Sabtu, 25 Juli 2020

Rintik Ego 2 (Cermin dalam Buku Potongan Benang)



Penulis: M M M

Rumah kali ini terasa pengap. Kusam nan berdebu. Dikiranya merupakan harfiah, tetapi ungkap kiasan. Hari ini Wildan mengunjungi rumahnya untuk kesekian kali. Memang hari ini adalah ulang tahunnya.

“Hai, Fina.”

“Ha.. Hai.”

“Kenapa gugup gitu?”

“Enggak kok. Masuk dan duduklah.”

Pemuda berjaket marun dengan kaos biru itu masuk sambil menenteng paper bag-nya. Kado untuk Fina diletakkan di samping sofa vintage yang didudukinya.

“Bentar ya, aku ke dalam dulu ambil minum.”

“Siap. Makasih, Fin.”

Keringat dingin mengalir di pelipis. Matanya mengerling sambil membulat. Tangan dan kakinya bergetar. Tidak biasanya ia seperti itu. Tidak setelah mendapat lentera yang membantunya terlepas dari jurang kegelapan. Sebuah nampan cokelat dibawanya. Di atas kayu itu terdapat dua gelas jus jeruk dan duabpiring kecil berisi makanan ringan.

“Wah udah disiapin ya. Makasih banyak lho, Fin.”

“I.. iya..”

“Eh, tunggu. Ada yang beda. Kamu sekarang udah pake kerudung ya?”

“Betul, Wil, ” sahut Fina tersenyum sampai bola matanya tak terlihat

“Kamu cantik tahu kalau rambutnya digerai.”

“Eh?!” seketika mata Fina terbuka dan lengkungan bibirnya turun

“Beneran. Apalagi kalau dikelabang samping kanan-kiri terus diiket ke belakang. Tambah manis.”

“…..”

“Ah, iya. Hampir lupa. Ini kado untukmu.”

“Terima kasih.”

“Kamu duduk dong. Dongak mulu kan ga enak ngeliatnya. Leherku sakit.”

“.....” tak bicara hanya dua anggukan sebagai tanda iya

“Tumben dudukmu di seberangku?”

“Kamu yang biasanya duduk sengaja di sampingku tanpa aku minta.”

“Eh, iya ya. Haha. Kan emang kita pacaran.”

“Wil, cukup. Kita ga pernah pacaran. Bahkan aku tak pernah memberitahu perasaanku yang sesungguhnya kepadamu. Bagaimana bisa satu tahun ini kedekatan kita membuatmu bisa berpikiran seperti itu?”

“Tapi bukannya kamu sudah menanyai perasaanku dan jika sikapmu waktu itu diam maka artinya iya?”

“Iya, bukan berarti aku membalas perasaanmu dan diam tak selalu iya. Maaf, aku rasa mari komunikasi ini kita kurangi ya, Wil.”

“….”

“Bukan bermaksud tak ingin berteman lagi. Namun, jalan benar inilah yang harus ditempuh demi kemaslahatan bersama.”

“Ya, aku tahu bahwa aku hanya pengagum yang belum bisa memenuhi semua kriteriamu. Ya, aku sadar, tapi apa salah aku menganggap kedekatan kita ini sebagai status pacaran? Apa kamu tak menyukaiku?”

“Ironi. Maafkan aku yang sudah kelewatan.”

Wildan diam dan langsung berdiri. Fina mengira laki-laki di depannya itu akan segera mengangkat kaki dari rumahnya. Ternyata tidak.

“Kamu mau apa, Wil?” tanya Fina ikut berdiri sambil bergetar tatkala Wildan mendekat

Masih tidak berbicara ia semakin mendekat dan Fina terus menyamping sampai membelakangi dinding kaca di sebelah pintu masuk rumahnya.

“Kamu mau apa, Wil?”

“Bicaralah, Wil!”

“Kamu membuatku takut.”

Tepat ketika Fina menutup mata, Wildan melakukan kabedon padanya. Mata gadis berkerudung segi empat itu terbuka dan membulat. Keringat dingin semakin membasahi pelipisnya. Kedua tangan saling bertautan di depan dadanya. Kakinya bergetar. Jantungnya berdegup dengan ritme tak tentu.

“Apa Wildan ingin melakukan kekerasan padaku?”
“Laa haula walaa quwwata illah billah. Ya Allah lindungi hamba.”

Masih diam, Wildan menatap, Fina menutup mata lagi dan semakin ketakutan.

“Aku… salah apa?”

“Apa?” tanya Fina membuka mata melihat ke bawah 

“Aku salah apa padamu?”

"Bu, bukan! Aku yang salah. Aku sungguh minta maaf.”

“Apa aku tidak bisa singgah di hatimu?”

“Aku menyukaimu, tapi apa alasannya kamu ingin menjauh? Sebenarnya apa yang sudah aku perbuat?”

“Maaf, aku sungguh minta maaf.”

“Aku mohon jelaskan padaku.”

“Kalau itu maumu... aku yang salah karena bersandar di pundakmu, meminjam punggungmu untuk menangis, menggenggam tanganmu untuk menguatkanku, pelukan hangatmu yang pernah kurasakan ketika orang tuaku bercerai, dan segala kenyamanan yang membuatmu semakin menyukaiku. Maaf.”

“Apa maksudmu?”

“Agama kita melarang itu. Aku telah melakukan dosa dan kamu juga mendapatkannya karena aku. Meski hal itu menyenangkanku. Maafkan aku.”

“….”

“Maaf.”

Wildan melepas kedua tangannya dari dinding kaca. Tubuhnya tak bertenaga. Ia tak bisa menyanggah karena memang kurang paham pada aturan syar’i yang telah dibawa Rasul-Nya. Pemuda jangkung itu berjalan ke depan. Meninggalkan ruang tamu dan Fina di sana. Sebelum benar-benar pergi, Wildan menoleh sembilan puluh derajat ke kanan.

“Kalau masalah agama, aku tidak bisa menyangkal. Memang aku tak mengerti. Terima kasih sudah pernah membuat hariku indah meski tertepis fatamorgana. Aku akan pergi dari sini.”

“Maaf, bukan maksudku memutus silaturahmi.”

Wildan terdiam lagi. Ia berjalan menjauh. Ketika memakai helm dan menaiki sepeda motornya, lelaki itu tersenyum sendu dan mengucapkan salam.

“Cepat atau lambat, aku ingin kamu mengerti, Wil. Aku juga menyukaimu dan itu bukan fatamorgana. Aku membuat jarak karena aku mencintaimu karena Allah.”

Waktu terus berjalan. Fina tetap menjaga hatinya pada Wildan. Walau pada akhirnya, pemuda itu beralih hati. Berpindah haluan menyukai perempuan yang paling populer di sekolah mereka. 

Berat, tidak terbiasa, merasa kehilangan dan ingin kembali. Namun, ia tak ingin menggadaikan iman dan logikanya dengan ego (nafsu) yang menghancurkan. 

Fina yakin kalau suatu saat, orang yang disukainya akan paham mengapa ia memilih jalan ini. Jalur yang awalnya menyakitkan, tetapi berakhir menenangkan. Senyuman dan rapalan permohonan terus dihaturkan bagi pemuda yang pernah mengisi hari-harinya. 

Gadis itu telah mengurangi kadarnya demi meraih cinta-Nya. 

***

0 komentar:

Posting Komentar