Sabtu, 26 September 2020

Cermin - Lapisan Markah

LAPISAN MARKAH
Oleh: M3

Jutaan huruf berderet mengitari kepala. Tertawan geligi yang menghunjam dada. Bekerja sama dengan secarik pena dan kertas. Ditemani solatip transparan. Aku tersenyum di bawah lapisan topeng.

Ekspresi yang menutup bibirku. Yang berupaya sekuatnya menghalangi penanda. Aku berkeliaran menelaah para kertas. Mencari guratan yang sekiranya pas membatasi emosi yang hampir tak terbendung.

Ribuan sensasi masuk ke telinga. Mengobarkan kecemasan, kebodohan, ketidak-mampuan, keburukan, dan ketidakgunaan. Aku jatuh tersungkur. Menengadah berharap ada yang mengibarkan bendera empati. Gelap ruangan ini. Tangis keluar dari balik senyum yang berusaha mengubur pilu.

Gagal dan sembab jadi berhamburan. Lapisan markah tertuang. Namun, esensinya kecil, bahkan hampir buram. Adakah yang mengulurkan tangannya? Menarik lenganku untuk keluar dari ruangan ini?

"Aku ingin lepas di antara lapisan pembatas ini. Tembok begitu tinggi menjulang otomatis. Bagaimana aku menghancurkan semuanya?" tanyaku penasaran. 

Tanda-tanda yang telah kuberitahu tidaklah cukup. Barangkali memang belum aku temukan. O, Pencipta Semesta, izinkan aku memohon kepadaMu. Kirimkan utusanMu yang Engkau wasilahkan guna membantuku," batinku sambil tak henti-hentinya mata mengalirkan air. 

Berat dan sesak. Tenggorokanku tercekat. Basah menggenangi wajah terus-menerus. Bibir terkatup erat. Sekilas semringah layaknya enggan berkabar. Jadilah sepicis coretan senyum yang mewakilkan. 

Hingga datang seutas tali. Sosok tak kentara itu mendekati. Tak terlihat wajah bahkan gendernya. Tangan itu menyentuh pipiku. Hangat menyeruak di setiap aliran darah.

"Sekarang berhentilah menangis," tuturnya melepas secarik kertas dari mulutku.

Ia menggandengku perlahan. Membuka para pintu yang ada di depan. Menyusuri lorong gelap dan pekat. Ternyata lapisan markah bermunculan begitu banyak. Tertempel pada sekat-sekat yang sebenarnya tak kuinginkan untuk mencuat.

"Tenang saja. Allah mengirimkanku kepadamu. Kita akan melangkah pelan-pelan. Demi menemukan ujung agar tembok —yang kau bangun dari alam bawah sadar— runtuh sebagian besar. Kita pasti bisa karenaNya."

"Memang kau siapa?"

"Aku adalah engkau. Bagian Superego. Angel side. Aku sebenarnya jengah karena Id, Demon side, juga ikut bersama kita. Tepat di belakangmu. Jadi, maukah kau menolongku agar aku bisa menolongmu? Supaya kita sama-sama mengontrol Ego dan bisa keluar dari sini. Tentunya agar Id tak memengaruhi lebih dalam lagi."

Kujawab dengan anggukan. Tercengang pada apa yang kulihat di depan. Hatiku dibanjiri terima kasih terhadap Sang Raja Jagat Raya.

"Markahmu sebenarnya berfungsi untuk menempa. Kuharap kau mau menyimpan piala Pemetik Hikmah dan membuang buah Kesombongan. Kita berada di titik kritis. Alam bawah sadar mesti kau sugesti dengan perspektif positif. Karena kanvasmu masih berhak berwarna-warni, mari kita ubah susunan lapisan markah hitam putih jadi cerah."

Namun, bisikan di belakang membuatku mengeluarkan buliran bening lagi. Aku jatuh tersungkur. Genggaman terlepas. Lelah dengan apa yang Id lakukan. Terasa tak berdaya, lemah, dan hina dina. Id berbisik untuk berhenti, menyerah karena aku tak pantas. 

"Kau pasti bisa. Ayo! Gandeng tanganku lagi. Buang jerat insecure. Jangan lupa kontrol Ego bila terlalu dekat dengan nadimu. Tolong aku agar bisa membantumu," ajak Superego menyemangati. 

"Kau bisa. Allah pinta agar kau tak putus asa," tambahnya terus menggandengku. 

Aku cemas. Aku menggenggam tangan kiri di depan dada. Meskipun begitu, kulanjut saja dengan yakin. Ia berpesan supaya aku tak menyerah. 

Sesekali ia menoleh ke belakang. Memastikanku tidak apa-apa. Kedua alisku terangkat dan mengerut. Aku tersenyum dan menangis sekejap tanpa ada lagi secarik kertas yang menempel di bibir. Terima kasih Sang Pencipta.

Mojokerto, 22 September 2020

***

0 komentar:

Posting Komentar