Rabu, 18 November 2020

Cerita Mini - Rumah

Rumah Empat Sanggahan

Oleh: M3

  Kala itu hujan deras turun di kota. Seorang anak kecil botak memakai kaos abu lusuh. Giginya bergemeretak menahan dingin. Di saat itulah, ia melihat seseorang akan menyebrang tergesa-gesa. Sebuah mobil datang dengan kecepatan tinggi. 

 Gilang, nama bocah itu, langsung berlari mendorong paksa anak lelaki berkemeja kotak ke trotoar. Tabrakan tersebut tak dapat dihindari. Ia terlempar ke belakang. Jatuh menelungkup. Darah merembes di antara tetesan hujan. Bryan terperangah. Syok pada insiden di depannya.

  Keesokannya, masih pusing, Gilang terbangun di ruang serba putih. Tiba-tiba jantungnya berdegup lebih kencang. Matanya melotot. Ingat bahwa adiknya pasti menunggunya pulang semalaman. Belum lagi perut keroncongan yang tidak dapat diatasinya kemarin. 

 "Hei, kamu sudah bangun!" sorak Bryan terperangah senang. 

 "Aku harus pulang," kata Gilang turun dari ranjang menuju pintu. 

 "Kamu belum pulih betul, Kawan. Istirahatlah dulu." 

  "Tidak bisa." 

  Bryan mencoba menghalau, tetapi Gilang tetap memaksa pulang. Dengan berat hati, ia pun mengiyakan penyelamatnya untuk pulang dengan syarat, akan mengantarkan sampai rumah. Di perjalanan, Bryan berterima kasih kepada Gilang karena sudah menyelamat-kannya. Selain itu, ia menawarkan sesuatu pada teman barunya yang ternyata sama-sama berusia 14 tahun. 

  "Benarkah aku boleh meminta sesuatu?"

  "Tentu."

  "Apa pun itu?" 

  "Betul sekali." 

 "Aku ingin punya meja besar dari Mebel SX. Ukuran sekitar 400 x 160 x 120 cm."

 Bryan ragu, tetapi berupaya bungkam lebih dulu. Jalanan lengang karena masih disapa pagi berkabut. Gilang menyetop sopir Bryan. Di sebelah mobil, ada rumah bertingkat yang di sampingnya ada gang. Sebelahnya lagi terdapat sungai beraliran tenang. 

  "Kenapa pakaian dan jaketnya lusuh gini kalau dia orang berada?" gumam anak orang kaya itu. 

 "Bagaimana keluar dari sini?" celetuk Gilang yang awam cara membuka pintu mobil. 

 Bryan langsung membukakan. Gilang pun keluar dari kendaraan dan mengucapkan terima kasih. Namun, terlampau penasaran terhadap alasan Gilang. Sulit dibayangkan nalar ketika ada yang menerima tawaran balas budi dan cuma meminta meja.

 "Tunggu! Bolehkah aku ikut masuk ke rumahmu?"

 Bryan memutuskan ingin ikut. Gilang bergeming  sejenak. Kernyitannya menandakan sedang menimbang-nimbang. Akhirnya dia mengiyakan. Bryan mengikutinya. Ternyata lelaki cilik tersebut salah kaprah. Justru ia diajak ke kolong jembatan. Terperanjat sudah pasti. Adik Gilang pun keluar dari balik tumpukan kain yang menyelimuti meja besar. 

  "Astaga! Kukira hantu," batin Bryan setelah bulu kuduknya turun. 

  "Kakak kenapa baru pulang?" tanya gadis kecil berusia lima tahun tersebut. 

 "Nanti Kakak ajak beli makan, ya. Sabar. Soalnya masih ada 10ribu aja."

 Membaca ekspresi Bryan, Gilang pun menjelaskan. 

  "Inilah rumahku dengan empat sanggahan. Cuma terbuat dari meja yang telah lapuk. Ayahku meninggal dua tahun lalu, sedangkan Ibu menikah lagi tahun kemarin. Beliau meninggalkan kami seusai keluar dari kontrakan...

  Tak ada tanah yang bisa kami tinggali, selain kolong jembatan ini. Dengan bantuan orang-orang, meja karya terakhir ayah dari mebel SX saat itu diletakkan ke mari. Untungnya tidak curam kala menuruni tempat ini," jelas Gilang tersenyum lebar.

  Bryan terenyuh pilu.

 "Karena takut ambruk, aku pun menerima tawaranmu. Meskipun awalnya yang penting kamu selamat." 

  Bryan memeluk penyelamatnya dan mengajak mereka untuk membeli makanan. Sebagai ganti Gilang terlambat menemui adiknya. 


#15dayswritingchallenge #menulisbebassantuy #tantanganmenulis #day2MBSbatch1 #mufmunmuh #ceritamini #pictbygoogle #pictbyunsplash

0 komentar:

Posting Komentar