Sabtu, 26 September 2020

Cerpen - Jangan Doakan Aku Sembuh

JANGAN DOAKAN AKU SEMBUH
Oleh: M3

Kerumunan anak muda macam kami menghunus kegersangan di jalan kecil ini. Kami, Dirga, Candra, Alifah, Sasya, Valen, Rahmat, dan aku berjalan lurus berpeluh keringat. Mobil Rahmat, diparkir di depan mini market yang berada di ujung gang.

Daerah yang kami lewati cuma bisa dilalui sepeda motor satu arah. Berbaris tubuh kami menuju satu tujuan. Rumah teman semasa SD yang menjadi satu geng hingga mencapai usia 25 tahun ini.

Beberapa bulan belakangan dia jarang muncul di grup. Biasanya ikut nimbrung, walaupun 95% menjadi silent reader. Namun, setiap ada janji temu, dia yang selalu datang tepat waktu. Umair memang paling sedikit bicara daripada teman lainnya.

"Masih jauh nih? Gerah banget nih!" keluh Sasya mengibas-ngibaskan tangan ke wajahnya. 

"Sambat mulu, Lu! Udah dibilangin rumah Umair paling pojok belakang sebelah kiri. Lagian ini jalan buntu. Tahan napa. Ngomel terus. Makin gerah nih!" timpal Candra yang tak tahan dengan lontaran kata Sasya sejak keluar dari mobil. 

"Udah, ih. Kedengeran warga lain, malu." Valen menengahi

"Nih, nih, pake kipas tangan aku. Adu mulut terus." Alifah menyerahkan penyejuk manualnya ke si rambut bercat ungu, Sasya. 

"Nah gitu dong. Thanks," sahutnya tersenyum lega

Di belakang sendiri aku menggelengkan kepala. Mengerling heran, masih saja ada keributan kecil semacam itu. Sesampainya di rumah Umair, kami disambut tampilan sangat sederhana.

Dinding mulai lapuk, retak, dan warna biru mudanya memudar. Daun pintu triplek yang masih kukuh menutup hal yang mesti disembunyikan dari luar. Pilar penopang teras mini itu juga ikut terkelupas. Baik cat maupun bagian semennya. Jendela kaca lebar sangat lusuh. Tirai kuningnya menggantung menutup.

Kami sempat tertegun sejenak. Keheranan pecah saat bibirku langsung mengucap salam saat aku berbalik. Aku bermaksud membelakangi tuan rumah yang membuka pintu setelah ini.

"Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh. Umair?" salamku, lalu berbalik diikuti Alifah, Rahmat, dan Candra. 

"Eh, gak sopan banget membelakangi rumah temen kita," sergah Sasya memegang lenganku. 

"Tau, nih," tambah Dirga mengerutkan kening. 

"Maaf, tapi ini adabnya, Sya. Aku takut tuan rumah tidak mengizinkan tamu melihat apa-apa yang tak sepatutnya orang luar tahu," jawabku tersenyum dengan mengulum tepi kiri bibir. 

"Terus juga kalau aurat orang di dalam terlihat, apa kita gak sungkan? Soalnya aku benci banget ada tamu yang melongok ke dalam rumahku tanpa izin," cakap Valen menambahi. 

"Betul tuh. Pernah ada yang kurang ajar banget sampe gedor-gedor pintu. Pas aku belum pake jilbab ama kerudung, lagi. Hadeh," komentar Alifah mengerling malas kemudian mengikut berbalik. 

"Aih! Jinjja? Well, aku gak tau sih rasanya. Soalnya kalian semua pada nutup kepala. Sorry, ya." Sasya menimpali dengan mengendikkan bahu. 

"Gak apa, Sya." Valen menanggapi. 

Sekali lagi, aku memberi salam. Sayup-sayup terdengar jawaban salam dan derap seseorang mendekat. Beruntunglah Ibu Ulfa, Ibunda Umair, ada di dalam. Beliau membukakan pintu sambil merapikan kerudung marunnya. Semua disilakan masuk, kemudian memberikan anggukan tanda permisi.

"Sebentar, ya. Ibu panggilkan Umair dulu. Maaf lho jamuan di meja cuma seadanya."

"Tidak mengapa, Bu. Saya dan teman-teman justru meminta maaf, sudah merepotkan saja," sahut Alifah. 

Beberapa detik kemudian, Umair keluar dari kamar. Menembus tirai yang menutupi bagian dalam rumah. Ia duduk di kursi roda. Mukanya pucat dengan topi rajut menutup kepalanya. Tubuhnya semakin kurus. Akan tetapi, senyum itu tak pernah lekang oleh waktu. Meski muncul setipis tisu. 

Memang tak dapat disembunyikan. Aksanya terlihat lelah, kantung mata juga lebar, bibirnya hampir putih. Kami berbincang hangat ditaburi candaan ringan seperti biasa.

Rupanya teman kami satu ini mengalami tumor otak. Baru kami sadari pula bahwa ia memakai infus. Itu yang Umair katakan sedikit tentang sakitnya. Ibu Ulfa angkat suara mewakili putranya yang kesusahan dalam menjelaskan.

"Maaf, ya, Nak. Tubuhnya lemah. Salah satu kondisinya juga kesulitan bicara, selain tidak bisa menyeimbangkan tubuh dan gerakan," jelas Bu Ulfa. 

"Tidak mengapa, Bu," timpal Dirga

Beliau pun mengisahkan gejala pertama Umair yang sering sakit kepala. Jalannya sering terhuyung hampir terjatuh. Matanya juga sering buram agak lama. Pun sama dengan kognitif (cara berpikir)-nya.

Yang parah saat mau makan, Umair terlihat pucat pasi. Setelah itu tidak kuat mengangkat barang sesuap nasi. Perutnya dipegangi. Terasa mual dikira sakit maag. Tiba-tiba ia muntah ketika berlari ke kamar mandi.

Langsung dari situ Umair dibawa ke rumah sakit. Dinyatakan sudah stadium II. Aku yang mendengar berkaca-kaca. Wajahnya sangat lemah. Terus menunduk dan tak berusaha menjelaskan. Kadang sesekali ia tersenyum di bagian tertentu dari cerita yang dibawakan ibunya.

Netra dengan bulu mata panjang itu turun dan sendu. Seakan mengikrarkan 'Sudah, sampai di sini saja' dalam tatapannya. Senyum tipis kami kembangkan. 

Memang di antara kami, yang paling ekspresif adalah dia. Aku pun langsung mendoakannya secara lisan. Berharap ada keajaiban yang Allah berikan kepadanya.

"Umair, saudaraku, cepat sembuh, ya." Aku beringsut sedikit maju. 

"Jangan, jangan doakan aku cepat sembuh," tolaknya menatapku sambil mengernyit. 

"Lho, kan, aku mendoakan yang baik." Aku tercengang mendengar sahutannya. 

"Iya, bener. Bukannya kamu mau sembuh? Kita berharap begitu. Jangan nyerah dong," tambah Sasya mengernyit dan memayunkan bibir. 

"Bukan aku tak menerima doa baik kalian." Umair menyanggah. 

"Lalu kami mesti gimana? Selalu aneh deh kamu." Sasya gemas tak sabar. 

"Cukup doanya agar sakit ini sebagai penggugur dosa-dosaku. Sebagai ladang pahala ibuku. Semoga diberikan kekuatan maksimal agar aku mampu melalui ini. Termasuk ibu yang repot berkali-kali lipat merawatku dari kecil sampai sekarang. Itu saja yang aku pinta," jelasnya tersenyum tipis. 

Aksa itu... adalah netra yang benar-benar mengumbar kerelaan. Tak pelak juga mendeklarasikan rasa bersalah pada ibunya. Kami mulai banyak yang diam merenung. Termasuk orang tua perempuan Umair.

Cerita dilanjut lagi dengan kemoterapi yang dijalani pasca operasi. Setiap hari badannya ringkih. Terlihat tak terurus. Padahal memang susah bangkit nafsu makannya. Bukan karena tak dirawat.

Rambut rontok hampir tak pernah absen. Mual semakin menjadi-jadi. Ditambah lagi muntah selepas makan. Otomatis asupan menurun, termasuk massa badannya.

Seluruh yang terjadi secara terperinci selesai diungkapkan. Kini, kami pamit pulang. Tak lupa menyerahkan bingkisan dua keranjang buah dan seamplop uang. Tentu dari uang patungan, hasil kerja kami. 

"Semoga bermanfaat. Semangat terus Umair," kataku mengepalkan tangan. 

"Iya, Nak. Terima kasih banyak. Semoga semua kebaikan teman Umair dibalas oleh Allah. Luas dan barokah rezekinya. Sehat-sehat ya, Nak," ucap Bu Ulfa. 

"Aamiin. Sama-sama, Bu." Kami menjawab serempak. 

Tiga bulan setelah kunjungan ke Umair, Dirga membawa kabar sedih. Teman kami sudah meninggal dunia. Tanpa ancang-ancang, sore hari kami langsung meluncur ke rumah duka. Sayangnya Umair sudah dikuburkan di kota seberang.

Semua berduka, baik itu ekspresif maupun dengan diam. Kunjungan ink adalah yang terakhir. Rupanya memang tumor otak Umair telah meradang. Takdir mendorong mereka supaya ikhlas menerima. Ibunya mengatakan bahwa Umair menyampaikan perpisahan di pondok pesantren. Tatkala ingin bertemu salah satu kyai di sana.

"Kata terakhirnya 'Bu, Umair ingin di kamar aja. Minta tolong temani Umair, ya, Bu' dan saat itu Ibu sudah punya firasat pertemuan yang terakhir bersama Umair," jelas Bu Ulfa. 

"Oalah Dela ndak jadi mantu Bapak dong, ya. Hahaha," ucap Pak Sekti, membecandaiku. 

"Bapak bisa aja. Haha. InsyaaAllah reuni ke surga," sahutku sejenak ikut tertawa kecil melihat beliau yang langsung hilang senyumnya. 

Terima kasih dan maaf diucapkan oleh Umair melalui orang tuanya kepada kami. Sebelum akhirnya kalimat tahmid dikumandangkan Ibu Ulfa ke telinga anaknya. InsyaaAllah Umair meninggal dalam keadaan husnul khatimah.

"Terima kasih, ya, Nak, sudah mau menjadi teman-teman Umair," tutur Bu Ulfa menggenggam tanganku. 

***

Note:

Didedikasikan untuk mendiang teman SD saya, Rizki. Semoga Allah menempatkan di sisi terbaikNya. 2015. Tak lupa inspirator saya, Umam. Tak mau didoakan cepat sembuh dari sakit ringannya, karena lebih suka agar rasa sakit itu sebagai penggugur dosanya. 2018.

Apabila ada krisar disilakan untuk mencantumkan langsung ke kolom komentar. Terima kasih sudah membaca. 😊

1 komentar:

  1. Terbawa suasana, tatanan kata yang mudah diikuti dan dipahami. Alur cerita yang sederhana namun penuh makna. Alhamdulillah bisa berkesempatan membacanya 😊

    BalasHapus