Jumat, 09 Oktober 2020

Cermin - Kehangatan Sore di Musim Ikhlas


KEHANGATAN SORE DI MUSIM IKHLAS

Oleh: M3


Sore itu aku menatapmu lamat-lamat. Menyesap tiap jengkal langkahmu yang menapak. Akhir-akhir ini pikiranku berkecamuk. Mengamatimu seakan sebagian dirimu ada yang melayang.


"Ke mana kau pergi?"


Netra itu menyurutkan ceria yang biasa jadi simbolmu. Kini, angin menerpamu. Mengatakan bahwa —perasaanku berkata mungkin— duniamu 'tlah berubah.


Sejujurnya senyum itu kurindukan. Aku ingin meraihmu, mendekapmu, dan menjadi wadah keluh kesahmu lagi. Aku mau kau tahu betapa berharapnya jarak ini menipis.


Bunga-bunga nyata beterbangan. Kau berada di antara mereka. Bersatu bersama gemeresik gugurnya dedaunan. Mereka sangat menguning dan memekat merah. Menyiratkan hawa pengukuhan eksistensi sendu yang tertahan.


"Aira!" panggilku di seberang jalan.


Kau menoleh tanpa bicara. Tanpa tanya dan sirnanya butir penasaran. Kau hanya membalas mataku. Akan tetapi, pupilmu menyorotkan segalanya. Tiada lagi impian yang kau damba.


Dirimu terus bergeming. Ketika aku berlari menghampiri, seketika itu juga aksamu berubah datar. Perasaanmu bagai mengambang tak tentu arah. Ada kebingungan di dalam sana. Aku tahu kau kehilangan alasan. Alasan untuk tetap bertahan.


Tak berpikir ulang, aku langsung meraih tanganmu. Memelukmu di bahu jalan. Tak peduli siapa yang melihat dan menilai. Aku merasakan tatapanmu tercengang. Tanganmu terasa gemetar. Kau membalas rengkuhanku.


Bajuku jadi basah. Engkau menangis terisak. Genggamanmu kuat mencengkram kemejaku. Kubelai punggungmu yang bergetar. Awalnya kita tak ada yg saling bicara. Kemudian aku berbisik.


"Tak apa. Puaskan tangisanmu. Jangan ada yang ditahan."


Dan air mata itu pun kian deras. Raungan pilu terlontar dari bibir kecilmu. Beberapa saat, kau bangkit dari dadaku. Isak masih terdengar. Kedua tanganmu mengusap lelehan yang tersisa.


"Te-terima kasih."


"Aku cuma ingin kau kembali tersenyum, Aira. Maafkan aku yang tak bisa lagi menemanimu dan menjadi ruang kisahmu secara langsung. Kita masih bisa bertelepon. Kalau kau mau cerita sekarang, sebelum aku pergi, silakan."


Seperti biasa, aku suka mendengar celoteh panjangmu. Derap potongan kehidupan hadir ke telinga. Semakin menguatkan ingatanmu terhadapku. Berbagai masalah pelik kau percayakan padaku. 


Saat-saat seperti ini kuabadikan dalam memori. Menanamnya dalam jangka panjang. Untuk suatu kali akan kuputar kenangan apa saja yang pernah kita rajut. Dari sinilah aku menemukan inferensi bahwa aku semakin mencintaimu. Meskipun jarak akan tercipta antara aku denganmu. 


"Terima kasih sudah memercayaiku. Selamat tinggal. Aku yakin Aira pasti bisa melewati ini semua."


Lambaian jadi bahasa kami yang terakhir kali. Dalam kontak secara langsung. Kutitipkan perjalanan kita dalam gugurnya musim kesekian.



#berjuta_penafsiran_disilakan

Mojokerto, 09 Oktober 2020

0 komentar:

Posting Komentar