Sabtu, 25 Juli 2020

Bunga di Ujung Sana (Bait)



Butiran kerlip memanjang di setiap jalan biru gelap. Jiwa terbesar masih terbuka. Deru tak terlihat menyapa kelopak dengan lembut. Membawa kejut sengatan pada batangnya. Tongkat bergumul dengan petir. Lagi. 

Menerima tiap-tiap daun yang mendeklarasikan dera jarum membuat sel neuron mendapat semburat. Denyar tali langsung menari keluar di antara ruang hampa. Terpekur oleh sergahan kilat yang sering datang pada batangnua.

Selalu mengernyit untuk mencari pintu putih. Selalu kebat-kebit dan merasa gamang. Tahu bahwa batang sudah banyak memiliki goresan. Tangkainya mulai layu. Tongkatnya sudah menguarkan serpihan lembut nan halus. 

Namun, jiwa terbesar harus tetap bergerak. Meski goresan ini menamparnya berkali-kali, jangan sampai menjadikan lupa terhadap harumnya taman kecil.

Semua memang memiliki titik tunduk. Akan tetapi, tetap harus kembali lagi pada kursi tertinggi. Bunga tak boleh permanen menunduk. Masih banyak bulir bening menyejukkan yang akan hadir.

Terkadang pula ingin membalas daun-daun itu dengan daun-daunku, tetapi kurasa hanya sebagai tembok yang datar. Tiada larik yang tertulis. Jadi tetap datar.

Terkadang pula kaleng ini selalu dimasuki desir-desir yang sedang menandakan saja. Denting-denting telah bergeser ke arah lebih jauh dan banyak. Tidak ada yang diindahkan dalam decak itu. 

Bersanding bersama ruas yang hanya dimasuki tanpa ada gerakan pasti. Selalu ditanda-tanyai. Itu saja. Bunga tetap ditampar para petir. Denyar tali masih mengambang. Gelegar membuat gentar dan menyulut api. Sekali lagi tidak diacuhkan dan terus memperhatikan bunga.

Jawa Timur, 22 Juni 2019
M3


0 komentar:

Posting Komentar