Rabu, 07 Oktober 2020

CERPEN - MENJAGAMU ADALAH KEWAJIBANKU

MENJAGAMU ADALAH KEWAJIBANKU

Oleh: M3


Di tepi lain, malam semakin pekat. Kerudung bergo dilepas olehnya. Lalu Ardila menjumpai tiga pria perokok. Semuanya menggenggam botol warna hijau. Satu cahaya sepeda motor diarahkan padanya. Tiba-tiba tubuhnya bergetar. Ia melangkah mundur perlahan. Dari jarak 150 meter, suara bas terdengar melesat menembus dan meruntuhkan keberaniannya. Amigdala, wilayah otak yang mengantisipasi bahaya, pun muncul.


"Mbak sendirian aja?" tanya salah satu dari mereka ketika semuanya mendekat.


"Mau gabung? Sini-sini, Mbak. Kita minum sama-sama," tambah lainnya sambil mencolek dagu Dila.


"Badannya okeh juga nih. Berisi," bisik salah satu pria bertato yang terdengar di telinga Ardila.


Perempuan berpakaian cekak itu bergeming. Tepat sekali, keluar di saat petang. Di mana setan merajalela menggerayangi otak dan hati manusia yang masih di luar rumah.


"Bodohnya dirimu, Dila!" rutuknya dalam pikiran.


"Bang Rama, tolong Dila, Bang!" batinnya menyeruak mendorong tangisan, tetapi tertahan.


Ketiga pria di hadapannya semakin mendekat. Dila mundur, sayangnya terhalang sebatang pohon besar. Salah satunya ada yang menyentuh punggung, lalu turun ke kaki Ardila. Tubuhnya gemetar. Ia meneteskan air mata ketika lelaki lainnya melempar bergo yang tadi dilepasnya Semuanya mengendurkan sabuk guna melepas ikat pinggang. Ardila teringat nasihat suaminya. Ia berselawat dan membaca ayat yang dihafal. Terpejam dan komat-kamit. Badannya jadi kaku, degup mengencang, dan isakan tertahan.


“Tolong! Tinggalkan aku!”


“Lho, kita kan mau bersenang-senang.” Semua tertawa lepas, senang emosi yang ditampilkan Dila.


Kedua tangannya diangkat sejajar telinganya. Ardila memberontak, tetapi tubuh tak mampu berbuat apa pun. Ia kalah untuk postur tubuh dengan ketiga pria itu. Lawannya berbadan kekar. Kakinya menendang-nendang, tetapi malah dibuka lebar oleh para pria berbau alkohol itu. Keringat dingin membasahi pipinya. 


Dengan sekuat tenaga ia berteriak meminta tolong. Karena hal itu, mulutnya langsung dibekap. Ardila berupaya meraung-raung, tetapi volumenya menjadi teredam oleh tangan lelaki bertindik. Lamat-lamat, terdengar langkah berlari ke arah mereka. Satu tendangan secepat kilat menyambar kepala pria yang memegang tangan Dila. Lelaki itu terhuyung, lalu limbung.


“Ternyata cukup kuat juga,” batin Rama memasang posisi kuda-kuda ketika lawannya berdiri menggeleng-gelengkan kepala.


Mereka bergulat satu lawan satu. Beruntung Rama pernah belajar tapak suci. Ia lihai menangkis dan menghantam bagian sensitif lawannya. Sebuah pukulan terakhir, tepat mengenai masa depan pria itu. Yang lainnya ikut membantu. Sayangnya, kalah telak juga. Mereka beringsut menjauh. Keahlian dasar untuk bertarung tidak ada. Jadilah semuanya mundur. Melesat menembus hutan yang kian pekat.


“Alhamdulillah. Telah aman, Dek. Ada Abang,” ujar Rama memeluk dan mengelus punggung istrinya yang gemetar hebat sambil beristighfar.


Ardila membalas pelukan suaminya dengan tangisan yang begitu keras. Pilu telinga Rama mendengarnya. Rengkuhan itu kian erat. Pria berkacamata ini merasakan debaran ketakutan dari dada kekasih halalnya.


“Dek, maafkan Abang, ya. Tadi terkesan memaksa kamu. Maaf kalau bahasa Abang salah. Namun, alasan Abang cerewet agar kamu berhijab itu, karena menjagamu adalah kewajiban Abang. Kamu sudah memilih Abang jadi pemimpinmu.


Maka, Abang harus menunaikan amanah menjadi imam. Gunanya untuk menjaga keluarga kita supaya terhindar dari siksa api neraka, Dek. Maaf, ya, Abang belum bisa jadi yang terbaik untukmu. Hampir saja Abang tidak bisa menjagamu.”


“Justru Dila yang minta maaf, Bang. Selama ini Dila bebal. Harusnya Dila menuruti Bang Rama. Ternyata betul, aurat yang terbuka bisa membahayakan keselamatan Adek.”


Mereka pun kembali ke tenda. Tak lupa Dila memasang kerudung bergonya. Seusai insiden tadi, Rama menerangkan mana saja yang menjadi aurat, kecuali wajah dan telapak tangan. Kaki pun termasuk bagian yang tak boleh dilihatkan kepada non mahram. Seminggu kemudian, Dila pun izin untuk ikut kajian setelah dua tahun menikah. 


Kini, pakaiannya telah berubah jadi gamis, kerudung menutup dada, dan memakai kaos kaki. Hatinya terasa lapang dan lebih merdeka. Lelaki muslim tersebut tersenyum lebar. Dadanya dibanjiri kebahagiaan. Ketika pulang, ia menemukan totebag Dila menggemuk, padahal tadi trepes sewaktu video call dengannya. Rama mengernyit.


“Apa itu di dalam tasmu, Dek?”


“Anu.”


“Kebiasaan ih!”


“Udah ih, Ayo masuk dulu, Bang.” Dila berbalik membuka pintu, mendahului suaminya masuk ke rumah.


“Apa sih?”


Dila mengeluarkan kotak kado sedang berwarna magenta. Dengan mengulum bibir, ia ulurkan benda itu ke Rama.


“Mau nge-prank, ya?”


“Buka dulu, kenapa? Itu kado buat Abang. Tadi nganu di sekitar masjid. Ya, sekalian langsung aja. Hehe.”


Tatapan selidik ditunjukkan. Hati-hati, lelaki itu membukanya. Sebuah test pack ada di situ. Ditambah terpampangnya dua garis merah pekat.


“Allahu Akbar. Alhamdulillah.”


“Abang sabar banget menasihati Dila. Terus berjuang buat Dila. Jadi, ini kado terima kasih.”


“Terima kasih sudah mau berhijab. Terima kasih juga Allah telah menjadikanmu sebagai tempat anak kita tumbuh. Terima kasih telah berusaha menjaga mata lelaki –di mana merupakan kelemahan kami– di luar sana.” Rama pun memeluk istrinya.


“Bukan, Bang. Harusnya Dila yang terima kasih. Ini berkah double dari Allah. Alhamdulillah.”


Mata mereka jadi memerah karena haru. Akhirnya Ardila mau menerima hidayah. Keduanya pun mendapat hadiah dari-Nya berupa segera menjadi orang tua.



Foto dari Friska N. A.
dibuka krisar (kritik dan saran), kalau bisa bantai aja yang sadis. tempat ini buat belajar sih, jadi sokkan komentar Anda di bawah ini. wkwkwk. 

0 komentar:

Posting Komentar