Sabtu, 25 Juli 2020

Permen (Cermin)


PERMEN
Oleh: M3

Jalanan lengang. Sengat matahari membakar kulit. Masa liburan belum berakhir. Sayangnya, rentang memisahkan. Jendela dibuka lebar-lebar. Menatap pohon yang menjulang tinggi. Dedaunan menari. Memang angin sedang menyapa, tetapi udara panas tetap terasa.

Di penghujung sana, gadis berbulu mata lentik itu sering menelepon sebelum liburan semester dimulai. Walau hanya untuk menghabiskan bonus pulsa, Yohan tetap suka. Entah semringah macam apa yang tengah meradang kala itu. Sampai di satu titik senyum itu memudar.

“Apakah…” matanya menatap dengan layu ke bawah

***

Waktu itu Yohan mengantar Aliya ke stasiun untuk pulang ke kampung halaman setelah bertempat tinggal di kost selama 6 bulan. Kereta tiba sekitar 50 menit menit lagi. Mereka berdua memasuki area parkir. Lalu turun di sisi barat menuju loket. Berjalan beriringan dalam senyap di bawah rintik gerimis. 

Selembar karcis Kereta Dhoho Penataran siap diperiksa sebelum memasuki peron. Sambil menunggu, mereka bercengkrama seperti biasa. Bercerita banyak hal bahkan sesi curhat yang masih banyak dibumbui ungkap kiasan. 

“Aku ingin mengatakannya padamu, Al.” batinnya sambil menatap gadis pujaannya

“Kak? Kak Yohan kenapa menatap Aliya lama begitu? Ada sesuatu ya di wajah Aliya?” tanyanya mengonfirmasi setelah menggigit sebatang cokelat untuk mengganjal perut

Yohan mengerjap. 

“Ga jadi deh.”

“Lho. Ada apa? Kakak kebiasaan ya bikin Aliya penasaran. Ya udah, pulang sana.”

“Ih, pake ngusir. Jahat banget.”

“Habisnya sih bikin sebel.”

“Ya udah, jadi. Ini sharing aja ya. Kamu pernah ga sih suka seseorang atau nolak gitu?”

“Ha? Tumben banget. Kakak lagi suka seseorang ya? Terus mau minta pandangan Aliya. Kan, kan? Halah bilang aja.”

Mikro ekspresi muncul. Kedua alis Yohan naik beserta mata yang membulat. Ia terkejut bukan main adik tingkatnya ini memiliki sisi peka yang luar biasa. Langsung ia ubah mimik wajahnya menjadi datar. Sayangnya, hatinya masih ragu untuk mengungkap rasa karena takut bila Aliya akan menjauh.

“Iya deh iya. Ngaku.”

“Aliya cewek normal kok. Pernah suka seseorang, nolak juga sering, bahkan pernah nembak. Hahahah dasar bucin, budak cinta.”

“Terus, terus?”

“Ya pokoknya kakak jangan agresif, tapi ya jangan diem juga dong. Biasa aja. Cewek emang suka banget dikejar. Padahal yang ngejar ya capek. Aliya pikir sih tergantung karakter ceweknya gimana. O, sama prinsip yang dipegang. Kalau salah langkah ya bahaya. Bisa langsung dijebloskan ke kotak blacklist, haha.”

“Aduh, berat juga ya.”

“Eh, kak. Tolong dong temenin ke toilet.”

“Eh?! Astaghfirullah. Mau ngapain?” tanya Yohan terperangah mengerjapkan mata

“Ih! Apaan sih? Aliya kebelet nih. Udah, buruan, Kak. Jagain tas Aliya agih.”

Aliya langsung memasukkan sisa cokelat ke saku kiri. Lalu menyandarkan tas ke bahu kanan, sedangkan Yohan mengikuti dari belakang tanpa menolak. Napasnya memburu, jantungnya terpompa kencang. 

Dari belakang Aliya terlihat sangat anggun. Bukan fisik yang menjadikan lelaki berkacamata itu kagum padanya. Akan tetapi, karakter kuat dan dewasa yang ditunjukkan Aliya mampu menyihir Yohan. Membuat pemuda itu sangat terpesona.

“Aliya! Suka seseorang harus menikahinya kan? Kalau belum siap gimana?”

“Tinggalkan dan ikhlaskan atau puasa menahan godaan sambil memperbaiki diri dalam penantian. Udah ah, Kak. Ga tahan.”

Langsung ia melempar tas beratnya ke Yohan dan berlari kecil ke kamar mandi. Beruntungnya di sisi depan toilet laki-laki dan perempuan ada pembatas dan kursi. Ia pun bisa menjadikan dinding itu untuk bersandar. 

Sambil menunggu, Yohan membuka galeri. Di sana ada foto ketika berkumpul dalam satu organisasi kampus. Ada Aliya di sana dengan balutan kerudung menutup dada tanpa disampirkan ke kanan-kiri. Dibubuhi gamis pastel longgar yang indah. Yohan semakin berdecak kagum sampai ada teriakan kecil di telinga kiri yang menyadarkannya.

“Hayo. Ngapain?”

“Lihat-lihat foto.”

“Yah, kirain stalker doi. Padahal Aliya penasaran.”

“Kamu ini habis mandi?”

“Nggak dong. Ga mungkin cewek mandi di bawah sepuluh menit kecuali bangun telat."

“Terus kok wajahmu basah semua? Makan permen lagi sampe merah semua tuh bibir. Padahal baru dari kamar mandi. Ih!"

“Habis wudhu. Suka-suka hati dong.” jawab Aliya memayunkan bibir dan mengerlingkan mata

Yohan berdiri dan meringis gemas menimbulkan suara desis melihat tingkah Aliya. Entah kerasukan apa, tiba-tiba ia genggam tangan kanan adik tingkatnya. Lalu mendorong kepala Aliya mendekat ke wajahnya. Lelaki itu langsung mencium bibir Aliya yang masih menyisakan bekas cairan gula-gula. Permen yang digenggam gadis itu pun langsung jatuh ke lantai. Matanya melotot tak percaya akan apa yang dilakukan kakak tingkatnya.

Langsung ia mendorong Yohan sampai menghantam dinding pembatas. Napas mereka sama-sama memburu dengan mata yang juga terperangah. Bertepatan dengan itu, pengumuman Kereta Api Dhoho Penataran telah terdengar dan para penumpang pun bergegas menuju peron. Tanpa pikir panjang, Aliya mengambil tas yang ada di kursi sebelah Yohan sambil meneteskan air mata yang tak dapat ditahannya.

Kini hatinya keruh. Langkahnya dipercepat. Hidung dan mata mulai memerah. Kepalan tangan kiri begitu kuat hingga tampak uratnya. Kening mengerut. Wajahnya jadi tak sedap dipandang. Kerongkongan tercekat. Rahang mengeras. Emosi kecewa, takut, berdosa, kotor dan marah menjadi satu. Ia seka air matanya secepat mungkin menuju pintu masuk. 

Yohan menjulurkan tangan ingin langsung meminta maaf. Namun, pikirannya mengatakan jika mengejar, ia takut Aliya akan muntab dan berteriak. Ia urungkan menggenggam lengan untuk mencegah kepulangan gadis yang dikaguminya. 

Tubuhnya merinding, tangannya bergetar, jemarinya menyisir rambut dengan kasar, teriakan buruk dilontarkan di dalam toilet laki-laki. Kakinya menendang dinding berulang kali. Rahangnya mengeras sampai urat leher terlihat dan lehernya merah padam. 

“Bodoh! Bodoh! Kau barusan melakukan apa sih?! Dasar bodoh! Sudah gila kau Yohan?” rutuknya pada diri sendiri sambil menghantamkan tangan ke pintu toilet

Aliya tak kuasa menahan gemetar yang menghantam tubuhnya. Bagai ternodai oleh orang yang dipercaya. Membuatnya ingin menangis lagi. Ia malu ditatap orang-orang, akhirnya saat sudah duduk sesuai nomor yang tertera di karcis, kerudung yang digunakan ia tarik ke depan agar tak ada pertanyaan. 

Tentu saja yang paling menghunjam jantungnya ialah malu pada Allah. Malu pada Nabinya. Malu pada orang tuanya yang sudah memperingatkan bahwa Rasulullah mengajarkan betapa pentingnya menjaga pergaulan dengan ketat.

“Astaghfirullah. Laa haula walaa quwwata illaa billah.” lirihnya dalam isak tangis

Dada sangat sesak. Mencoba bersuara pun rasanya berat sekali. Netra tak sanggup menahan lagi. Gigi meringis atas afeksi yang menyayat hati. Kedua alis teru tertaut menahan gemetar dari napas yang sulit direngkuh. 

Sejak saat itu, Aliya tak pernah menghubungi Yohan lagi. Seluruh kontak maupun akun sosial media tak dapat dihubungi pemuda jangkung tersebut. Rasa bersalah menghantui setiap mimpi-mimpi Yohan. Selama liburan tidak ada yang ia pikirkan selain kenangan bersama Aliya dan dosa yang telah ia perbuat terhadap mereka berdua. 

“Dosa yang telah kuperbuat adalah penutup pintu hatimu padaku.” jarinya memegang kening dan membuang napas kasar

“Apakah… Apakah jika waktu dapat diputar kembali, aku dapat memperjuangkanmu sesuai syariat-Nya? Maafkan aku, Al. Aku sangat menyesal.” sorot matanya sendu

***

0 komentar:

Posting Komentar