Selasa, 22 September 2020

Cermin - Badai Melodi

 

BADAI MELODI
Oleh: M3

Tiap senarnya mengandung magis yang menghipnotis. Setiap hujan turun, melodi bermesraan dengan Rey. Perempuan berparas sendu dengan rambut biru dongker. Kesukaannya selain terhadap biola, juga pada musim gugur. Di mana dedaunan mulai runtuh.

Setiap berlatih, ada pancaran yang timbul mengalir. Entah bentukan kota, taman, angkasa, semesta, bahkan partitur nada. Beberapa kali ia berhasil menghibur temannya. Hanya dengan senar biola yang mengalun halus. Menyebar ke pendengar dan merasuk ke kalbu.

"Thanks, Rey. Sekarang aku sudah baikan. Really Amazing! Bagaikan aku menari di antara dedaunan saat musim gugur. Kau pasti akan jadi pemusik yang handal!" pekik Kayra menepuk pundaknya menyunggingkan keceriaan. 

Gadis berusia 15 tahun itu membalas dengan senyum tipis. Ia cuma menghela napas karena banyak yang tak tahu. Bila hatinya sedang sedih atau marah, hujan mendera bumi. Di situlah bencana terjadi. Entah berskala kecil atau lebih.

Musiknya bisa membuat petir lebih menggelegar dari biasanya. Badai topan pun pernah terjadi kala ia memendam amarah. Di mana ia salurkan melalui nada-nada biola. Bahkan pernah suatu hari, terjadi kecelakaan mobil beberapa detik sebelum biolanya selesai dimainkan.

"Aku penghancur jagat raya. Candu nada ini tak dapat berhenti. Bagai merangsek pilu dalam relung. Aku harus menghentikan melodi ini! Kalau tidak aku adalah orang berbahaya bagia yang lain!" jerit Rey pada ketidak-stabilan emosinya sambil menjambak rambut dan meringis marah pada diri sendiri. 

Di sisi fakta kehidupan. Beberapa lama kemudian. Musim gugur yang disukai datang, tetapi justru mengukir luka. Rey sangat kesal dengan hukum yang berlaku. Tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Padahal ia benar-benar mengalami pelecehan. Semua yang ada di dalam persidangan malah berpacu membela terdakwa.

"Tuan Hakim yang budiman, tolong! Aku punya permintaan sebelum sidang ditutup. Sebelum Anda menyatakan bahwa pelaku biadab itu tak bersalah," sindirnya mencurigai betul petinggi-petinggi hukum itu disuap oleh pelaku. 

"Hm... yeah. Sure. Whatever," sahut Hakim menopang dagu dengan punggung kanannya dan terus menatap ke mejanya. 

Rey menoleh ke Ibunya yang diminta untuk membawakan biola. Ketika sudah siap, hujan deras turun begitu keras. Suara airnya menghantam tiap bangunan dan besi yang disapa. Sedikit menutup mata, melodi diumbar ke seluruh penjuru persidangan.

Tercipta seutas cahaya yang mengitari Rey. Keluar visual musim gugur dari alat musiknya. Seakan dedaunan jatuh menimpanya. Menari-nari diterpa udara. Membuatnya bersinar di tengah kelabunya ruangan pengadilan. Orang-orang tak ada yang terlalu memperhatikan karena lebih peduli menenangkan jiwa yang terguncang badai. 

Tak terhalang keributan hujan. Biola itu makin bervolume tinggi mengalun tanpa hambatan. Melibas ketegangan yang sempat meradangkan ketidak-adilan. Namun, tak membuat debaran jantung orang-orang merosot hilang. Petir lagi-lagi menyambar hebat. Gelegarnya membuat Rey semakin menyatu dengan musiknya.

Seluruh warga di ruang sidang semakin gemetar dan membulatkan mata. Banyak dari mereka meringkuk menutup mata. Merasa ngeri dengan apa yang mereka dengar. Kekhawatiran terus mencuat dalam dada. Melodi biola semakin melebar. Hingga semua kaca terbuka, menyambut para manusia. 

Angin kencang menghentakkan kecepatannya. Nada-nada juga ikut dimainkan dengan cepat. Tanpa ada ekspresi Rey lainnya, selain sendu. Semua orang menyipit saking kuatnya embusan udara. Satu per satu mundur karena dorongan angin, kecuali Rey.

Netra itu melotot layaknya membentak dan akan mengakhiri badai melodinya. Tangan terangkat dengan busur biola. Ia menurunkan hair busur biola pada senar secara perlahan. Lalu menaikkannya dengan cepat. Selesai. Hujan deras mereda. Rey tersengal-sengal.

Di belakangnya banyak yang meringkuk ketakutan. Hakim di depannya —sejak awal— bersembunyi di balik meja besar bernoktah dosa dari keputusan busuknya. Wanodya itu tersenyum tipis meninggalkan ruangan menuju halaman pengadilan.

Tersangka —entah tewas atau tidak— mengalami pendarahan di luar pintu persidangan. Menghantam pilar dari marmer kelabu. Rey melewati tanpa melirik pelaku. 

"Setidaknya badai melodi dariku bisa berguna juga untuk keadilan hukum."

Dengan langkah perlahan sambil memegang biola dan senar, ia menatap tegas ke depan. Sinar mentari menyapa setengah wajahnya —berbentuk diagonal— dari balik awan yang mulai berpindah. Rey semringah. Seakan pertunjukannya baru saja diselesaikan.

Mojokerto, 22 September 2020 

***

0 komentar:

Posting Komentar