Selasa, 22 September 2020

Cermin - Bitterlight


BITTERLIGHT

Oleh: Fatimah Qudwah Afrya 


Tak ada yang tahu, bahkan orang tuanya sekali pun. Bitterlight sekarang menjadi wanodya yang bertransisi ke dewasa awal. Dulu ia sudah mengalami banyak masalah ketika sekolah. Perundungan dan sering dipanggil guru seperti jadi bagian aktivitas harian.


Mulai dari tidur di kelas tiba-tiba. Kadang menghidupkan cahaya ponsel. Sampai bengong menatap gurunya yang menjelaskan pelajaran di depan dengan monoton. 


Pada kenyataannya, Bitterlight bukan tertidur. Ia tak pernah menyalakan cahaya ponsel di kelas. Dan perhatiannya tertuju pada warna yang dihasilkan dari perasaan gurunya.


"Ah, ya ampun! Aku kenapa, ya, bisa melihat semesta hanya dengan menutup mata? Mungkin karena film matahari dan bulan kali. Namun, kenapa juga tanganku bisa mengeluarkan cahaya? Semua orang bahkan punya warna suara saat bicara. Aku bingung. Aku takut kalau memberitahu pada Mama dan Papa," batinnya menatap telapak tangan. 


Tiap kali ia bersentuhan dengan orang tuanya pun, Bitterlight tahu mereka sedang membatin apa. Sebenarnya perempuan kecil itu bingung. Ada apa dengannya? Beberapa teman juga suka mengejeknya karena warna matanya yang kuning keemasan. 


"Dasar mata kucing!" 


"Huuu! Aneh!" 


Ia cuma diam melihat warna merah gelap yang keluar dari suara mereka. Bitterlight tahu teman-teman sangat tidak menyukai dirinya. Rasanya seorang diri dalam lingkungan itu. Ketika duduk di bawah pohon sendiri untuk makan, seorang guru laki-laki menghampirinya. 


"Kamu kelihatan bingung. Mau bicarakan pada Bapak?" 


Beliau tidak bohong. Suaranya berwarna oranye. Tulus ingin membantu. Dengan ragu-ragu, tetapi tetap mau, ia pun janji akan cerita setelah pulang sekolah. 


"Kalau begitu Bapak antar kamu pulang."


Bitterlight yang masih kecil berusia tujuh tahun menurut. Kemudian menceritakan semuanya di dalam mobil sampai menunjukkan cahaya yang bisa keluar dari telapaknya.


"Tunggu! Jadi maksudmu melihat dan merasakan semesta?" tanya guru itu kebingungan. 


"Iya. Maksudnya aku bisa merasakan pergerakan planet-planet, awan, bulan, bintang, dan matahari. Galaksi juga. Mereka seakan berputar di dalam kepalaku, Pak. Indah dan menenangkan." 


"Coba tebak isi hatiku! Katakan perasaan dan suara benak apa yang kau temukan." Gurunya memberikan telapak tangannya. 


Bitterlight mengatakan Bapak Ror begitu penasaran dan sepertinya tahu tentang kondisi Bitterlight. Warna suaranya ungu. Menandakan ketertarikan pada bahasan tersebut. 


Waktu malam tiba. Berdasarkan saran dari gurunya, ia mencoba bereksperimen kepada orang tuanya. Bitterlight mencoba menyentuh tangan Papanya.


"Papa sedang ketakutan dalam mimpinya. Beliau sedang dikejar banyak orang."


Bitterlight mengangkat kedua tangannya seraya memejam. Kemudian keluar cahaya darinya. Terbentuk suatu visualisasi dari angkasa. Dipenuhi bulan, awan, dan bintang-bintang berkilauan.


Gadis cilik itu akan mengirimkan apa yang terbentuk dari tangannya. Matanya terbuka. Ia meniupkan cahaya itu ke wajah Papanya. Beberapa detik setelah meredup, Bitterlight menyentuh lengan orang tua lelakinya.


"Papa bermimpi indah. Setidaknya bisa terbang ke angkasa dalam mimpi dapat membuat Papa tersenyum senang. Hatinya sudah tidak ketakutan lagi," gumam Bitterlight semringah. 


Gurunya menjelaskan bahwa ia adalah putri mimpi. Menangkis interpretasi alam bawah sadar yang buruk menjadi mimpi indah. Sinestesia adalah julukan untuk Bitterlight yang bisa melihat warna suara dan merasakan benak orang lain hanya dengan menyentuhnya.


"Kemampuanmu sangat unik dan bertalenta. Menciptakan visual dalam mimpi. Sepertinya kau harus berlatih mengembangkan bakatmu. Gambaran cahaya itu mungkin bisa diubah sesuai kehendakmu. Aku akan mencoba melatihmu."


"Warna suara Bapak kuning keemasan. Apakah Bapak juga sama sepertiku?" 


"Hahah! Rupanya aku bisa menutup diri. Ya, kemampuan bisa berjalan tanpa membawa raga."


"Seperti hantu?" 


"Beda tipis. Hal itu bisa kulakukan ketika tertidur. Di saat kuperintahkan diriku untuk terlelap." 


"Syukurlah bukan aku sendiri. Terima kasih, Pak." 


"Belajarlah sungguh-sungguh. Masa ini akan kau lewati juga pada akhirnya," sahut Pak Ror mengusap puncak kepala Bitterlight. 



Dari sana, mereka pun berlatih untuk mengembangkan kemampuan si gadis mungil, hingga ia hampir menginjak dewasa awal. Bitterlight pun dapat membuat bayangan alam atau kejadian apa yang diingankan. Kemudian mengantarkan dongeng film-is itu ke mimpi orang-orang. Meskipun sebatas mimpi. Yang terpenting, jiwanya bahagia melihat orang lain tersenyum karenanya. 


Dan semakin bertambah dewasanya Bitterlight, cahaya itu berubah menjadi listrik. Akan tetapi, kemampuan sinestesia sentuhan perlahan menghilang. Ia tetap ceria dan mulai bisa bersosialisasi dengan tetap menyembunyikan apa yang seharusnya tersembunyi. 


"Biarkan mutiaramu berada dalam cangkang. Hanya orang terpilih dan terpercaya yang bisa melihat dan menjaganya. Karena kini, kemampuan sentuhanmu tak dapat meraba niat seseorang lagi." 


"Gunakan Putri Mimpi dan sinestesia warna. Kau harus bersyukur dengan cara menjaga anugerah itu baik-baik," tambah Pak Ror berlalu meninggalkan gerbang kampus Bitterlight. 


Mojokerto, 21 September 2020


---


Gambar dari Google/Pinterest mungkin. Dikirimin temen ehe. 

Apabila ada krisar sangat saya persilakan berkomentar. Tentunya sebagai wujud dukungan apakah karya yang lain dinanti atau tidak. Terima kasih sudah membaca. 

0 komentar:

Posting Komentar