PUTRI HALU
Oleh: M3
Angin melambai lembut menerpa wajahnya. Zura berjalan pelan
melewati bunga-bunga. Kedua tangannya disembunyikan di balik saku jaket
cokelatnya. Jam menunjukkan pukul dua siang. Ia berbelok mampir ke sebuah kedai
roti. Membeli empat roti yang diniatkan untuk dirinya dan sang mama. Selesai
membeli, kakinya keluar bermaksud kembali ke rumah. Namun, jantungnya tiba-tiba
berdebar kencang.
Laju kakinya dipercepat. Sesampainya di rumah, ia melihat ada sebuah
mobil ambulans yang terparkir di depan rumahnya. Zura berlari ke dalam rumah
dan mendapati mamanya sedang memberontak ketika salah satu, yang diduganya,
perawat menyiapkan suntikan. Roti yang ditenteng terjatuh. Wajahnya terperangah
dan sepersekian detik, ia berusaha melepas tangan-tangan yang menahan tubuh
mamanya.
“Tidak! Mau kalian bawa ke mana mamaku? Lepaskan dia,” pintanya
berupaya mendorong mereka agar melepaskan mamanya.
“Hei, Nona! Cepat duduklah. Kami harus menangani mamamu karena
beliau butuh penangan di rumah sakit jiwa,” sahut perawat yang membawa
suntikan.
Khaizuran tetap saja menghalang-halangi. Mamanya kian berontak,
sedangkan kakek dan neneknya sedang tidak ada di rumah karena masih berada di
luar kota. Ia bertanya-tanya, siapa yang mengirimkan perawat itu ke rumahnya.
Maka, saat ia menyergap perawat yang membawa suntikan, Zura terdorong jatuh.
“Maaf aku mendorongmu, tapi ini dibutuhkan!” seru perawat itu
langsung menusuk lengan mamanya.
Setelah selesai dan tenang, mamanya dibopong ke dalam ambulans.
Zura berupaya bangkit mengejar. Namun, ambulans itu bergerak sangat cepat. Ia
bergegas mengambil kunci yang berada di meja belajarnya, lalu mengunci pintu
rumah, mengambil motor, memakai helm, menggembok pagar, dan menyusul ambulans
tadi.
Jantungnya berdebar tak karuan. Sepanjang perjalanan ia berusaha
mengambil napas, menahan, dan mengembuskan secara perlahan. Tidak cukup dan ia
kesulitan. Sesampainya di rumah sakit jiwa, yang ternyata ia telah mengikuti
hingga keluar kota, Zura langsung memarkirkan motornya. Ia berlari sekencang
mungkin. Terlihat mamanya akan diantar ke pintu masuk, Zura langsung menarik
lengan mamanya.
“Ma, sadar, Ma. Ayo kita pulang!” teriak Zura mengguncang lengan
kanan mamanya.
Petugas keamanan pun menahan Zura agar tidak menghalangi prosedur
perawatan. Ia berontak. Baru kali ini ia menolak mamanya dibawa. Padahal selama
ini, Zura selalu mengancam akan membawa mamanya kembali ke rumah sakit jiwa.
Akhirnya petugas hanya memberikannya izin melihat sang mama lewat pintu kaca
tanpa boleh berkontak fisik lagi. Zura pun jatuh terduduk sembari menangis.
Tiba-tiba ia bangun terduduk, lalu menangis begitu pilu. Dadanya
sesak, sakit sekali rasanya, dan isakan keras sangat terlihat. Zura turun dari
ranjang. Ia melihat ke jendela yang menghadap ke selatan. Awan masih biru
dengan gumpalan awan seputih kapas. Dirinya tersenyum di balik derai air mata
yang membuat kornea dan pipinya memerah. Beberapa ketukan pagar terdengar.
Di luar ada dua orang yang menanti jawaban dari sang tuan rumah.
Zura mengintip dari balik jendela. Perasaan sedih jadi waswas. Ia menghapus air
mata yang belum sempat mengering dan mencari mamanya. Mencoba di kamarnya tadi,
nihil. Di kamar mamanya nihil. Di kamar mandi juga nihil. Di ruang ventilasi
dan tempat berjemur juga tidak ia dapati mamanya di sana. Takut menyergap
tubuhnya. Tangannya gemetar. Tanda tanya menghantui pikirannya. Ia sangat kalut
siang itu.
“Mama!” panggil seorang gadis cilik yang tadi mengetuk pintu.
“Ia memanggil siapa?” tanyanya dalam hati.
“Ini Fathia sama Papa, Ma. Mau jenguk Mama. Bukain dong, Ma,”
pinta anak itu mengetuk pagar sekali lagi.
“Pa, tolong pencet belnya dong,” tambah sang anak menunjuk bel
karena ia tidak sampai menjangkaunya.
“Assalamu’alaikum.” Bel berbunyi.
Zura mencoba keluar perlahan. Kemudian mengajukan pertanyaan
kepada mereka berdua.
“Wa…wa’alaikumusslam. Si…siapa kalian?” tanya Zura melihatkan
setengah wajahnya tanpa ditutupi kerudung.
“Mama jangan lupa dong. Ini Fathia, anak Mama. Papa di sini juga
kok,” kata Fathia mengintip dari celah pagar.
“Mana mungkin. Menikah saja belum. Umurku masih 20 tahun. Mana
mungkin sudah punya anak yang sudah bicara,” elak Khaizuran.
“Tolong, bukakan pagar ini. Kami tidak akan masuk sebelum
disilakan. Cukup lihat kami dan dengarkan apa yang akan kami katakan. Kami tidak
akan menyakitimu,” mohon laki-laki brewok berkacamata itu.
Perlahan Zura membuka kunci gembok pagarnya. Terlihat seorang
gadis cilik berusia tujuh tahun menenteng satu kresek roti.
“Siapa kalian? Apa mau kalian?” tanya Zura ketus dan melotot.
“Ini, kami bawakan roti favorit Mama.”
“Zura, mungkin kamu masih melihat ini seperti rumahmu yang ada di
waktu 15 tahun silam. Kala umurmu masih 20 tahun. Namun, aku tegaskan. Lihatlah
sekelilingmu. Tepat di belakang ialah rumah sakit tempatmu dirawat Zura. Memang
didesain khusus untukmu saja. Lumayan mahal sih, setidaknya dapat membantu
proses penyembuhanmu. Kami dengar dari psikiater, tiap kamu tidur, igauan mimpi
yang selalu kamu haturkan menunjukkan distorsi ingatan. Itu bukanlah mamamu,
tetapi kamu di delapan tahun yang lalu,” jelas lelaki itu mengambil napas dalam
dan mengembuskannya dengan berat.
Ia melanjutkan, “Zura, kuharap kamu mau menerima bahwa tiga tahun
terakhir ini, hasil diagnosamu menunjukkan bahwa kamulah yang mengidap
skizofrenia. Coba lihatlah gelang yang ada di lengan kananmu. Tertulis nama
rumah sakit jiwa ini dan namamu, bukan?” jelas lelaki itu mengusap air mata
yang lolos dari sudut matanya.
“Kami adalah keluargamu. Ini Fathia putri pertama kita dan aku,
Ahmad, suamimu. Mamamu memang telah tiada sebelum sembuh dari Skizofrenia saat putri kita berusia dua tahun. Kini
kamu mengalami gangguan jiwa seusai beliau tiada. Khaizuran, sekarang saatnya
kamu yang berupaya bangkit untuk dirimu sendiri dan paling tidak untuk anak
kita juga,” tambah Ahmad memeluk Zura yang hampir terjatuh.
Zura menatap kosong tanpa berkedip dan bulir bening mulai jatuh
secara otomatis.
“InsyaaAllah aku akan terus bersamamu selama Allah memberikanku
waktu. Kita buat cerita yang berbeda, ya.”
Khaizuran membalas pelukan suaminya dengan isakan yang keras.
perasaan saya saat membaca bacaan tersebut merasa bahwa saya dilupakan oleh mama sayaa
BalasHapusSulit di mengerti tpi ceritanya menyentu
BalasHapus