Senin, 22 Maret 2021

Cermin - Memeluk Sekali Lagi

Memeluk Sekali Lagi
Oleh: M3

Gambar dari Unsplash 

Lagi-lagi aku melakukan hal yang sama. Duduk di kursi panjang depan rumah susun. Menyalakan ponsel menunggu jawaban. Berulang penjelasan kucoba paparkan. Sayang sekali. Aku pun beringsut dari kursi yang aku duduki. Tersenyum masam menanti ketidakpastian. Namun, saat aku akan kembali pulang, panggilan itu menyebut namaku.

"Farhan!"

Berbalik, aku langsung berjalan cepat menghampiri. Mataku berkaca-kaca tak percaya. Diriku menghambur memelukmu. Aroma tubuh yang ternyata kini telah asing. Membawa segenap para perasaan. Meluber dalam satu tangisan yang menyesakkan dada.

"Rindu sekali!" ujarku rapat-rapat merengkuh sekali lagi. 

"Farhan! Farhan, sadarlah. Mama sudah meninggalkan kita 15 tahun yang lalu. Ini hanya jaketnya yang tertinggal saat mengunjungi kita lima tahun yang lalu," kata Kak Lulu mengguncang bahuku sedikit keras.

Ternyata aku hanya melihat sebagian dari dirinya. Mungkin jarak yang tercipta inilah yang terbaik untukku dan Mama. Keluarga baru sangat membutuhkannya. Walaupun dulu aku enggan menemui Mama, setidaknya saat ini aku rela memeluknya sekali lagi.

"Kau sudah berusaha, Farhan. Pasrahkan saja. Kemarikan jaket itu. Ini yang terbaik untuk kita, Dek."

Kak Lulu membawa sebagian dari diri Mama. Entah bagaimana kabarnya. Di bawah langit yang makin dingin, aku hanya mengingat saat ia menggandengku mengelilingi taman. Ada Papa yang menggandeng Kak Lulu. Kembali selepas membeli eskrim. 

Kami saling melempar raut senang kala itu. Sudut bibir terangkat. Mata menyipit. Tawa terdengar sangat riang. Hingga akhirnya retak pula rumah yang kuanggap sebagai tempat berpulang. Papa pun bersama keluarga barunya. Meninggalkan kami tanpa kata perpisahan. Mama menyusul dua tahun kemudian dengan ucapan selamat tinggal yang menusuk sanubari. 

"Setiap manusia punya perannya masing-masing. Coba kalau tidak begini, mungkin kita nggak akan sekuat ini. Adakalanya setelah dipisahkan, Allah menghadirkan orang lain untuk mengisi wadah yang kosong," tambah Kakak menggandengku ke ambang jalan. 

Aku cuma menyunggingkan sudut bibir sebelah kiri. Menghela napas berat. Memasukkan tangan kanan Kak Lulu ke saku agar hangat. 

"Kakak minta maaf, ya. Kerinduanmu sangat normal. Tak apa bila menangis. Teruskan. Kakak tak akan mengejek dan membuatmu menahan emosi lagi. Terima kasih sudah menjadi adik yang baik dan kuat."

Langkah kami berhenti. Kak Lulu langsung memelukku. Tubuhku gemetar. Di bawah langit yang mulai menggelap, aku memeluknya cukup lama. Kami hidup di antara. Tidak terlihat karena berada di tengah jalan sempit yang memisahkan dua rumah yang berbeda.

Sekali lagi aku memeluk jaket Mama yang didekap Kak Lulu. Bagaimanapun juga Mama telah mengandung dan merawat kami dengan susah payah. Papa pun demikian yang berupaya keras mencari nafkah dan sempat memprioritaskan kami. Walaupun rumah itu telah tiada. 

Ah, langit. Hari ini senada sekali. Gerimis turum bersama buliran yang selama ini terpendam. 

"Farhan menyayangi Kakak. Hidup itu ternyata seperti ini, ya. Kini kita benar-benar terpisah setelah Kakak menikah."

Entah kenapa respon tubuhku langsung menggenggam gamis Kakak dengan sangat kuat. Pandanganku buram. Saat mengedipkan mata, basah mulai menyebar. Di situlah aku mulai menjerit di bahunya, di pelukannya. Dulu tangisan yang sempat dilarang olehnya, sekarang boleh dikeluarkan.

Papa, Mama, Farhan sangat rindu. Tidakkah kalian ingin melihat betul sebesar apa Kak Lulu dan Farhan tumbuh sekarang ini? Setidaknya jaket Mama yang ada di antara kami ini dapat menyampaikan pelukan kami sekali lagi. 

Gambar dari Google

Papa, Mama, Farhan ingin bilang terima kasih telah mendidik Kak Lulu begitu kuat dan sabar ketika merawat Farhan. Terima kasih telah melahirkan dan menerima Farhan. Terima kasih membantu Kakak menjadi gadis yang pantas bersanding dengan lelaki terbaik pilihan-Nya. 

Padahal kami menunggu pelukan itu saat akad Kak Lulu. Sayangnya, hanya diwakilkan saudara kalian. Genggaman pada gamis Kakak kian erat. Seusai itu Kakak menghampiri suaminya, kami pun saling melambai. Berpisah. Lagi. Kini. Benar-benar. Sendiri, ya?

Setiap kedatangan dan kebersamaan pasti ada perpisahan. Entah itu ditinggalkan atau bahkan meninggalkan. Hidup itu berputar, ya? Semua akan ada fokusnya masing-masing. Jadi, untuk apa menyesali yang telah lalu? Toh, semua memang sudah waktunya. Saling mengukir kisah di lembar yang terbuka. 

"Aku akan sangat merindukanmu, Kak. Sama sebesar rinduku pada Mama dan Papa," bisikku melihat mobil yang mulai menjauh. 

***

Maret 2021

1 komentar: