viona juga sebenarnya.”

“Lah terus kok dikasih ke aku?”

“Soalnya yang ini kopi susu gula aren. Paling favorit, Mas,” ungkap Viona menaikkan gelasnya sebentar sambil memiringkan kepalanya.

“Lah kenapa pesan dua kopi yang disukai? Temanmu suka alpukat juga?”

“Nggak sih. Dia tadi nitip dipesankan duluan. Terserah katanya. Karena bingung, ya, udah itu aja. Memangnya kenapa, Mas? Kopinya nggak enak, ya?”

“Bukan, bukan gitu. Soalnya, kopi alpukat itu favoritku.”

“Wah. Bisa gitu, ya? Hahahaha.”

“Entahlah. Kalau boleh tau, emang kenapa suka banget sama kafe ini?”

“Dulu Kakak Yogi pernah bekerja di sini.”

“Dulu? O, saudaramu pindah kerja, ya? Karena udah nikah?”

“Iya, sudah menikah dengan kematian.”

“Eh?! Sorry, sorry, nggak bermaksud.”

“Nggak apa kok. Masnya sendiri, ke sini karena diskonan?”

“Karena daya tarik pajangan sticky notes, tapi yang utama, ya, cari diskonan juga.”

Dari situ, mereka pun sering bertemu. Azra pun menjadikan Kafe Kenangan bagaikan basecamp seperti Viona. Namun, mereka tak sadar ada sepasang mata yang terus menatap iri. Hatinya rapuh bagai tidak punya kesempatan. Setiap kali memandang kebersamaan Viona dan Azra, ia juga ingin ikut meraih. Sayanganya, ia tahu kalau kehadirannya sebatas figuran.

“Lama juga, ya? Tahun 2016 kenal, awal 2019 lost contact, akhir 2020 ketemu lagi,” jelas Azra terkekeh sembari memainkan sedotan hitam.

Viona tersenyum senang sambil menopang dagu dengan punggung tangan kirinya. Kali ini, kafe lengang. Serasa istimewa untuk dua sejoli itu. Tiba-tiba ada suara memanggilnya. Viona mengernyit, kemudian menatap ke depan.

“Halo, Mbak Viona? Mbak? Halo?” sapa pemuda di hadapannya sambil melambai-lambai di depan mata Viona.

Siku terjatuh dari tepi meja. Viona mengerjap. Sedikit linglung. Bergeming sejenak. Dirinya mencoba memroses apa yang baru saja terjadi. Netranya menyisir seluruh ruangan termasuk seseorang di depannya itu.

“Eh, Mbak nggak apa-apa? Saya ngagetin, ya? Maaf, Mbak.”

“Nggak apa-apa kok. Santai aja. Duduk, Mas.”

“O, boleh? Makasih. Ini pesanan french fries-nya. Maaf, Mbak Viona ngelamunin apa, ya? Kok saya panggil nggak nyahut-nyahut? Lama banget, lho, sampai nggak diminum cappuccino-nya,” tanya lelaki bercelemek cokelat yang melihat secangkir kopi tak tersentuh, tak bergeser, atau diseruput barang sedikit pun.

“Astaga! Saking apanya aku, Ya Allah?” batin Viona menepuk jidat menyadari sesuatu.

Ternyata selama beberapa menit ke belakang tadi, ia hidup dalam imajinasi yang diciptakannya sendiri. Apa yang terjadi bukanlah kenyataan, tetapi khayalan yang dimunculkan oleh alam bawah sadarnya. Keinginan dan harapan yang terus mengembang. Berbuah suatu peristiwa yang cuma ada di dalam pikirannya.

“Maaf, maaf, saya sedang tidak fokus. Maaf, Mas. Bukan bermaksud apa-apa. Takutnya mubazir, Mas mau kopinya?” tawar Viona memegang pelipisnya.

“Ehm … yakin, Mbak? Baiklah saya minum.”

“Iya. Maaf, ya, Mas.”

“Saya nggak nyangka, Mbak balik lagi ke sini. Sudah lama, ya?”

“Lho, Mas tahu saya sering ke sini? Ya, kira-kira sudah mau dua tahun sih.”

“Saya barista tetap di sini, Mbak. Sering shift awal. Ehm … maaf kalau lancang. Tumben Mbak pesan kopi yang nggak biasanya?”

“Rupanya ingat toh dengan kopi favorit saya saking seringnya ke mari, hehe. Sekali lagi maaf, ya, Mas. Soalnya saya enggan maksa apa yang nggak mau saya minum. Saya nggak sadar pesan itu tadi. Beneran, Mas.”

“Lalu, apa yang membawa Mbak ke mari sampai tak sadar pesan cappuccino?”

“Ya sebenarnya ….”

“Merasa rindu akibat rentang yang menjauhkan. Ingin dekat, tetapi tetap teguh memegang prinsip. Sesak kala jumpa tiada terbayar. Harapan jadi berdebar, apakah ia akan datang kembali? Begitukah kira-kira?”

“Waduh, jadi puitis nih. Mas lagi mengalami, ya?” canda Viona tersenyum tipis.

“Hehe. Iya, Mbak.”

“Lho. Beneran. Gimana tuh, Mas? Saya jadi kepo. Kalau boleh tau aja sih.”

“Wanita itu sudah saya sukai sejak pertama kali melihatnya ketika ada lowongan dibuka karena staf kafe ini berkurang seorang. Sayangnya, baru sekali saya berani menyapanya. Sempat mengira tak akan berjumpa lagi. Namun, Allah mendatangkannya kembali. Sayang, hatinya belum berubah. Ia masih mencintai orang lain. Saya? Hanya bayang-bayang di antara romansa mereka yang dilumuri aroma kafein.”

“O, maaf, ya, Mas. Duh ngerasa nggak enak banget. Jadi sedih-sedih gini.”

“Nggak, Mbak. Saya malah makasih udah mau nampung cerita nggak jelas ini.”

Viona menggeleng. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal karena sungkan. Kemudian Devo teringat dengan sticky note yang dikantonginya.

“O, ini, Mbak. Barangkali mau nulis quotes lagi.”

“Iya, Mas. Kalau saya tambahin nggak apa-apa?”

“Nggak apa-apa dong, Mbak.”

Muslimah itu mengambilnya. Lalu menuliskan sesuatu di sana penuh penghayatan. Devo memandang gerakan tangan itu. Sangat emosional. Setelah selesai, Viona memasukkan sebuah surat dalam amplop yang sudah disiapkannya jauh-jauh hari. Ia pun langsung menyerahkan catatannya dan beranjak pergi.

“Terima kasih, Mas. O, iya, ehm… mau nitip surat itu juga, tapi…”

“Dengan senang hati, Mbak. Surat untuk seseorang, kan? Boleh banget kalau mau nitip. InsyaaAllah akan saya jaga, meskipun lima tahun terlewat.”

“Kenapa aku jadi kepikiran cerita barista itu, ya?” batin Viona ketika sudah naik ke sepeda motornya.

Ia menoleh ke pintu kafe. Barista itu masih berdiri di sana. Dengan senyuman paling tenang. Namun, layaknya netra tersebut menyimpan sesak yang hampir tak terlihat. Devo mengangguk. Tersenyum tipis sekali. Ia berbalik menjauh untuk memasang notes baru hari itu. Viona mengerutkan dahi. Ketika berada di lampu merah yang berjarak lima kilometer dari kafe, ia tercengang akibat menyadari sesuatu.

***

Kafe Kenangan | Senin, 04 Januari 2021

Pintu kafe terbuka. Devo mendongak. Seorang pelanggan yang tidak asing datang. Wajah itu dinilai berubah. Kini ada cambang yang menghias di dagunya. Ketika pria di hadapannya membuka suara, barista tersebut terperangah karena dugaannya benar.

“Ada apa, Mas?” tanyanya melihat ke belakang, tetapi tak ada apa-apa.

“Mas lihat hantukah?” tambahnya menaikkan sebelah alis.

“Eh, bukan-bukan. Maaf saya jadi tidak fokus. Mau pesan apa, Mas?

“Kopi susu gula aren panas, satu, minum sini. Terus kopi alpukat dingin, empat, dibungkus. Terus roti keju dagingnya satu, Mas. Makan di sini. Sudah. Atas nama Azra.”

“Pesanannya nggak pernah berubah, ya, Mas?”

“Lho! Maksudnya?” tanya Azra terperanjat.

“Pelanggan yang ke sini sejak 2016-2019. Terus hilang selama … 21 bulan. Nggak pernah pesan selain kedua kopi itu.” Devo terkekeh, “Iya, jelas tahu. Saya barista tetap di sini. Hehe.”

“Kirain Mas … Devo fans berat saya selama ini,” ujar Azra menengok name tag si barista.

Mereka berdua tertawa sambil menyelesaikan pembayaran. Pria berkacamata itu mencari tempat duduk. Minuman dan makanan pun dinikmatinya dengan syahdu. Ditemani instrumen harpa di tepi pantai yang mengalun tenang melewati earphone selama 30 menit penuh. Pesanan yang dibawa ke rumah belum diberikan. Azra beranjak menuju pintu masuk guna mampir ke papan catatan hitam berelief bunga. Ia memasukkan kedua tangan ke saku jaket merah marunnya.

Netra tersebut menyusuri 12 notes yang terpilih per tahunnya. Di mana per bulan diambil satu catatan beruntung. Lalu dikumpulkan jadi satu. Dipasang di bagian paling bawah. Tujuannya dipajang selama setahun. Sebagai kenang-kenangan dan apresiasi pada pelanggan yang sering berkunjung. Devo mendekat untuk memberikan kopi alpukat Azra. Padangannya tak beralih dari pria tersebut dan Devo menarik sudut bibir kanannya.

“Mas, nanya. Kok ada tiga belas, ya?” telisik Azra melambai serta menyipit seraya membungkuk mengamati dua notes yang ditempel menumpuk.

“Memang sengaja menulis dua pesan. Takdir memang seunik itu, ya, Mas. Ia sangat rindu dengan Mas Azra.” Senyum Devo mengembang, tetapi matanya memandang turun.

“Maksudnya?”

“Iya, dia yang selama tiga tahun bersama Mas Azra di kafe ini.”

Notes pertama. Meski jarak membuat kita terpisah, tetapi tali doa tak kulepas. Notes kedua. Maaf, mungkin cara berpisah kita tak masuk nalarmu, tetapi keputusan tersebut adalah hal terbaik untuk kita berdua.

“Mas, ini ada surat darinya. Dua bulan yang lalu sempat dititipkan ke saya. Awalnya, pas mau pulang dia nyuruh saya membuang surat ini, tapi tidak jadi. Dia pesimis kalau Mas nggak bakal datang lagi ke sini. Katanya sih begitu.”

Azra menerima amplop berwarna hitam tersebut. Ditelitinya gambar di situ. Nampak dua orang yang duduk di balik dinding kaca kafe. Goresan yang terpampang adalah gambaran manual. Dibubuhi sebuah inisial di bawahnya, yaitu AMV. Azra pun membuka surat itu. Terdapat namanya di awal tulisan.

Mas Azra,

Saat aku menulis ini, aroma kafein bertabur memenuhiku. Membawa sejuta memori yang telah lalu. Aku dengan kopi susu gula aren kesukaanku. Kamu dengan kopi alpukatmu. Kita bercengkerama hangat di sana. Bertemu kembali setelah sekian waktu terlewat. Kemudian aku disentak realita, bahwa semua yang terjadi hanyalah sebuah imajinasi. Kejadian itu sekadar ciptaan dari pikiranku sendiri.

Bayanganmu memudar. Pertemuan kita setelahnya tiada. Aku pun harus menerima fakta. Saatnya sadar. Hari setelahnya tak pernah ada. Ditemani secangkir cappuccino yang tak pernah tersentuh. Aku harap kita bertemu lagi, meskipun hanya di antara para bait ini. Jujur, aku pun tak yakin dengan keyakinan tersebut.

Mungkin kamu pikir aku ingin mengakhirinya. Tidak sama sekali. Sungguh. Akan tetapi, hidup memang pilihan. Terdapat sisi gelap dan terang. Tidak bisa bila mencampur haq dengan yang bathil. Kuambil tindakan menjauhi sebagai wujud kecintaanku pada Rabb-ku. Aku hanya takut kalau keakraban kita yang semakin dekat hanya menciptakan murka-Nya.

Hubungan di luar pernikahan adalah keburukan. Aku tidak mau kalau kita melangkah ke level selanjutnya. Apalagi level teratas. Mengerikan. Kita adalah manusia normal. Sama-sama masih terpikat dengan lawan jenis. Maka dari itu, aku takut … kalau … berbuat sesuatu yang akan kita sesali akhirnya, baik di dunia maupun di akhirat. Kuharap kamu mengerti suatu saat nanti, Mas. Viona sangat minta maaf.

- AMV -

Senin, 16 November 2020.

“Kalau boleh tau, lambang AMV yang ada di amplop itu artinya apa, Mas?” celetuk Devo menenteng minuman yang mulai mencair es batunya.

“Azra Meet Viona.” Netra pria bercambang itu ikut turun.

Devo mengulurkan pesanan pelanggannya di sore itu. Langit sama jingganya. Persis kala Viona yang datang kurang dari dua bulan lalu. Papan hitam berelief bunga tersebut telah mempertemukan mereka melalui kumpulan bait. Menaur melodi rindu dalam kata. Azra menghela napas berat dan menyadari sesuatu.

“Mas Devo sengaja memasang ini, ya? Kalau dipikir-pikir ini semua nggak mungkin kebetulan aja. Ya tentu saja takdir, tapi pasti ada campur tangan manusia. Kok sampai Mas Devo bener-bener inget nama dan hampir semua sejarah kami.”

Sebatas senyuman menjadi jawaban. Devo menaikkan bahu. Bibirnya dikulum. Ia pun mengerling dan menghela napas. Hatinya terusik ditatap lama oleh Azra.

“Ya, saya sengaja yang memilih quotes-nya di saat teman barista yang lain mengajukan quotes favoritnya masing-masing. Sengaja juga mengingat nama kalian berdua dan tahun-tahun terpenting karena saya….”

“Rindu dengannya? Berarti Mas Devo ini s.…”

“Iya, betul, Mas Azra. Bagi saya, sebatas menyapa dan berbincang sejenak saja sudah cukup. Meski secuil harapan itu pasti ada. Ini saatnya bagi saya benar-benar melepasnya. Meskipun lima tahun tertambat, nyatanya ia kembali dengan sepotong hati yang sama.”

Barista tersebut hanya ingin melihat wanita yang dicintainya kembali tersenyum bahagia. Terlepas dari lamunan imajinasi yang melingkupi Viona kala itu. Selama bertahun-tahun cuma menjadi pengamat setia. Figuran di belakang mereka.

Menyapa sebentar membuat ia paham bahwa tidak ada ruang baginya untuk masuk. Ditoleh saja tidak, apalagi disadari. Devo memeluk bahu Azra. Mereka sama-sama mengulas senyum menatap papan hitam. Ia pun beringsut perlahan.

“Jemputlah ia dengan cara terbaik-Nya, Mas. InsyaaAllah, kalau Allah ridho, pasti semuanya terlaksana dengan lancar. Terus berjuang dalam kebaikan selagi masih diberi kesempatan oleh Allah, Mas. Semangat!”

Devo membuka pintu masuk. Azra bergeming sejenak, lalu memasukkan surat ke dalam amplop dan ditaruh ke sakunya. Ia berjalan meninggalkan kafe. Sesampainya di depan motor sendiri, ia berbalik menatap Devo yang sedang melayani pembeli lainnya. Menyadari tengah dipandang, Devo menoleh. Ia memberi anggukan dengan senyuman tipis. Kemudian Azra mengambil napas dan membalas senyuman Devo. 

"Jemput dia!" pinta Azra dengan gerakan bibir tanpa suara dan mengangkat tangan kirinya. 

Telunjuk itu menunjuk sebuah cincin perak yang melingkar manis di jari manis.  Azra pun pulang setelah menyelesaikan pertemuan yang hanya menjadi kenangan dan khayalan. 

***

Diketik tanggal 19 Oktober 2020 dan sudah pernah diikutsertakan dalam lomba. Jadi mohon seluruh karya di blogspot ini tidak diplagiat. Terima kasih banyak. 🙏🏻

 

 

 

 

 

 

 

 

Bionarasi

Mahasiswi psikologi dengan nama panggilan M3 kelahiran 2001. Apabila ingin berdonasi, membeli craft lettering, membeli buku KMO Publishing, atau membaca tulisannya, silakan ke https://taplink.cc/mgcusing/ ya. M3 dengan empat teman lainnya juga membuka forum curhat lho. Yuk mengunjungi tautan tersebut dan klik Prayitna Atma untuk menyalurkan emosi secara tepat.

 

7 komentar:

  1. kita tidak boleh berhubungan dengan seseorang diluar pernikahan yang sah, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai dan tidak meridho dengan hubungan itu

    BalasHapus
  2. Awwwww..
    Sangat menikmati ketika membaca,makasih mba sarannya unutuk membaca cerpen ini,walaupun rada sad ending
    Literlyy baguss poll,cocok.untuk di film kan,btw sya jadi pengen kopi alpukat,tp ini sy membayangkan di steak and bowl
    ~Geraldien

    BalasHapus
  3. Aku yakin jika 2 orang sudah di takdirkan untuk bersama, maka dari sudut bumi manapun mereka berasal pastilah mereka akan bertemu di titik terbaik menurut takdir.

    BalasHapus
  4. Davo membukakan pintu kopi kenangan untuk azra. Lambang dari AMV yang arti nya Azra meet Viona.tahun 2016 kenal, awal 2019lost contact,akhir 2020 ketemu lagi.Nasya R.A

    BalasHapus
  5. Kita tidak boleh berhubungan dengan orang yang bukan mahram nya. Karena hal tersebut hanya menciptakan murka-Nya. Dan juga tidak ada solusi yang lebih baik bagi 2 insan yang saling mencintai dibandingkan pernikahan.
    ~Hayyu

    BalasHapus
  6. Rifdah :
    Lebih baik kehilangan cinta seseorang daripada kehilangan Allah hanya karena cinta seseorang

    BalasHapus
  7. MasyaAllah ... tulisan Kakak memang juwara banget! Terbawa cerita. Bagusssssss bangettttt!

    BalasHapus